CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, 28 January 2010

Menghadapi kuatnya kecenderungan menggejalanya teknologi sebagai kekuatan otonom (J. Ellul) sehingga melahirkan teknokrasi dan akhirnya menjelma sebagai teknopoli (N. Postman), manusia masa kini akhirnya berhadapan dengan berbagai tuntutan dan tantangan yang ditimbulkan hasil ciptaannya sendiri, yaitu teknologi. Betapapun canggihnya, setiap teknologi adalah hasil daya cipta manusia.

Sejak bergulirnya era industrialisasi, maka selama dua abad terakhir dari milenium ke-2 ini kita tidak hanya menyaksikan teknologi maju secara konsisten, melainkan juga melaju melalui lompatan dan terobosan (leaps and breakthroughs), teristimewa pada lima puluh tahun terakhir abad ke-20 ini. Kemajuan teknologi begitu pesatnya, sehingga nyaris tiada bidang kehidupan manusia yang bebas dari terpaan dampaknya, cepat atau lambat dan langsung atau tak langsung. Perkembangan industrialisasi yang didukung oleh kemajuan teknologi itu pula yang mengawali produksi sesuatu secara massal (mass production) dan tidak mungkin tertandingi oleh produktivitas yang diandalkan semata-mata pada kemampuan manusia.
Kalau direntang dalam periode sejak terjadinya revolusi industri hingga akhir abad ini, maka dua ciri menonjol dalam kinerja produksi ialah prosesnya yang digerakkan melalui mechanization and automation. Berbagai kegiatan manusia yang bersifat produktif berangsur-angsur diambil alih oleh kedua daya tersebut, bahkan dengan kemampuan yang berlipat ganda. Sejalan dengan meningkatnya kemampuan produktif itu pula maka makin kuat dukungan untuk produksi yang bersifat massal.
Kalau periode pertama sejak terjadinya Revolusi Industri ditandai oleh diambilalihnya berbagai fungsi manusia yang berupa kemampuan fisik, maka dalam lima puluh tahun terakhir ini fungsi manusia yang berupa kemampuan mental juga mulai diambil alih oleh teknologi. Teknologi komputer menjadi ilustrasi yang tepat untuk menunjukkan betapa teknologi pun berkesanggupan untuk menjadi perpanjangan atau pengganti kemampuan fungsi mental pada manusia. Maka dalam dua dasawarsa terakhir abad ini banyak pakar yang bersibuk diri dengan studi tentang apa yang dewasa ini terkenal dengan istilah artificial intelligence.
Gambaran komprehensif dan kritis tentang artificial intelligence dapat diperoleh dari buku Raymond Kurzweil, The Age of Intelligent Machines, yang menghimpun pendapat sejumlah pakar mengenai perkembangan intelligent machines. 


Menjadi Surplus
Begitu eratnya keterjalinan antara manusia dan teknologi sebagai perpanjangan kemampuannya, sehingga yang asalnya merupakan minus dari kemampuannya (ability), bisa dikembangkan menjadi surplus bagi kesanggupannya (capability). Menurut fitrahnya manusia tidak mampu terbang, namun dengan teknologi dia mampu terbang, bahkan tinggal beberapa lama di angkasa luar; pertemuan tatap-muka (face-to-face) secara berhadapan juga dapat dilaksanakan dalam jarak amat jauh melalui tatap-citra (image-to-image).
Banyak lagi yang bisa dicontohkan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan betapa teknologi telah memungkinkan terjadinya transformasi mendasar dan berskala luas –bahkan nyaris sulit dibatasi– dalam peri kehidupan manusia dan kemanusiaan. Transformasi tersebut juga telah menimbulkan perubahan dalam berbagai pola hubungan antar-manusia (patterns of human relations), yang pada hakikatnya adalah interaksi antar-pribadi (interpersonal relations) dan bersifat hubungan intersubjektif.
Seiring dengan kemajuan teknologi, ruang dan waktu sebagai dimensi eksistensial juga berubah secara kuantitatif maupun kualitatif, terutama oleh faktor kekuatan (power) dan kecepatan (speed); kedua faktor ini makin meningkat pengaruhnya seiring dengan berlanjutnya pemutakhiran dan pencanggihan teknologi. Pengaruh faktor kekuatan dan kecepatan itu terutama mencuat dalam perkembangan teknologi transportasi serta komunikasi dan informasi.
Dalam kaitan ini, kiranya secara khusus perlu dicermati perkembangan teknologi yang menunjang kesanggupan untuk menyebarkan informasi dengan daya jangkau global. Teknologi ini menerpa kita dengan bahan informasi secara bertubi-tubi serta melintas dengan kecepatan tinggi sekali lewat jaringan global yang diibaratkan sebagai super-highways. Kedua faktor itu pula yang menambah nilai efisiensi, sehingga keterlambatan penguasaannya niscaya juga berarti ketertinggalan dalam laju proses modernisasi. 


Melampaui Kemampuan Manusia
Terpaan stimuli berupa bahan informasi yang berlangsung secara segera (instant) dan serentak (simultaneous) itu sangat jauh melampaui kemampuan manusia untuk menyerap dan mengendapkannya, kecuali dengan dukungan teknologi yang sepadan pula. Terwujudnya jaringan internet merupakan ilustrasi yang mengukuhkan betapa besar dampak mondial yang dapat ditimbulkan oleh kemajuan teknologi yang mendukungnya. Internet telah memberi wujud bagi keterbukaan dalam arti luas; keterbukaan berbagai sumber untuk memperoleh informasi, keterbukaan untuk menyebarkan informasi (tentu bisa juga yang bersifat mis- atau dis-informasi), keterbukaan menjalin komunikasi untuk berbagai kepentingan dari yang paling pribadi dan subjektif hingga yang paling lugas dan objektif.
Dari berbagai kenyataan yang menggejala dewasa ini makin nyatalah keberhasilan teknologi memberi struktur pada dunia manusia sebagai gelanggang akbar, yang diringkas sebagai suatu matriks interaksi. Sebagai konsekuensinya, tampaknya mustahil untuk mencegah kecenderungan akan menggejalanya berbagai pola baru dalam perilaku manusia, khususnya dalam interaksi antarpribadi yang mestinya berciri intersubjektif.
Perikehidupan manusia yang ditandai tempo-hidup (life-space) yang kian meninggi, berjalan seiring dengan dihayatinya ruang-hidup (life-space) yang kian menyempit karena meningkatnya keterjalinan manusia ke dalam berbagai jaringan interaksi. Anehnya, makin derasnya banjir informasi yang menerpa manusia pada analisis akhirnya berakibat terjadinya pemiskinan kemampuannya untuk menyimpan (retention) bahan informasi yang diterimanya dan juga kemampuannya untuk menampilkan kembali (retrieval) kesan-kesan yang tersimpan padanya. Namun, kedua kemampuan tersebut pun dapat digantikan oleh teknologi yang sepadan.
Maka dapat dimengerti kiranya, kalau dewasa ini makin kuat pula kecenderungan untuk memperbandingkan — bahkan menyamakan — fungsi otak manusia dengan komputer. Michael W. Eysenck dalam hubungan ini menyatakan: “Information processing in people resembles that in computers”. Kalau demikian halnya, maka tidak tertutup kemungkinan, bahwa dalam jangka panjangnya proses tersebut sebagian besar (atau sepenuhnya?) bisa diambil alih oleh kemampuan komputer yang makin dipercanggih.
Sebagai kelanjutan dari penerapan teknologi modern timbul pula keharusan untuk memperbarui berbagai tatanan yang ditujukan pada adanya keteraturan dalam kinerja manusia, secara individual maupun kolektif. Dalam kaitan ini makin menonjollah arti penyusunan organisasi dan perancangan sistem. Maka tidaklah mengherankan kalau serempak dengan penerapan teknologi modern, keterlibatan manusia dalam organisasi dan keterikatannya pada sesuatu sistem menjadi imperatif yang sulit disanggah. Bahkan boleh jadi manusia modern tidak punya pilihan lain bagi aktualisasi dirinya, kecuali melalui keterkaitannya ke dalam organisasi dan sistem tertentu yang secara apriori meletakkan berbagai rambu-rambu bagi perilakunya.
Rambu-rambu itu diperlukan antara lain demi terjaminnya disiplin kerja, fungsi birokrasi, kepatuhan hierarki, sinkronisasi, dan koordinasi antarsatuan kerja, kesinambungan arus masukan dan keluaran guna menjamin kelancaran kinerja, efektifnya pengawasan, dan pengendalian mutu, dan sebagainya. Kesemuanya ini menimbulkan tuntutan bagi diterapkannya suatu cara untuk mengelola keseluruhan organisasi dan sistem yang bersangkutan; tuntutan itu dipenuhi dengan diberlakukannya suatu ragam tata laksana kerja yang lazimnya disebut manajemen.
Sebagai unsur dalam organisasi dan sistem yang harus berjalan optimal demi mencapai sasaran tertentu, maka manusia terpaksa harus siap mengalami reduksi diri karena dibatasinya perannya sebagai salah satu unsur belaka dalam sesuatu konfigurasi fungsional. Sebagai unsur fungsional dia bisa saling dipertukarkan (interchangeable) atau bahkan diganti (replaceable).
Dalam era teknologi, pertukaran, maupun pergantian itu semakin mungkin dilakukan melalui substitusi manusia oleh peralatan. Kenyataan ini pun akan merupakan tantangan yang tidak mudah diatasi, bahkan berpengaruh memperumit masalah kesempatan kerja, karena meningkatnya jumlah pencari kerja yang timbul serentak dengan makin menyempitnya kesempatan kerja sebagai akibat makin terbukanya kemungkinan substitusi manusia oleh peralatan. Perlu ditambahkan bahwa kemajuan teknologi menuntut terisinya kesempatan kerja terutama berdasarkan profesionalisme dan expertise semutakhir mungkin. Tantangan ini tidak mudah dipenuhi, karena penguasaan sesuatu bidang keahlian juga harus berpacu dengan laju teknologi itu sendiri. 


Teknokrasi dan Teknopoli pada Teknologi
Implikasi kemajuan teknologi berbeda dengan perkembangan ilmu. Dalam bidang ilmu, sesuatu tesis baru tidak dengan sendirinya berarti gagalnya keabsahan atau berlakunya tesis lama, sekalipun dirumuskan sebagai anti-tesis. Begitu pula, sesuatu teori baru tidak harus berarti usangnya teori terdahulu, meskipun disajikan sebagai kontra-teori. Beberapa tesis atau teori bisa saling bertahan dalam juxtaposisi dan masing-masing penganutnya tetap mempertahankan keabsahannya; bahkan sesuatu tesis atau teori lama bisa dimunculkan kembali
Sedang kemajuan teknologi ditandai oleh susul-menyusulnya proses pemutakhiran dan pengusangan. Setiap kali sesuatu teknologi dimutakhirkan selalu membawa konsekuensi dianggap usangnya pendahulunya. Kendatipun rentang masa hidupnya berbeda-beda, namun setiap teknologi mutakhir akan menjadikan pendahulunya tertinggal dan akhirnya usang.
Memperhatikan pesatnya laju kemajuan teknologi secara kuantitatif dan kualitatif dewasa ini, maka sangat boleh jadi daur pemutakhiran dan pengusangan itu akan terjadi dalam jangka waktu yang semakin singkat. Makin pesat laju kemajuan dalam sesuatu bidang teknologi, makin cepat pula berlansungnya susul-menyusul antara pengusangan dan pemutakhiran. Proses ini dapat digambarkan antara lain melalui kemajuan teknologi komputer dalam beberapa tahun saja belakangan ini. Sebagai konsekuensinya, usaha untuk menguasai teknologi yang terus-menerus mengalami pemutakhiran itu menuntut berkesinambungannya pelatihan dan pelatihan-ulang.
Menyaksikan kemajuan teknologi ini, Jacques Ellul berkesimpulan bahwa teknologi dalam zaman modern ini semakin berkembang sebagai autonomous force. Sebagai daya yang terus-menerus maju-dengan-pemutakhiran, akhirnya teknologi tampil sebagai kekuatan (kratos) yang dominan dalam kehidupan modern dan pascamodern. Teknologi yang asal mulanya diciptakan sebagai perpanjangan bagi kemampuan manusia, lambat-laun berbalik menjadikan manusia sebagai perpanjangannya, apalagi oleh makin bertambahnya ketergantungan manusia pada penyertaan teknologi dalam berbagai bidang kehidupannya.
Dominasi teknologi sebagai kekuatan yang makin berpengaruh dalam mengendalikan peri kehidupan manusia dan kemanusiaan itu oleh sejumlah filsuf akhir abad ini disebut sebagai gejala teknokrasi. Keterbiasaan manusia modern untuk hidup “bergandengan” dengan teknologi nyaris menjadi ketergantungan, sehingga kegagalan teknologi bisa bersifat katastrofal. Perhatikan apa kosenkuensinya, jika di Jakarta ini tiba-tiba putus semua aliran listrik.
Teknokrasi membawa berbagai konsekuensi terhadap kehidupan manusia umumnya, secara individual maupun kolektif. Sejalan dengan kemajuan teknologi dan makin menggejalanya teknokrasi, makin banyak pula pola dan kecenderungan baru yang muncul sebagai tanggapannya. Berubahnya pola interaksi antar-manusia dimungkinkan oleh intervensi peralatan; pola kerja pun berubah oleh dimungkinkannya substitusi unsur manusia oleh mesin, pembakuan sebagai ciri yang melekat pada peralatan berlanjut dengan tindakan penyeragaman (uniformity) terhadap keanekaragaman (pluriformity) sebagai kenyataan manusiawi.
Dengan pembakuan dan penyeragaman itu terbukalah kesempatan untuk pemassalan berbagai karya manusia dengan dukungan peralatan yang makin meningkat kesanggupan dan kecanggihannya untuk mengganti manusia sebagai potensi kerja.
Kiranya tidak berlebihan untuk menyatakan, teknologi dan teknokrasi niscaya akan membawa perubahan pula dalam gaya hidup manusia dan masyarakat modern. Jika demikian halnya, maka tidak keliru pula untuk menyatakan bahwa dominasi teknologi dan teknokrasi akan berlanjut dengan berseminya budaya baru yang melahirkan berbagai nilai baru pula yang cenderung menjadi acuan perilaku manusia modern dalam berbagai pola interaksi dengan sesamanya.
Dengan lain perkataan: di samping berdampak struktural pada perikehidupan manusia, teknologi dan teknokrasi juga membangkitkan proses kultural dalam masyarakat yang diterpanya. Inilah gejala yang oleh N. Postman disebut technopoly, yang olehnya digambarkan sebagai berikut: Technopoly is a state of culture. It is also a state of mind. It consist in the deification of technology, which means that the culture seeks its authorization in technology, finds its satisfactions in technology, and takes its orders from technology. Maka yang menjadi masalah ialah sejauh mana sesuatu masyarakat siap memasuki zaman yang ditandai oleh supremasi teknologi dan teknokrasi sebagai daya pembangkit budaya baru tanpa merapuhkan ketahanan budayanya sendiri. 


Konformisme Perilaku
Lepas dari penilaian sejauh mana budaya baru itu tampil sebagai budaya-sandingan (sub-culture) atau budaya-tandingan (counter-culture) dalam hubungannya dengan budaya asli sesuatu masyarakat, kehadiran budaya baru itu sedikit banyak niscaya akan berpengaruh terhadap konformisme perilaku yang telah membudaya dan cukup mantap dalam masyarakat tertentu. Konformisme perilaku erat kaitannya dengan persepsi nilai kebudayaan dan norma kemasyarakatan sebagai acuan yang cukup menyeragamkan perilaku warga masyarakat yang bersangkutan. Maka kehadiran suatu budaya baru mudah menimbulkan gejala heteronomi yang mungkin menjadi sebab timbulnya kekaburan atau kegoyahan sumber konformisme perilaku termaksud.
Dalam masyarakat dengan teknologi maju cukup banyak contoh yang menunjukkan betapa heteronomi bisa mengakibatkan munculnya berbagai perwujudan perilaku menyimpang — bahkan bersifat ekstrem — yang bisa berakibat pertentangan antar-lapisan dan antar-golongan dalam masyarakat. Beberapa perilaku menyimpang itu bisa berwujud pelarian untuk menghindar dari pengaruh budaya baru, mungkin berupa pencemoohan sambil memperkenalkan sumber nilai lain sebagai alternatif (misalnya mistik, metafisik).
Kalau benar bahwa sejalan dengan dominasi — apalagi glorifikasi — teknologi cenderung muncul budaya baru, maka bidang yang sangat penting pengaruhnya dalam hubungan ini ialah peran teknologi transportasi serta komunikasi dan informasi. Melalui bidang-bidang ini meningkatlah pertemuan antar-budaya secara kuantitatif dan kualitatif, dan sejalan dengan itu semakin melaju pula berlangsungnya berbagai proses pembudayaan yang berskala mondial.
Pertemuan antar-budaya tersebut seharusnya menjadi kesempatan saling-pengayaan wawasan pihak-pihak yang saling bertemu (mutualy insight-enhancing). Namun proses tersebut dalam kenyataannya dewasa ini lebih berlangsung sebagai arus satu arah, yaitu berlangsung sebagai banjir informasi dari pusat informasi global dengan dukungan teknologi canggih yang bebas melampias ke kawasan dengan penguasaan teknologi yang relatif tertinggal.
Pencanangan berlakunya Decade of Cultural Development oleh PBB mulai tahun 1988 untuk memperkukuh ketahanan budaya bangsa-bangsa dalam saling pertemuannya, ternyata tidak banyak artinya guna mencegah terjadinya arus pengaruh sepihak akibat terpaan proses pembudayaan yang berasal dari pusat-pusat global. Maka pada analisis ini akhirnya kita perlu membuat antisipasi tentang kemungkinan terjangkitnya gejala alienasi budaya disertai distorsi nilai-nilainya. 


Perlu Dibenahi
Uraian di atas ini mungkin sekali mengesankan sikap negatif terhadap teknologi dan teknokrasi dalam perikehidupan manusia dan masyarakat. Kesan itu perlu segera dibenahi. Tujuan penyajian berbagai konsekuensi dari dominasi teknologi dan menguatnya gejala teknokrasi ialah agar kita tidak gampang terseret oleh sikap glorifikasi terhadap teknologi dan hasrat untuk serta-merta menerapkannya.
Maka menyambut kenyataan tersebut kita perlu senantiasa menyadari bahwa betapa pun majunya teknologi, sebagai hasil karya manusia adalah perpanjangan bagi kemampuannya, dan bukan sebaliknya menjadikan manusia sebagai perpanjangannya. Betapa pun lompatan dan terobosan menandai kemajuan teknologi, manfaatnya harus diukur dari sejauh mana martabat dan kesejahteraan manusia terangkat olehnya, dan bukan sebaliknya berakibat pudarnya nilai-nilai manusiawi.
Itu sebabnya sejumlah filsuf menjelang peralihan abad ini memperingatkan, agar kemajuan teknologi tidak berakibat dehumanisasi dan despiritualisasi dalam perikehidupan manusia. Sebab betapa pun, manusia adalah pusat orientasi bagi dirinya; maka nilai kemanusiaan harus senantiasa diunggulkan di atas teknologi yang notabene merupakan hasil ciptaannya sendiri.
Dalam kegandrungan untuk menguasai dan menerapkan teknologi modern, sebaiknya kita juga menyisihkan waktu untuk mengamati munculnya berbagai gejala budaya baru dalam masyarakat yang telah menerapkan teknologi mutakhir dalam perikehidupannya. Dalam hubungan ini mestinya kita lebih dari sekadar melakukan studi dampak belaka; kita pun perlu mencurahkan perhatian pada studi perbandingan yang hasilnya bisa menjadi pedoman untuk kepentingan antisipasi terhadap berbagai risiko dan kontroversi yang boleh jadi akan menyertai penerapan sesuatu teknologi, sebagaimana misalnya terjadi dalam pengembangan dan penerapan teknologi nuklir dewasa ini, atau teknologi yang dikembangkan untuk memungkinkan dilahirkannya manusia unggul lewat eugenika — dan akhir-akhir ini juga melalui cloning — demi membangun a brave new world.