CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday, 26 March 2011

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA

A. Pengertian Psikologi
Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan psikologi adalah konseling. Bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang digunakan, dan proses penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai konseling dapat pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling psychology).[1]
B. Pengertian Agama[2]
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan oranglain dan berusaha untuk bergabung  dengan oranglain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
C.   Psikologi Versus Agama[3]
Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan diri.
Mengapa dua disiplin yang menaruh perhatian yang sama bisa bermusuhan?
Pertama, dalam perjalanan sejarah, keduanya telah menjadi pesaing satu sama lain. Dahulu, menurut Peter Berger (1967), agama memberikan makna baku kepada manusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Dalam periode beberapa abad belakangan ini, posisi agama disisihkan oleh sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula-mula dalam menjelaskan alam dan akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk menghayati pengalaman subyektif manusia.
1.      Pandangan Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual. Menganggap agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical Psychology, terbitan 1980 :
“ Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
2.      Pandangan Agama Yang Negatif Terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan agamawan yang mencampurkan psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang menegaskan posisi psikologi dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan Psikologi. Pada salah satu artikelnya yang berjudul “First Things : Faith and Terapy” (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan di Boston College ini menulis : Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak ada kompromi antara agama kristen dan kelompok psikologi”.
Satu-satunya  cara yang paling perkasa untuk menyibakkan kabut ini adalah cahaya wahyu. Wahyu mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional bukanlah segala-galanya. Al-kitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat dosa, kita harus memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik memasuki kerajaan surga dengan psyche yang mengalami represi ketimbang memasuki tempat lain dengan dipenuhi penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur puncak dalam teori-teori para psikolog. Psikolog sangat sedikit berbicara tentang kebanyakan manusia yang menderita di dunia ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa kita semua akan mati.
3.      Keyakinan agama para psikolog
Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, skularisasi perlahan-lahan menyeret agama kepinggiran kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang Eropa, pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat dalam kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan paling rendah sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa utara, ‘kata Hoge (1997:23). Di Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan orang banyak, keterlibatan dalam kegiatan agama tidak berkurang; dalam beberapa aspek keagamaan, bahkan bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa “agama dapat menjawab semua atau kebanyakan problem masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57% berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445). Mereka juga ternyata menaruh kepercayaan kepada lembaga-lembaga agama: karena kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan kedua setelah institusi militer (Hastings &Hastings, `1994 : 313).
Lalu, dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi paling jelas menunjukkan dampaknya di kalangan academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa lulusan perguruan tinggi menganggap agama kurang penting dibandingkan dengan orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam tinjauan literature yang dilakukan oleh Beit Hallahmi (1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para dosen menyatakan tidak menganut agama apapun, dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup, Jr. 1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan agama kurang penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika kita membandingkan penelitian ini dengan study yang dilakukan Leuba, salah seorang perintis psikologi agama, kita menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami perubahan.. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan bahwa makin terkemuka seorang ilmuan, makin rendah keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa psikologi paling kecil kemungkinannya untuk “Percaya kepada Tuhan yang menjawab do’a”.
4.      Agama Menurut para Psikolog Sekuler

v     JAMES LEUBA : Agama sebagai Irasionalitas dan Patologi
Psikologi yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga yang paling informative dan persuasive adalah Leuba.Secara langsung, ia mengumpulkan bukti untuk menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi. Misalnya, ia menunjukkan secara eksperimental bahwa ia dapat menimbulkan perasaan kehadiran sesuatu yang samar-samar dan tidak terlihat pada subjek penelitiannya dengan mengarahkan mereka untuk mengharapkan pengalaman seperti itu. Menurut Leuba, reaksi yang terjadi sama seperti pengalaman sehari-hari ketika kita merasakan kehadiran orang lain. Leuba juga menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis melalui penjelasan tentang proses patologis, termasuk epilepsy, hysteria, neurasteria, dan intoksikasi narkotis.
Ia menyimpulkan bahwa pernyataan kaum mistikus setelah pengalaman keagamaan seperti itu bersifat naïf dan khayali. Setelah itu, Leuba menunjukkan banyak ajaran agama yang bermutu rendah dan tidak masuk akal. Ia juga menunjukkan bahwa pandangan keagamaan yang konservatif ini menghambat perkembangan pengetahuan ilmiah. Dalam upayanya untuk menunjukkan irasionalitas kepercayaan agama yang konvensional, melalui kuesioner Leuba mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan mereka yang terkemuka.Di samping keterkenalan para ilmuwan yang paling kecil kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Diantara semua ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat kepercayaan yang paling rendah (Leuba, 1950).
Walaupun sangat keras mengkritik agama, Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbarui dan bukan menghancurkan agama. Sebagaiman ia sangat kritis terhadap agama tradisional, ia juga kritis terhadap sains yang materialistic. Leuba juga mengemukakan teori tentang “dorongan spiritual inteligen” menuju kesempurnaan moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya sebagai karakteristik asasi tabiat manusia. Untuk mengembangkan daya spiritual yang ilmiah ini, Leuba menyarankan dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah, pengakuan, dan kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan dengan bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi menyembah Tuhan social, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian dan energy moral dari tradisi teistiknya.
v     SKINNER : Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh
Jika pandangan Leuba tentang sains masih mepertahankan adanya dorongan spiritual, pandangan kaum yang behavioris yang keras mendorong mereka untuk mereduksi agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Contoh aliran ini adalah Skinner (1953) yang mempertahankan bahwa, seperti semua perilaku lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena didikuti stimuli yang memperteguh. Dalam banyak hal, peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh agama dan pengendali lain yang berkuasa. Kepercayaan dan aturan agama menghimpun akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh agen-agen pengendali untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk keuntungan institusi agama dan tatanan social yang lebih besar. Perilaku agama yang tidak dapat dipahami dalam kerangka diatas dapat dijelaskan sebagai produk peneguhan yang tidak direncanakan atau tidak sengaja. Seperti merpati yang terus menerus melakukan perilaku “takhayul” dan tidak fungsional sebagai respons sebagai peneguhan acak, manusia akan berpegang teguh pada pelaksanaan ritus-ritus yang ganjil jika perilaku ini diikuti secara kebetulan oleh stimulus yang memperteguh.
v     GEORGE VETTER : Agama sebagai Respon pada Situasi Tak Terduga
Menurut Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menulis secara khusus sebuah bukju untuk menganalisis agama secara behavioral dengan semangat yang lebih menggebu-gebu ketimbang Leuba dan Skinner. Vetter menjabarkan berbagai alas an untuk penilainnya yang negative terhadap agama : konsepsi naïf tentang tuhan yang bersifat antropomorfis ; peperangan dan kebiadapan lainnya yang dilakukan atas nama agama sepanjang sejarah ; keterbelakngan pengetahuan para tokoh agama berkenaan dengan masalah-masalah social ; kegagalan iman keagamaan dalam menunjukkan hubungan empiris yang konsisten dengan prilaku moral (kadang-kadang keimanan secara positif mendorong orang untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan, tetapi juga secara negative mendorong orang untuk melkukan penghianatan) ; korelasi institusi agama dalam bidang social politik dan penghamburan kekayaan sumber daya termasuk uang, waktu dan tenaga manusia yang dilakukan oleh institusi agama.
Jika agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, seperti dinyatakan Vetter, lalu bagaimana para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya kepercayaan dan praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat? Vetter merujuk pada teori Skinner tentang perilaku “takhayul” yang dilakukan oleh merpati yang diperteguh secara acak, dan laporan Maier tentang perilaku yang bersifat stereotipikal dan nonfungsional yang dilakukan tikus ketika dipaksa utnuk membuat diskriminasi yang mustahil. Dari situ, Vetter berpendapat bahwa perilaku agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan tidak terkendali. Ada dua factor utama yang menentukan apakah perilaku itu akan terjadi. Pertama, perilaku yang bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual pada situasi yang sama dikemudian hari.Dengan cara begitu, kata Vetter, dalam situasi terdesak Tuhan sering disapa sebagai orang tua.Kedua, menurut teori belajar Guthrie (Contiguity theory of learning), perilaku cenderung dijalankan jika perilaku itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku itu setidak-tidaknya sedang  berlangsung ketika sesuatu yang lain mengubah situasi ; karena dalam kedua keadaan itu perilaku itu dipertahankan serbagai tindakan terakhir yang berkaitan dengan kompleks stimulus tersebut. Vetter mengidentifikasi dua kelompok agama yang memenuhi criteria ini : (a) “Perilaku entreaty” seperti doa atau meditasi yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan ketenangan yang diperlukan untuk tindakan praktis yang simultan, dan (b)”Perilaku orgy” seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga stress emosionalnya berangsur-angsur hilang dengan sendirinya.
Tetapi, betapapun efektifnya perilaku tersebut dalam jangka pendek, Vetter sangat menentangnya karena perilaku-perilaku itu diarahkan, seperti candu, kepada penderita itu sendiri dan bukan pada situasi eksternal yang menjadi sumber frustasi. Masalah yang dihadapi orang, menurut Vetter, hanya dapat diselesaikan dengan menerapkan secara sistematis metode sains yang berpusat pada masalah, bukan metode agama yang bersifat khayali. Proses sekularisasi  yang berlangsung secara bertahap, yang menyebabkan lebih banyak persoalan dipandang secara ilmiah dan tidak lagi secara religious, memberikan harapan kepada Vetter bahwa sejumlah sumber daya yang dihabiskan untuk agama perlahan-lahan akan direalokasikan pada penelitian ilmiah, termasuk penelitian tentang agama itu sendiri.
Walaupun prinsip behavioral, terutama seperti yang dikembangkan oleh Skinner, masih popular dikalangan psikolog klinis dan akademis, banyak orang melihat titik tekan yang berlebihan pada responds yang diperteguh secara individual itu terlalu fragmentalis dan mekanistis untuk menjelaskan perilaku kompleks seperti yang terdapat dalam wilayah agama. Teori belajar social pendekatan kognitif yang menggambarkan belajar observasional dan global memberikan alternative yang menjanjikan, terutama dalam menjelaskan penyampaian tradisi agama dari satu generasi ke generasi lainnya. Tetapi, diluar beberapa ilmuwan yang tekah menegaskan peranan peniruan dalam sinamika agama, belum ada penggunaan sistematis teori belajar social untuk memahami keimanan dan tradisi keagamaan.


v     SIGMUN FREUD : Agama sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakkan
Jika Freud dan para pengikutnya berpandangan negative  terhadap agama dengan memandang agama tidak lebih dari sekadar kumpulan kecenderungan kekanak-kanakan atau neurotis, para pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif.
Menurut Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol : kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara menjelimet. Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang yang beragama untuk merasa berdosa dan takut akan hukuman tuhan. Dari situlah, Freud membandingkan unsure-unsur ini dengan gejola obsesif neurosis, yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi impuls yang tidak dapat diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan, berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam situasi hidup lainnya sekali lagi membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra Tuhan sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang disebut Freud, “merupakan akar setiap bentuk agama”, ditandai dengan kegamangan. Pasalnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahan penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang sudah lama hilang.
Karena itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh hambatan-hambatan berfikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi yang ditimbulkan oleh ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi masyarakat yang memaksakan penekanan naluri melalui hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu, karena orang-orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan bukan karena pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma agama yang membenarkan larangan cultural ini akan memporak-porandakan masyarakat.Hanya dengan meninggalkan agam dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud, dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya. Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima banyak celah yang ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita tentang realitas, sambil dengan berani menghadapi situasi tak berdaya dan tak bermakna yang menjadi nasib kita semua. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas.


0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............