A. SIKAP
KEAGAMAAN DAN POLA TINGKAH LAKU
Sikap dipandang sebagai
seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap onjek tertentu berdasarkan hasil
penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu.
Sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai
pengaruh bawaan seseorang, serta tergantung pada objek tertentu.
Menurut Prof. Dr. Mar’at,
telah dihimpun beberapa pengertian mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah
bahwa;
1. Sikap
merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interksi yang
terus menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2. Sikap
selalu dihubungkandengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa, Tupun ide
(attitudes have referent).
3. Sikap
diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat
ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan, atau percakapan
(attitudes are social learnings).
4. Sikap
sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap
objek (attitudes have readiness to respond).
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak
senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen
kognisi, afeksi, dan konasi. Dengan demikian, sikap merupakan interaksi dari
komponen-komponen tersebut secara kompleks.[2]
Terlihat
bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen
psikologis yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara kompleks
merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik
yang berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Komponen kognisi akan
menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Dengan
demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses
berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap
sesuatu objek.
Bentuk
sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen
kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut
agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat,
melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil
belajar dan interaksi dan pengalaman. Dan pembentukan sikap itu sendiri
ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal,
melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
Reaksi
yang timbul dari sikap tertentu terhadap objek ditentukan oleh pengaruh faal,
kepribadian, dan faktor eksternal, situasi, pengalaman, dan hambatan (Mar’at,
1982: 22). Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut, yaitu pengaruh faal,
kepribadian, dan faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas
konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu, menggugah motif untuk
bertingkah laku. Sedangkan menurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur
penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan
tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan, reaksi afektif bersifat
tertutup (cover), tulis Mar’at (Mar’at, 1982:17)
Hubungan
antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu
motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif
atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt behaviour) pada diri
seseorang atau kelompok. Sedangkan, motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi biasanya akan menjadi lebih
stabil.
Jiwa
keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern psikis manusia.
Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya tak lebih dari
usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis. Salah satu
cabang psikologi yang pada umumnya dianggap mempunyai ikatan erat dengan agama
adalah cabang yang disebut ”penelitian kejiwaan”, ini merupakan upaya untuk
mengkaji secara ilmiah pokok-pokok bahasan seperti penyaluran angan-angan atau
pemikiran seseorang kepada orang lain tanpa melalui komunikasi inderawi,
meramal sesuatu yang akan terjadi, komunikasi secara rahasia dengan roh orang
yang sudah meninggal dengan perantaraan mistik, gerakan benda-benda tanpa
menyentuhnya, dan sebagainya.[3]
Sikap
keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup
rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan gejolak
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tak jarang ikut mempengaruhi
politik suatu Negara, jika sikap menyimpang tersebut sudah mempengaruhi sikap
social. Lebih-lebih jika penyimpangan tersebut sudah mencapai tingkat
intensitas ekstern negative, karena kualitas dan intensitas sikap yang
menggambarkan konotasi komponen afeksi cenderung mengarah kepada tingkah laku
yang berdasarkan kualitas nasional.
SIKAP KEAGAMAAN
YANG MENYIMPANG
Ajaran
agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap
dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai
luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan
sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat yang Supernatural. Dengan
demikian, sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan
dimaksud.
Namun,
dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang
terjadi. Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.
Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri
individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu
memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak
secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar’at,
1982:17).
Sikap
keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang pada tingkat
tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang terendah
hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri)
hingga ke sikap yang demonstratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu
umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada
setiap agama. Perseteruan antaragama yang terjadi seperti peristiwa Perang
Salib, munculnya gerakan IRA di Inggris (Irlandia Utara), hingga ke
aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya, Children of God di
Amerika maupun sekte kiamat di Jepang yang menamakan kelompoknya Aum Shinrikyo
(Kebenaran Tertinggi).
Selain
dalam bentuk kelompok, sikap keagamaan yang menyimpangan juga dapat terjadi
pada orang per orang. Dan biasanya sikap keagamaan yang menyimpang dalam bentuk
kelompok aliran ataupun sekte berawal dari pengaruh sikap seorang tokoh.
Seorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain,
sebagai bagian dari tingkat pikir yang transenden (Kasmiran Wuryo, 1982:104).
Masalah
yang menyangkut sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan persepsi
seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan
merupakan hal yang abstrak sehingga secara empirik sulit dibuktikan secara
nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu, pengaruh yang ditimbulkan
terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis. Pengaruh tingkat
pikir ini memang memiliki variasi yang luas misalnya aliran seperti
sekularisme, liberalisme, sosialisme, fasisme, materialisme, dan sebagainya.
Tetapi di luar itu, ada juga pengaruh terhadap tingkat pikir yang lain seperti totemisme,
magico, mistisisme, animisme, dinamisme, politesime maupun monoteisme. Tingkat
pikir yang kedua ini disebut dengan tingkat pikir atau tingkat berpikir
transendental religius (Kasmiran Wuryo, 1982:105).
Sikap
keagamaan yang menyimpang dapat terjadi, bila terjadi penyimpangan pada kedua
tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat memberi kepercayaan dan keyakinan baru
pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat pikir tersebut mencapai tingkat
kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu
maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri orang per
orang (individu) kelompok ataupun masyarakat. Sebab, sikap memiliki sasaran
tertentu baik konkret maupun abstrak (Mar’at, 1982: 18).
B.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI SIKAP KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
Sikap
mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap objek, yaitu dalam bentuk
nyata (overt behaviour) dan terselubung (cover behaviour). Karena sikap
diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah,
walaupun sulit. Berapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap,
antara lain; teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, teori
konsistensi dan teori fungsi.
Teori
stimulus dan respon yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan
perubahan sikap dengan proses belajar. Teori yang kedua, yaitu teori
pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial.
Teori
yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebih
ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap
dan perbuatan.
Teori
yang keempat, yaitu teori fungsi. Menurut teori ini perubahan sikap seseorang
dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............