CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Tuesday 28 May 2013

PROBLEMA JIWA KEAGAMAAN


A.    SIKAP KEAGAMAAN DAN POLA TINGKAH LAKU
Sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap onjek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman, dan penghayatan individu. Sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan bukan sebagai pengaruh bawaan seseorang, serta tergantung pada objek tertentu.
Menurut Prof. Dr. Mar’at, telah dihimpun beberapa pengertian mengenai sikap. Rumusan umum tersebut adalah bahwa;
1.      Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interksi yang terus menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.      Sikap selalu dihubungkandengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa, Tupun ide (attitudes have referent).
3.      Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan, atau percakapan (attitudes are social learnings).
4.      Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (attitudes have readiness to respond).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap objek tertentu yang mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Dengan demikian, sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks.[2]
Terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
Bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil belajar dan interaksi dan pengalaman. Dan pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak semata-mata tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
Reaksi yang timbul dari sikap tertentu terhadap objek ditentukan oleh pengaruh faal, kepribadian, dan faktor eksternal, situasi, pengalaman, dan hambatan (Mar’at, 1982: 22). Hal ini mengisyaratkan ketiga faktor tersebut, yaitu pengaruh faal, kepribadian, dan faktor eksternal. Dalam kaitan ini sikap didasarkan atas konsep evaluasi berkenaan dengan objek tertentu, menggugah motif untuk bertingkah laku. Sedangkan menurut pandangan psikologi, sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afektif sehingga menghasilkan motif. Motif menentukan tingkah laku nyata (overt behaviour) sedangkan, reaksi afektif bersifat tertutup (cover), tulis Mar’at (Mar’at, 1982:17)
Hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata (overt behaviour) pada diri seseorang atau kelompok. Sedangkan, motif yang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi biasanya akan menjadi lebih stabil.
Jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis. Salah satu cabang psikologi yang pada umumnya dianggap mempunyai ikatan erat dengan agama adalah cabang yang disebut ”penelitian kejiwaan”, ini merupakan upaya untuk mengkaji secara ilmiah pokok-pokok bahasan seperti penyaluran angan-angan atau pemikiran seseorang kepada orang lain tanpa melalui komunikasi inderawi, meramal sesuatu yang akan terjadi, komunikasi secara rahasia dengan roh orang yang sudah meninggal dengan perantaraan mistik, gerakan benda-benda tanpa menyentuhnya, dan sebagainya.[3]
Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Selain sikap seperti itu dapat menimbulkan gejolak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, juga tak jarang ikut mempengaruhi politik suatu Negara, jika sikap menyimpang tersebut sudah mempengaruhi sikap social. Lebih-lebih jika penyimpangan tersebut sudah mencapai tingkat intensitas ekstern negative, karena kualitas dan intensitas sikap yang menggambarkan konotasi komponen afeksi cenderung mengarah kepada tingkah laku yang berdasarkan kualitas nasional.
SIKAP KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
Ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat yang Supernatural. Dengan demikian, sikap keagamaan merupakan kecenderungan untuk memenuhi tuntutan dimaksud.
Namun, dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi. Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang (dalam diri individu) dan juga pada kelompok atau masyarakat. Sedangkan perubahan sikap itu memiliki tingkat kualitas dan intensitas yang mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui areal netral ke arah negatif (Mar’at, 1982:17).
Sikap keagamaan yang menyimpang seperti itu merupakan masalah yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan tindakan yang negatif dari tingkat yang terendah hingga ke tingkat yang paling tinggi, seperti sikap regresif (menarik diri) hingga ke sikap yang demonstratif (unjuk rasa). Sikap menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang maupun kelompok pada setiap agama. Perseteruan antaragama yang terjadi seperti peristiwa Perang Salib, munculnya gerakan IRA di Inggris (Irlandia Utara), hingga ke aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya, Children of God di Amerika maupun sekte kiamat di Jepang yang menamakan kelompoknya Aum Shinrikyo (Kebenaran Tertinggi).
Selain dalam bentuk kelompok, sikap keagamaan yang menyimpangan juga dapat terjadi pada orang per orang. Dan biasanya sikap keagamaan yang menyimpang dalam bentuk kelompok aliran ataupun sekte berawal dari pengaruh sikap seorang tokoh. Seorang yang mempunyai pengaruh terhadap kepercayaan dan keyakinan orang lain, sebagai bagian dari tingkat pikir yang transenden (Kasmiran Wuryo, 1982:104).
Masalah yang menyangkut sikap keagamaan ini umumnya tergantung hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan dan keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan merupakan hal yang abstrak sehingga secara empirik sulit dibuktikan secara nyata mengenai kebenarannya. Oleh karena itu, pengaruh yang ditimbulkan terhadap seseorang cenderung berwujud pengaruh psikologis. Pengaruh tingkat pikir ini memang memiliki variasi yang luas misalnya aliran seperti sekularisme, liberalisme, sosialisme, fasisme, materialisme, dan sebagainya. Tetapi di luar itu, ada juga pengaruh terhadap tingkat pikir yang lain seperti totemisme, magico, mistisisme, animisme, dinamisme, politesime maupun monoteisme. Tingkat pikir yang kedua ini disebut dengan tingkat pikir atau tingkat berpikir transendental religius (Kasmiran Wuryo, 1982:105).
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi, bila terjadi penyimpangan pada kedua tingkat pikir dimaksud, sehingga dapat memberi kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila tingkat pikir tersebut mencapai tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri orang per orang (individu) kelompok ataupun masyarakat. Sebab, sikap memiliki sasaran tertentu baik konkret maupun abstrak (Mar’at, 1982: 18).

B.     FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP KEAGAMAAN YANG MENYIMPANG
Sikap mempengaruhi dua bentuk reaksi seseorang terhadap objek, yaitu dalam bentuk nyata (overt behaviour) dan terselubung (cover behaviour). Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit. Berapa teori psikologis mengungkapkan mengenai perubahan sikap, antara lain; teori stimulus dan respons, teori pertimbangan sosial, teori konsistensi dan teori fungsi.
Teori stimulus dan respon yang memandang manusia sebagai organisme menyamakan perubahan sikap dengan proses belajar. Teori yang kedua, yaitu teori pertimbangan sosial melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi sosial.
Teori yang ketiga, yaitu teori konsistensi. Menurut teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh faktor intern, yang tujuannya untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan.
Teori yang keempat, yaitu teori fungsi. Menurut teori ini perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan seseorang.


0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............