CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Wednesday, 5 January 2011

TEORI BELAJAR PERILAKU

TEORI BELAJAR PERILAKU

1.        Teori Koneksionisme
Edward Lee Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori stimulus-respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus akan memberi kesan kepada pancaindra, sedangkan respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan.

Pendidikan yang dilakukan Thorndike adalah menghadapkan subjek pada situasi yang mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek penelitinya. Kucing dalam keadan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa, dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka jika tali tersentuh/ tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk merangsang kucing agar bergerak ke luar. Pada awalnya, reaksi kucing menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak menentu, hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang menyebabkan pintu terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berati, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan.
Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005 : 34-36), sebagai berikut :
a.  Hukum Kesiapan (The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulant. Pertama, bila seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaan.
Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan tetap tidak melakukannya maka ia akan puas.
b. Hukum Latihan (The Law o Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of use), dan hukum bukan penggunaan (the lawa of dis-use). Hukum penggunaan menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan. Dengan demikian,
c.  Hukum Akibat (The law of Effect)
Hubungan stimulus-respons akan semakin kuat, jika akibat yang ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan akibat yang menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (punishment).
2.  Teori Classical Conditioning
Tokoh teori ini adalah Ivan Petrovich Pavluv, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. teorinya adalah tentang conditioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulant berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori-teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut :
a.  Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan/mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b.  Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c.  Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d.  Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e.  Semua aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
3.  Teori Operant Conditioning
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. Ia membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus yang yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri, dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. (Sri RUmini, 1993:75–76)
Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi, yaitu :
Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S, karena menitikberatkan pada stimulus. Hal ini sama dengan kondisi yang dikemukakan oleh Pavlov.
Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons.
4.  Teori Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh teori ini. Penemuan teori Gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem, kedudukan kognisi yang tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental. Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya. Organisme atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang berupa masalah tadi. Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara alamiah, sesuai dengan persepsi gestalt.
5.  Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling mempengaruhi. Teori Medan memandang bahwa tingkah laku dan atau prsoes kognitif adalah suatu fungsi dari banyak variable yang muncul secara simultan (serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah hasil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947 menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengna teori medan dalam psikologi. (Sri Rumini, 1993:100-101(
Penerapan teori medan dalam proses belajar mengajar :
a.     Belajar adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan)
Orang belajar akan bertambah pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak darpada sebelum belajar. Tahu lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang saling berhubungan.
b.  Peranan hadiah dan hukuman
Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif. Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi, tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
c.  Masalah sukses dan gagal
Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dibanding hadiah dan hukuman. Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita akan lebih tepat mengarahkan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai dari pada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman.

6.  Teori Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl P. Rogers adalah tiga tokoh utama dalam teori belajar humanistic. Berikut uraian pandangan mereka.
Arthur Combs, seorang lumanis, berpendapat bahwa perilaku batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain.
Dalam proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan kedalam dirinya. Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah belajar kalau bahan ajar disusun tapi dan disampaikan dengan baik, karena peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik. Karyanya dibidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. Ia menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus kekuatan yang menghambat.

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
1.        Pengertian Belajar Menurut Teori Behaviouristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Dalam contoh di atas, stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk membantu belajar siswa, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga  bila penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin  giat belajarnya.
Berdasarkan uraian tentang teori behaviour dapat diterangkan disini bahwa perilaku yang tampak adalah lebih utama dibandingkan dengan perasaan/ sikap individu. Perilaku individu terbentuk karena bertinteraksi dengan lingkungan. Perilaku menjadi kuat jika mendapatkan ganjaran atau sebaiknya perilaku melemah jika mendapatkan hukuman . Kecenderungan tingkat tertentu akan selalu terkait dengan ganjaran dan hukuman. Perilaku yang bermasalah dalam pandangan behavioris dapat dimaknakan sebagai perilaku atau kebiasaan negative yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang salah penyesuaian terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan. Artinya bahwa perilaku individu itu meskipun secara sosial tidak tepat dalam beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu. Perilaku yang perlu dipertahankan atau dibentu pada individu adalah perilaku yang bukan sekedar memperoleh kepuasan pada jangka pendek, tetapi perilaku yang tidak menghadapi kesulitan-kesulitan yang lebih luas dan  dalam jangka yang lebih panjang.
2.  Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau tindakan.
Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar. Pertama, law of readiness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut. Kedua, law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, ulangan. Yang ketiga, law of effect, belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik.
Dari divinisi belajar tersebut, maka perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit. Yaitu yang dapat diamati atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
3.        Terori Belajar Menurut Watson
Watson adalah tokoh yang beraliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya belajar adalah proses interaksi stimulus dan respons. Namun stimulus dan respons yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati atau observable dan dapat diukur. Namun ia mengakui bahwa perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioristik murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirics semata yaitu sejauh dapat diamati dan dapat diukur. Hanya dengan cara demikianlah maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang akan terjadi setelah seseorang melakukan tindak belajar. Para tokoh aliran behavioristik cenderung tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar. Walaupun demikian mereka tetap mengakui bahwa hal itu penting.
4.        Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.
Menurut pandangan Hull bila suatu dalil kebenarannya tidak cocok dengan fakta maka postulat yang mendasarinya menti direvisi tanpa ampun sampai diperoleh kecocokan. Jika kecocokan tidak juga bisa dicapai maka system itu harus ditinggalkan. Oleh sebab itu kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting.
5.        Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respons untuk menjadikan terjadinya proses belajar. Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respons cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin  diberikan stimulus agar respons bersifat lebih tetap. Ia juga percaya bahwa hukuman juga memegang peranan penting dalam belajar.
Gabungan stimulus –stimulus yang disertai oleh suatu gerakan pada waktu timbul kembali cenderung akan  diikuti oleh gerakan yang sama. 
6.        Teori Belajar Menurut Skinner
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respons. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung dalam teori behavioristik tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam belajar. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negative cenderung membatasi siswa untuk bebas berfikir dan berimajinasi. Namun Skinner lebih percaya yang disebut sebagai penguat negative. Penguat negative tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaan terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon yang sudah ada. Sedangkan penguat negative harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
7.        Aplikasi Teori Behavioristik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori behafioristik dengan hubungan stimulus responnya mendukung orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan menggunakan mettode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan menghilangkan bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperrti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstuktur dengan rapi, sehingga belajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa.
Fungsi mind atau fikiran adalah untuk menjiplak stuktur pengetahuan yang sudah melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik stuktur pengetahuan tersebut.
Karena teng perlu dihukumori behavioristiik memandang bahwa sesuatu yang ada di dunia nyata telah terstuktur rapid an teratur, maka orang yang belajar dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak  dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam  dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan kebehaslan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai perilaku yang pantas diberi hadiah. Siswa atau pesrta didik adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga control belajar harus diipegang oleh system yang berada diluar diri siswa.
Tujuan belajar menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic” yaitu mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk lapooran, kuis atau tes. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/ bukuwajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
 Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencile test. Evaluasi hasil belajar menuntut saju jawaban benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagia yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evalasi pada kemampuan siswa secara individual.[1]
        Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh Siciati dan Prasetya Irwan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliiputi:
a.    Menentukan tujuan pembelajaran
b.    Menganalisis lingkungan kelas termasuk mengidentifikasi pengetahuan
c.    Mmmenentukan materi pembelajaran
d.    Memecah materi pembelajjaran menjadi bagian kecil-kecil meliputi pokok bahasan, sub pkok bahasan, topic.
e.    Menyajikan materi pembelajaran
f.      Memberikan stimulus dapat berupa; pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/ kuis, latihan, atu tugas-tugas
g.    Mengamati dan menkajji respn dari siswa
h.    Memberikan penguatan / reinforcement (mungkin penguat positif ataupun penguat negative), ataupun hukuman
i.      Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa
j.      Memberikan stimulus baru
k.    Evaluasi hasil belajar

TEORI BELAJAR KOGNITIF
A.     Konsep Belajar Kognitivisme
Salah satu aliran yang mempunyai pengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah adalah aliran psikologi kognitif. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsure kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respons, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekadar stimulus dan respons yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesenjangan, keyakinan, dan lain sebagainya.
B.    Pengertian Belajar Menurut Teori Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Model belajar kognitif merupakan suatu bentuk teori belajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tiingkah laku yang nampak.
Teori ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
C.     Pengetahuan Menurut Teori Kognitif
Jenis Pengetahuan
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset terapan tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”.
Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau menterjemahkan teks bahasa Inggris adalah contoh kemampuan pengetahuan prosedural lainnya. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut, dengan kata lain penguasaan pengetahuan ini juga dicirikan oleh praktek yang dilakukan.
Sedangkan pengetahuan kondisional adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kedua jenis pengetahuan di atas. Dalam menyelesaikan persoalan perhitungan kimia misalnya, siswa harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan prosedur yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang kurang tepat.
Hal yang sangat penting untuk mengidentifikasi jenis pengetahuan ini bagi guru ketika mengajar. Mempelajari informasi tentang pokok bahasan tertentu tidak selalu menyebabkan siswa akan menggunakan informasi tersebut. Tidak juga latihan menyelesaikan banyak soal pada topik bahasan tertentu, akan membantu mereka memahami satu prinsip lebih mendalam. Mengetahui sesuatu topik, mengetahui prosedural penyelesaian masalah serta tahu kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan tersebut adalah hasil belajar yang berbeda-beda, dan tentu saja ini perlu diajarkan dengan cara yang berbeda pula.
D.    Awal Pertumbuhan Teori-Teori Belajar Kognitif
1.     Teori Gestalt
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar “gestalt” peletak dasar psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer ( 1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving sumbangannya ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang penelitian-penelitian mereka menumbuhkan Psikologi Gestalt yang menekankan bahasa pada  masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur stimulus secara keseluruhan yang telah terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insaightí yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagianb-bagian di dalam suatu situasi permasalahan hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan . Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha atau “oh, I see now”
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simapse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadang kala simpase dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wertheirmer (1945) menjadi orang Gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjaan dengan proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Getaltis, semua kagitan belajar ( baik pada simpase maupun pada manusia ) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan anatara bagian dan keseluruhan. Menurut psikologi Gestalt, tingkah laku kejelasan belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.

2.     Teori Lewin
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin ( 1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar “ Cognitive- Field” dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu sebagai berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis di mana individu beraksi disebut “ life space”  mencakup perwujudan lingkungan di mana individu beraksi, misalnya Orang-orang ia jumpai, objek materil yang ia hadapi.
Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil iteraksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif ini adalah hasil dari dua macam kekuatan satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan paranan yang lebih penting pada motivasi dari pada reward.
3.     Teori Piaget
Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, yaotu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan system syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks lah susunan sel sarafnya dan makin meningkat kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, taitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan apa yang dipahami sesuai dengan struktur kognitif yang ada sekarang. Sementara akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami. Dengan kata lain, apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Proses ini disebut proses Asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya yang harus disesuaikan dengan informasi yang ditrerima.
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu:
1)     Struktur, disebut juga “ scheme” seperti yang dikemukakan diatas.
2)     Isi disebut juga “content” yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah.
3)     Fungsi, disebut juga ‘ function” yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelktual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi “ invariant” yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi: berupa kecakapan seseorang atau organisasi dalam menyusun proses-proses fesis dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheran.
Adaptasi : yaitu adaptasi individu terhadap lingkungan. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplermenter, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Tahap-tahap perkembangan Piaget:
a.     Tahap Sensorimotor (Umur 0-2 tahun)
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang sederhana. Cirri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.
Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
1)     Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya.
2)     Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3)     Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4)     Mendefinisiikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5)     Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
Anak-anak hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
b.     Tahap Preopersional (Umur 2-7/8 tahun)
Ciri pokok perkembangannya adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi tahap preopersional dan tahap intuitif.
1) Tahap preoperasional (Umur 2-4 tahun)
Anak telah dapat menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsepnya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami objek.
Karakteristik tahap ini adalah:
a.     Self counter nya sangat menonjol.
b.     Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
c.      Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda.
d.     Mampu mengumpulkan barang-barang menurut criteria, termasuk criteria yang benar.
e.     Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
2) Tahap Intuitif (Umur 4-7 atau 8 tahun)
Anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstrak. Pada tahap ini, anak sudah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik. Karakteristik tahap ini ialah:
a.     Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya.
b.     Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
c.      Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
d.     Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip yang benar. Mereka mengerti terhadap sejumlah objek yang teratur dan cara mengelompokkannya.
c.     Tahap Operasional Konkret (Umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)
Ciri pokok perkembangan tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturang yang jelas dan logis. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis.anak sudah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah namun mereka tidak sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.
d.     Tahap Operasional Formal (Umur 11/12-18 tahun)
Ciri pokok dari tahap perkembangan ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir. Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkret, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal.
Anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Flavell (1963) memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
1)     Pada pemikiran anak remaja adalah hypothetico deductive. Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problem dan membuat keputusan terhadap problem itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima.
2)     Periode propositional thinking. Remaja telah dapat memberikan hadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta.
3)     Periode combinatorial thinking. Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengombinasikan faktor-faktor itu.
4       Teori Jerome Bruner dengan “Discovery Learning”nya
Yang menjadikan dasar ide Jerome Brune ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya “ discovery learning” yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository taching dimana guru menerangkan semua informal dan murid harus mempelajari semua bahan atau informasi itu.
Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
1)     Perkemmbangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2)     Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system penyimpanan informasi secara realis.
3)     Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini bergantung pada kepercayaan diri sendiri.
4)     Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5)     Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada, diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
6)     Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternative secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.
Tahap perkembangan kognitif menurut Bruner:
1)     Tahap Enactif, seseorang melakukan aktifitasnya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dsb.
2)     Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan.
3)     Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan di sekolah lebih banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan berpikir intuitif.
5       Teori Belajar Bermakna Ausubel
Ausubel mengungkapkan bahwa struktur kognitif merupakan struktur organisasional  yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintegrasikan unsure-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
Dewasa ini dibedakan empat gaya kognitif yaitu :
1)     Kecendrungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. Sesuatu yang dipelajari ditinjau dari beberapa sidut dan seoalah-olah dibagi atas beberapa bagian yang masing-masing diperdalam, untuk kemudian digabung lagi. Gaya seperti ini dilawankan dengan kecendrungan untuk mempelajari sesuiatu secara global tanpa mengadakan peotongan atau pembagian.
2)     Perbedaan antara kedua kecendrugan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal sebagai ketergantungan pada medan (field dependency) lawan ketidak-ketergantungan pada medan (field-independent). Dalam hal yang pertama orang cendrung memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Oleh karena itu guru yang sungguh-sungguh mengenal kepribadian masing-masing siswa, harus mendampinginya dalam memanfaatkan kelebihannya serta mengatasi kelemahannya.
3)     Ketahanan terhadap kecendrungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah diplih dalam mempelajari sesuatu. Sekali dipilih suatu cara yang dinilai tepat apakah cara itu mudah ditinggalkan untuk diganti dengan cara lain yang nampaknya lebih mudah, tetapi sebanarnya kurang tepat.
4)     Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas atau yang lebih terbatas. Yang pertama mencakup banyak hal sekaligus yang kedua mencakup beberapa hal saja.
5)     Kecendrungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara obyek-obyek atau kurang meperhatikannya. Hal initerutama menyangkut pengamatan yang dalam belajar dapat memegang peranan penting.
6)     Kecendrungan ini mungkin dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendfasari yaitu bereaksi dengan sangat cepat, namun kurang tepat (impulsif) atau bereaksi dengan lebih lamban tetapi tepat( refleksif). Dengan meningkatknya umur anak pada umumnya menjadi lebih refleksif, namun anak yang sejak umur muda cendrung bera\eaksi dengan cepat tidak akan berbalik menjadi orang yang angat bereakasi refleksif siswa yang cendrung untuk terlalu inplusif dalam berpersepsi dan mengerjakan tugas-tugas belajar, harus dibantu untuk bekerja dengan lebih lambat, mialnya dengan menganjurkan supaya membaca soal dalam tes secara teliti dan menjawabnya secara terencana.
7)     Tipe belajar menunjuk pada kecendrungan seseorang untuk mempelajari seauatu dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong tipe visual cendrung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, duagram dan lain sebagainya. Namun tidak semua siswa akan jelas trgolong kedalam salah satu tipe; mungkin saja seorang siswa akan menyesuaikan tipe belajarnya dengan materi pelajaran yang dihadapi. Adapula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik dalam menglah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
8)     Teknik teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat .
E.     Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)     Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya. Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2)     Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkrit.
3)     Keterlibatan siswa secara aktif dalam nelajar amat dipentingkan, karena hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4)     Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
5)     Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6)     Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal. Agar bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
7)     Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena factor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIF

A.       Teori Belajar Konstruktivistik
Banyak sekali macam kegiatan yang dapat digolongkan kepada belajar, seperti mencari arti sebuah kata dalam kamus, mengingat dan menghafal puisi, mengoperasikan mesin ketik,mendengarkan uraian guru di kelas, berdiskusi dengan teman dan sebagainya.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
(1) Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
(2) Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
(3) Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
(4) Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
(5) Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembangan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
(1) Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama.
(2) Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual.
(3) Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan(equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
B.       Hakikat Pembelajaran menurut Teori Konstruktivistik
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker  mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
(1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
(2)  Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
(3)  Strategi siswa lebih bernilai.
(4) Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri
(2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
(3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
(4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
(5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
(6) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
C.       Proses Belajar menurut Teori Konstruktivistik
Secara konseptual proses belajar ini dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai peroleh informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “... constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency...”. Pemberian makna terhaadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun di luar kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya bahkan pada unjuk kerja atau prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti nilai, ijasah, dan sebagainya.
Peranan Siswa (Si-belajar). Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakikatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang sama dan sesuai dengan kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang meliputi,
1)     Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2)     Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3)     Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana Belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu, seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional.
Evaluasi Belajar. Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman. Hal ini memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik. Ada perbedaan penerapan evaluasi belajar antara pandangan behavioristik (tradisional) yang obyektifis dan konstruktivistik. Pembelajaran yang diprogramkan dan didesain banyak mengacu pada obyektifis, sedangkan Piagetian dan tugas-tugas discovery lebih mengarah pada konstruktivistik. Obyektifis mengakui adanya reliabilitas pengetahuan, bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti dan tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersruktur dengan rapi. Guru bertugas untuk menyampaikan pengetahuan tersebut. Realitas dunia dan strukturnya dapat dianalisis dan diuraikan, dan pemahaman seseorang akan dihasilkan oleh proses-proses eksternal dari struktur dunia nyata. Tujuan para perancang dan guru-guru tradisional adalah menginterprestasikan kejadian-kejadian nyata yang akan diberikan kepada para siswanya.
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa realitas ada pada pikiran seseorang. Manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikan berdasarkan pengalamnnya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan umtuk menginterpretasikan objek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam menginterpretasikan kejadian, objek, dan pandangan terhadap dunia nyata, dimana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual.
Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa akan dapat menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, bahwa konteks pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya. Guru dapat membantu siswa mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dan eksternal. Jika hasil belajar dikonstruksi secara individual, bagaimana mengevaluasinya.
Evaluasi belajar pandangan behavioristik tradisional lebih diarahkan pada tujuan belajar. Sedangkan pandangan konstruktvistik menggunakan goal-free evaluation, yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya akan berat sebelah. Pemberian kriteria pada evaluasi mengakibatkan pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran yang juga kan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi. Juga mengkonstruksi pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif.
D.       Implikasi dari Teori Belajar Konstruktivistik
(1)   Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
(2)   Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
(3)   Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivistik

Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
E.       Perbandingan Teori Belajar Behavioristik dengan Teori Konstruktivistik
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik
1.     Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruh dengan menekankan pada ketrampilan-ketrampilan dasar.
1.     Kurikulum disajikan mulai dari keseliruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
2.     Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.
2.     Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.    
3.     Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja.
3.     Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.
4.     Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa.
4.     Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
5.     Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.
5.     Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin didalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal—hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.
6.     Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.
6.     Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process.



A.       Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Bagi penganut teori humanistik ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Teori ini sangat menekankan pada pentingnya “isi” dari proses belajar , dalam kenyataan teori ini lebih banyak membicarakan tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya. Menurut teori ini, teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia dapat tercapai. [2]
Teori-teori belajar ini telah menekankan peranan lingkungan dan faktor-faktor kognitif dalam proses belajar mengajar. Walaupun teori ini secara jelas menunjukkan bahwa belajar dipengaruhi oleh bagaimana siswa-siswa berpikir dan bertindak, teori-teori tersebut juga jelas-jelas dipengaruhi dan diarahkan oleh arti pribadi dan perasaan-perasaan yang mereka ambil dari pengalaman belajar mereka.
Ahli-ahli teori humanistik menunjukkan bahwa (1) tingkah laku individu pada mulanya ditentukan oleh bagaimana mereka merasakan dirinya sendiri dan dunia sekitarnya dan (2) individu bukanlah satu-satunya hasil dari lingkungan mereka seperti yang dikatakan oleh ahli teori tingkah laku, melainkan langsung dari dalam (internal), bebas memilih, dimotivasi oleh keinginan untuk aktualisasi diri (self-actualization) atau memenuhi potensi keunikan mereka sebagai manusia.
Dari perspektif humanistik, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsif terhadap kebutuhan kasih sayang (effective) siswa. Kebutuhan efektif ialah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral. Kebutuhan-kebutuhan ini diuraikan oleh Combs sebagai tujuan pendidikan humanistik, yaitu
1. menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa,
2.   memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri siswa,
3. memperkuat perolehan keterampilan dasar (akademik, pribadi, antarpribadi, komunikasi, dan ekonomi),
4.   memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya.,
5. mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai, dan persepsi, dalam proses pendidikan,
6. mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti, mendukung, menyenangkan, serta bebas dari ancaman.
7.  mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek dan menghargai orang lain, dan terampil dalam menyelesaikan konflik. [3]
B.       Pandangan Para Tokoh Mengenai Teori Humanistik [4]
1.     Bloom dan Krathwohl
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mesti  dikuasai atau dipelajari oleh siswa (sebagai tujuan belajar) setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakan tersebut dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom.
a.     Kognitif [5]
1)       Pengetahuan (mengingat, menghafal)
Kemampuan, untuk mengingat, atau mengenali fakta dan gagasan berdasarkan permintaan. Kemampuan mengingat berat atom dari sebuah elemen logam merupakan salah satu contoh bentuk pembelajaran ini, demikian pula dengan mengenali nama-nama ibukota dari berbagai Negara di dunia sesuai dengan daftar yang diberikan oleh guru.
2)       Pemahaman
Kemampuan untuk menggunakan pengetahuan yang sudah diingat lebih-kurang sama dengan yang sudah diajarkan dan sesuai dengan maksud penggunaannya. Kemampuan menjelaskan penyebab terjadinya inflasi mata uang, misalnya, dianggap sebagai sebuah pemahaman, selama para siswa tidak hanya mengulang pernyataan yang diajarkan para guru tentang pokok bahasan tersebut.
3)       Aplikasi( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
Kemampuan menggunakan gagasan-gagasan atau prinsip-prinsip umum terhadap situasi-situasi tertentu. Sebagai contoh: kemampuan menemukan sebuah buku di sebuah perpustakaan, akan membentuk suatu aplikasi. Akan tetapi hal ini hanya akan terjadi jika siswa sudah mempelajari secara umum bagaimana perpustakaan mengorganisasi buku-bukunya.
4)       Analisis ( menjabarkan suatu konsep)
Kemampuan untuk mengelompokkan sebuah gagasan atau wacana dan mengevaluasi macam-macam kelompok tersebut. Sebagai contoh, kemampuan menulis kritik terhaadap sebuah film membutuhkan analisa jika para siswa harus membahas secara terpisah beberapa aspek- plot, fotografi,dsb- dari film tersebut. Akan tetapi menulis sebuah kritik film tidak membutuhkan sebuah analisa jika siswa hanya sekedar mengekspresikan perasaan yang umum tentang film tersebut (suka atau tidak suka).
5)       Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
Kemampuan untuk mengkombinasikan beberapa elemen ke dalam sebuah struktur yang telah besar atau menyeluruh. Misalnya, kemampuan untuk menulis kritik terhadap beberapa film mengharuskan digunakannya sintesa jika para siswa diharapkan mampu menemukan dan menjelaskan beberapa aspek yang sama-sama dimiliki oleh semua film tersebut. Akan tetapi menulis sebuah essay tentang beberapa film tersebut tidak akan membutuhkan sebuah sintesa jika para siswa hanya sekedar menggabungkan sintesa-sintesa yang sudah ada sebelumnya. Misal: sintesa dari sebuah majalah film.
6)       Evalusi ( membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb)
Kemampuan untuk menilai seberapa baik gagasan-gagasan atau materi-materi pengetahuan dalam memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Sebuah essai tentang manfaat dari teori sejarah tertentu merupakan sebuah contoh pengetahuan yang membutuhkan evaluasi, jika criteria dalam menilai teori tersebut sudah sangat jelas dan tegaas bagi para siswa.
b.     Psikomotor
1)     Peniruan ( menirukan gerak)
2)     Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak )
3)     Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar)
4)     Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5)     Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar )
c.      Afektif
1)     Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
Sebagai contoh, kemampuan menyadari pengunaan warna dan perspektif yang berbeda dalam dua buah lukisan. 
2)     Merespon ( aktif berpartisipasi )
Sebagai contoh, kesediaan untuk mendiskusikan perbedaan antara dua buah lukisan.
3)     Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu ) Adanya perasaan dan keyakinan bahwa objek, gagasan atau kelompok gagasan tertentu memiliki nilai. Pada dasarnya pelajar mengadopsi sebuah sikap yang sudah ada sebelumya dari pihak lain, mungkin guru, teman, atau keluarga. Sebagai contoh, memutuskan bahwa mengetahui keunggulan sebuah lukisan adalah hal yang memiliki nilai, menunjukkan kemampuan menilai, selama keputusan tersebut jujur dan tulus.
4)     Pengorganisasian ( menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
Sebagai contoh, seseorang sangat mungkin memutuskan bahwa pengetahuan secara umum merupakan hal yang sangat dibutuhkan, sehingga pengetahuan tentang seni merupakan salah satu bagian dari komitmen umum tersebut.
5)     Pengamalan ( menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup)
Seseorang sebisa mungkin akan membenarkan tingkah laku seseorang berdasarkan pada keyakinan seseorang, dan juga pada standar nilai seseorang dalam semua aktivitas yang berbeda-beda.
Taksonomi Bloom ini berhasil memberikan insprasi pada para pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini mampu membantu praktisi pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dengan bahasa yang mudah dipahami, operasional, serta dapat diukur. Selain itu teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya.
2.     Kolb
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi empat, yaitu:
a.        Pengalaman konkret
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat pula menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat, bagaimana, dan mengapa kejadian itu harus terjadi seperti itu. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peritiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
b.        Pengamatan aktif dan reflektif
Pada tahap ini siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai memikirkan dan memahaminya. Ia mulai berupaya umtuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaiman hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap kedua dalam proses belajar.
c.        Konseptualisasi
Pada tahap ini siswa mulai belajar untuk membuat teori tentang sesuatu yang pernah diamatinya. Seseorang sudah mulai membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memilki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d.        Eksperimentasi aktif
Pada tahap terakhir ini sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Artinya seseorang sudah melakukan eksperimentasi secara aktif. Ia mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal-usul teori atau rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap berikutnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap yang lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.
3.     Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam tipe siswa, yaitu:
a.     Aktivis
Ciri dari siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang suka melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikir terbuka dan mudah diajak berdialog serta menghargai pendapat orang lain. Namun siswa semacam ini terkadang kurang skeptik terhadap sesuatu dan seringkali dalam melakukan suatu tindakan kurang pertimbangan secara matang dan lebih didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Ini kadangkala identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar mereka menyukai metode yang mendorong seseorang menemukan hal-hal baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya. Namun mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.  
b.     Reflektor
Mereka yang termasuk keompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis.  Siswa bertipe reflektor cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, siswa tipe ini cenderung konservatif, artinya mereka lebih suka menimbang–nimbang secara cermat, baik buruk suatu keputusan. Mereka cenderung tidak mudah dipengaruhi.
c.     Teoris
Bagi mereka yang bertipe teoris, siswa ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang subjektif. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori-teori atau konsep-konsep maupun hukum-hukum. Bagi mereka berpikir secara rasional adalah sesuatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.  Mereka lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat , sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat oang lain.
d.     Pragmatis
Untuk siswa tipe pragmatis, biasanya menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis pada segala hal. Mereka memiliki sifat-sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktekkan. Teori memang penting menurut mereka. Namun, apabila teori tidak bisa dipraktikkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis dari sesuatu. Bagi mereka, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik jika bisa dipraktikkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
4.     Habernas
Menurut ahli psikologi lainnya, yaitu Habernas, bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi itu, dia mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yakni:
a.        Belajar Teknis ( Technical Learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sains amat dipentingkan dalam belajar teknis.
b.        Belajar Praktis ( Practical Learning)
Yang dimaksud dengan belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya., yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya, dengan baik. Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi, tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang di sekelilingnya. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, anthropologi, dan semacamnya, amat diperlukan.
c.        Belajar Emansipatoris ( Emancipatory Learning)
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habernas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
5.     Rogers
Pendekatan Rogers dapat dimengerti dari prinsip-prinsip penting belajar humanistik yang diidentifikasikan sebagai sentral dari filsafat pendidikannya.
1)     kenginan untuk belajar (the desire to learn)
Rogers percaya bahwa manusia secara wajar mempunyai keinginan untuk belajar. Keinginan ini dapat mudah dilihat dengan memperhatikan keingintahuan yang sangat dari seorang anak ketika dia menjelajahi (meng-explore) lingkungannya. Keingintahuan anak yang sudah melekat atau sudah menjadi sifatnya untuk belajar adalah asumsi dasar yang penting untuk pendidikan humanistik. Dalam kelas yang menganut pandangan humanistik, anak diberi kebebasan untuk memuaskan keingintahuan mereka, untuk mengikuti minat mereka yang tak bisa dihalangi, untuk menemukan diri mereka sendiri, serta apa yang penting dan berarti tentang dunia yang mengelilingi mereka. Orientasi ini sangat berlawanan dengan kelas tradisional, di mana guru atau kurikulum menentukan apa yang harus siswa pelajari.
2)     belajar secara signifikan (significant learning)
Dalam prinsip belajar humanistik yang kedua, Rogers telah mengidentifikasikan bahwa belajar secara signifikan terjadi ketika belajar dirasakan relevan terhadap kebutuhan dan tujuan siswa. Membicarakan pandangan Combs bahwa belajar dibagi menjadi 2 proses yang meliputi perolehan dari informasi baru dan menurut selera siswa. Jika siswa belajar dengan baik dan paling cepat, humanis menganggap ini adalah belajar secara signifikan.
3)      belajar tanpa ancaman (learning without threat)
Prinsip lain yang diidentifikasikan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling baik adalah memperoleh dan menguasai suatu lingkungan yang bebas dari ancaman. Proses belajar dipertinggi ketika siswa dapat menguji kemampuan mereka, mencoba pengalaman baru, bahkan membuat kesalahan tanpa mengalami sakit hati karena kritik dan celaan.
4)      belajar atas inisiatif sendiri (self initiated learning)
Untuk teori humanistik, belajar akan paling signifikan dan meresap ketika belajar  itu atas inisiatifnya sendiri, dan ketika belajar melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar sendiri. Dengan memilih pengarahan dari orang yang sedang belajar sendiri akan memberi motivasi tinggi dan kesempatan kepada siswa untuk belajar bagaimana belajar. Penguasaan mata pelajaran tidak diragukan lagi pentingnya, tetapi tidak lebih penting dari pada kemampuan untuk menemukan sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri dengan memusatkan perhatian siswa pada program belajar hasilnya amat baik.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar siswa untuk mandiri dan percaya diri. Ketika siswa belajar atas inisiatifnya, mereka mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan, pemilihan, dan penilaian. Mereka lebih tergantung pada diri mereka sendiri dan kurang tergantung pada penilaian orang lain.
Dalam belajar atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek seseorang, kognitif dan afektif. Rogers dan ahli humanistik lainnya menyebut ini sebagai whole-person learning. Ahli-ahli humanistik percaya bahwa jika belajar adalah pribadi dan affectife, maka belajar akan membuat perasaan memiliki dalam diri siswa.
5)     belajar dan berubah
Prinsip akhir bahwa Rogers telah mengidentifikasi bahwa belajar yang paling bermanfaat adalah belajar tentang proses belajar. Rogers mencatat bahwa siswa pada masa lalu belajar satu set fakta ilmu statistik dan ide-ide. Dunia menjadi lambat untuk berubah dan apa yang dipelajari di sekolah cukup untuk memenuhi tuntutan waktu. Sekarang, perubahan adalah fakta hidup. Pengetahuan berada dalam keadaan yang terus berubah secara kontan. Belajar seperti waktu lalu tidak cukup lama untuk memungkingkan seseorang akan sukses dalam dunia modern. Apa yang dibutuhkan sekarang, menurut Rogers adalah individu yang mampu belajar dalam lingkungan yang berubah.

C.       Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi daripada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yakni memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan termasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya.
Dalam pratiknya, teori belajar humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu walaupun secara eksplisit belum ada pedoman baku tentang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik namun paling tidak ada langkah-langkah yang dapat digunakan, yaitu:
1.        Mentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
2.        Menentukan materi pelajaran.
3.        Mengidentifikasi kemampuan awal.
4.        Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
5.        Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
6.        Membimbing siswa belajar secara aktif.
7.        Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pemahaman belajarnya.
8.        Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
9.        Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
10.     Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Prinsip-prinsip belajar dan sifat-sifat guru yang telah diidentifikasi oleh Rogers sebagai pusat dari filsafat pendidikannya, dan telah dimasukkan ke dalam pendekatan, dia sebut sebagai pendidikan yang berpusat pada pribadi seseorang (Person Centered Education). Dia merasa pendekatan ini menghasilkan belajar yang lebih dalam dan dapat diperoleh lebih cepat dan meresap dari pada belajar yang terjadi di bawah pendekatan kelas yang tradisional.
Rogers, seperti banyak pendidik humanistik yang lain, tidak begitu memperhatikan metodologi pengajaran. Nilai dari perencanaan kurikulum, keahlian ilmiah guru, atau penggunaan teknologi tidak sepenting memudahkan belajar, seperti respon perasaan siswa atau mutu dari interaksi antara siswa dan guru. Walaupun begitu, Rogers merasa bahwa ada strategi pengajaran tertentu dan metode yang membantu dalam mempromosikan belajar melalui teori humanistik.
Satu strategi yang disarankan Rogers adalah memberi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat mendukung dan membimbing pengalaman belajar mereka. Sumber-sumber dapat meliputi materi pengajaran yang biasa, seperti buku bimbingan referensi dan alat-alat bantuan listrik, (misalnya kalkulator dan komputer). Sumber dapat juga meliputi orang, seperti anggota masyarakat yang mempunyai bidang minat atau ahli yang bersedia mengungkapkan pengalaman-pengalamannya pada siswa. Guru-guru juga dapat sebagai sumber dengan pengetahuan dan pengalaman keterampilan yang tersedia untuk siswa jika diperlukan.
Strategi yang disarankan Rogers adalah peer-tutoring (siswa yang mengajar siswa lain) banyak bukti yang menunjukkan bahwa pengalaman ini berguna untuk keduanya, siswa yang mengajar maupun yang diajar.
Rogers adalah penganjur yang kuat pada penemuan dan penyelidikan, dimana siswa mencari jawaban terhadap pertanyaan yang real, membuat penemuan autono-mous (bebas), dan menjadi pencetus belajar atas inisiatifnya sendiri.


TEORI MOTIVASI
A.          PENGERTIAN MOTIVASI
Banyak sekali, bahkan sudah umum orang menyebut dengan “motif” untuk menunjuk mengapa seseorang itu berbuat sesuatu. Apa motifnya si Badu itu membuat kekacauan, apa motifnya si Aman itu rajin membaca, apaa motifnya Pak Jalu memberikan insentif kepada para pembantunya, dan begitu seterusya. Kalau demikian, apa yang dimaksud dengan motif?
Kata “motif”, diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat di katakan sebagai daya pengerrak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif dapat di artikan sebagai suatu kondisi intem (kesiapsiagaan). Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya pengerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat  tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak.
Menurut Mc. Donald, motivasi adalah perubahan energy dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan dari pengertian yang dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga elemen penting.
1.        Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energy didalam system “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energy manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.
2.        Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
3.        Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari sutu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsure lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.
Dengan ketiga elemen diatas, maka dapat dikatakan bahwa motifasi itu sebagai seuatu yang kompleks. Motivasi akan menyebabkan terjadinya sesuatu perubahan energy pada diri manusia, sehingga akan bergayut dengan persolan gejela kejiwaan, perasan dan juga emosi, untuk kemudian bertindak atau melakukan sesuatu. Semua ini didorong karena adanya tujuan, kebutuhan atau keinginan.
Dalam kegiatan belajar mengajar, apabila ada seseorang siswa, misalnya tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dikerjakan, maka perlu diselidikisebab-sebabnya. Sebab-sebab itu biasanya bermacam-macam, mungkin ia tidak senang, mungkin sakit, lapar, ada problem pribadi dan lain-lain. Hal ini berrti pada diri anak tidak terjadi perubahan energy, tidak terangsang afeksinyauntuk melakukan sesuatu, karena tidak memiliki tujuan atau kebetulan belajar. .keadaan semacam ini perlu dilakukan daya upaya yang dapat menemukan sebab musababnya  kemudian mendorong seseorang siswa itu mau melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan, yakni belajar.
Motivasi dapat juga diakatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi  tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka, maka akanberusaha untuk meniadakan atau menggelakkan perasaan tidak suka itu. Jai motivasi itu dapat dirangsang oleh faktor dari luar tapi motivasi itu adalah tumbuh didalam diri seseorang. Motivasi belajar adalah merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya yang khas adalah hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar.
Persoalan motivasi ini, dapat juga dikaitkan dengan persoalan minat. Minat diartikan sebagai suatu kondisiyang terjadi bila seseorang melihat cirri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubunngkan dengan keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Menurut Bernard, minat timbul tidak secara tiba-tiba atau spontan, melainkan timbul akibat dari partisipasi, pengalaman, kebiasaan pada waktu belajar atau bekerja. 
B.         TEORI-TEORI MOTIVASI
1.          Teori Hedonisme
Hedonisme adalah bahasa yunani yang berarti kesukaan, kesenanngan, atau kenikmatan. Hedonism adalah suatu aliran didalam filsafat yang memandang bahwa tujuan hidup yang utama pada manusia adalah mencari kesenangan yang bersifat duniawi. Pada abad ketujuh belas, Hobbes menyatakan bahwa apapun alasannya yang diberikan seseorang untuk perilakunya, sifat-sifat terpendam dari semua perilaku itu adalah kecenderungan untuk mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.
Oleh karenanya, setiapmenghadapi persoalan yang perlu pemecahan, manusia cenderung memilih alternative pemecahan yang dapat mendatangkan kesenangan daripada yang mengakibatkan kesukaran, kesulitan, dan penderitaan. Implikasi dari teori ini adalah adanya anggapan bahwa semua orang cenderung menghindari hal-hal yang menyulitkan dan lebih menyukai malakkan perbuatan yang mendatangkan kesenangan. Siswa dikelas merasa gembira dan bertepuk tangan mendengar pengumuman dari kepala sekolah bahwa guru matematika yang mereka benci tidak daapat mengajar karena sakit. Menurut teori hedonisme, para siswa harus diberi motivasi secara tepat agar tidak malas belajar matematika, dengan cara memenuhi kesenangannya.
2.          Teori Naluri (Psikoanalisis)
Manusia memiliki 3 dorongan nafsu pokok yang dalam hal ini disebut juga naluri yaitu :
-   Dorongan nafsu (naluri) mempertahankan diri
-   Dorongan nafsu (naluri) mengembangkan diri
-   Dorongan nafsu (naluri) mengembangkan/mempertahankan jenis
Dengan dimilikinya ketiga naluri pokok itu, maka kebiasaan-kebiasaan ataupun tindakan-tindakan dan tingkah laku manusia yang diperbuatnya sehari-hari mendapat dorongan atau digerakkan oleh ketiga naluri tersebut. Oleh karena itu, menurut teori ini, untuk memotivasi seseorang harus didasarkan naluri mana yang aka dituju dan perlu dikembangkan.
Misalkan seorang pelajar terdorong untuk berkelahi karena sering merasa dihina dan diejek teman-temannya karena ia dianggap bodoh dikelasnya. (naluri mempertahankan diri). Agar  pelajar tersebut tidak berkembang menjadi anak nakal yang suka berkelahi, perlu diberi motivasi, misalnya dengan menyediakan situasi yang dapat mendorong anak itu menjadi rajin belajar sehingga dapat menyamai teman-teman sekelasnya (naluri mengembangkan diri).
Sering kali kita temukan seseorang bertindak melakukan sesuatu karena didorong oleh lebih dari satu naluri pokok skaligus sehingga sukar bagi kita untuk menentukan naluri pokok mana yang lebih dominan mendorong orang  tersebut melakukan tindakan yang demikian itu . sebagai contoh: seseorang mahasiswa sangat tekun dan rajin belajar meskipun sebenarnya ia hidup didalam kemiskinan dalam keluarganya. Hal apakah yang menggerakkan mahasiswa itu tekun dan rajin belajar? Mungkin karena ia benar-benar ingin menjadi pandai (naluri mengembangkan diri), tetapi mungkin juga karena ia ingin meningkatkan karier pekerjaannya sehingg a dapat hidup senang bersama keluargannya dan dapat membiayai sekolah anak-anaknya (naluri mengembangkan/mempertahankan jennies dan naluri mempertahankan diri).
  
Motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.     Tekun menghadapi tugas (dapat belajar terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b.     Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa).Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya.
c.      Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah “untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan, agama, pollitik, ekonomi, keadilan)”.
d.     Lebih senang bekerja mandiri.
e.     Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).
f.       Dapat mempertahankan pendapatnya kalau (sudah yakin akan  sesuatu).
g.     Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
h.     Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
3.          Teori Reaksi yang Dipelajari
Teori ini berpandangan bahwa tindakan atau perilaku manusia tidak berdasarkan naluri-naluri, tetapi berdasarkan pola-pola tingkah laku yang dipelajari dari kebudayaan ditempat orang itu hidup. Orang belajar lebih banyak dari lingkungan kebudayaan ditempat ia hidup dan dibesarkan. Oleh karena itu, teiri ini disebut juga teori lingkungan kebudayaan. Menurut teori ini, apabila seorang pemimpin atau pendidik akan memotivasi anak buah atau anak didiknya, pemimpin atau pendidik itu hendaknya mengetahui benar-benar latar belakang kehidupan dan kebudayaan orang-orang yang dipimpinnya.
Dengan mengetahui latar belakang kebudayaan seseorang kita dapat mengetahui pola tingkah lakunya dan dapat memahami pula mengapa ia bereaksi atau bersikap yang mungkin berbeda dengan orang lain dalam menghadapi suatu masalah. Kita mengetahui bahwa bangsa kita sendiri dari berbagai macam suku yang memilliki latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu banyak kemungkinan seorang pemimpin disuatu kantor atau seorang guru di sekolah akan menghadapi lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda sehingga perlu adanya pelayanan dan pendekatan yang berbeda pula, termasuk dalam pelayanan dalam pemberian motivasiterhadap mereka.
4.          Teori Daya Pendorong (Drive Theory)
Teori ini merupakan perpaduan antara “teori naluri” dengan “eori reaksi yang dipelajari”. Daya pendorong adalah semacam naluri, tetapi hanya suatu dorongan kekuatan yang luas terhadap suatu arah yang umum. Misalnya, suatu daya pendorong pada jenis kelamin yang lain. Semua orang dalam semua kebudayaan mempunyai daya pendorong pada jenis kelamin yang lain. Namun, cara-cara yang digunakan dalam mengajar kepuasan terhadap daya pendorong tersebut berlain-lainan bagi tiap individu menurut latar belakang kebudayaan masing-masing. Oleh karena itu, menurut teori ini, bila seorang pemimpin ataupun pendidik ingin memotivasi anak buahnya, ia harus mendasarkannya atas daya pendorong, yaitu atau naluri dan juga reaksi yang dipelajari dari kebudayaan lingkkungan yang dimilikinya. Memotivasi anak didik yang sejak kecil dibesarkan di daerah Gunung Kidul misalnya, kemungkinan besarakan berbeda dengan cara memberikan motivasi kepada anak yang di besarkan di kota Medan meskipun masalah yang dihadapinya sama.
5.          Teori Kebutuhan
Teori motivasi yang sekarang banyak dianut orang adalah teori kebutuhan. Teori ini beranggapan  bahwa tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikis. Oleh karena itu, menurut teori ini, apabila seorang pemimpin ataupun pendidik bermaksud memberikan motivasi kepada seseorang ia harus berusaha mengetahui dahulu apa kebutuhan-kebutuhan orang yang akan di motivasinya.
Teori A Braham Maslow sebagai pakar psikolog, Maslow mengemukakan adanya lima kebutuhan pokok manusia. Kelima tingkatan kebutuhan pokok inilah yang kemudian dijadikan pengertian kunci dalam mempelajari motivasi manusia.adapun kelima tingkatan kebutuhan adalah:
a.     Kebutuhan fisiologis (physiological needs). Kebutuhan ini juga disebut “Behaviour theories”. Menurut kebutuhan ini semua tindakan manusia itu berakar pada usaha memenuhi kepuasan  dan kebutuhan organic atau kebutuhan untuk kepentingan fisik. Atau disebut sebagai kebutuhan primer, seperti kebutuhan tentang makanan, minuman, udara dan lain-lain yang diperlukan untuk kepentingan tubuh seseorang. Dari kebutuhan inilah muncul perjuangan hidup, perjuangan untuk mempertahankan hidup, struggle for survival.
b.     Kebutuhan rasa aman daan perlindungan (safety and security needs). Kebutuhan tingkat kedua ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Seperti terjamin keamanannya, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, perlakuan tidak adil, dsb. Oleh karena itu, di kelas atau dimana saja, guru harus berusaha agar dirinya tidak menjadi sumber rasa tidak aman sebagai akibat seringnya menghukum atau merendahkan peserta didik dengan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, dan membuat hati terluka.
c.      Kebutuhan kasih sayang (belongingness and love needs). Kebutuhan ini mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Yang meliputi antara lain kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan secara pribadi, diakui sebagai anggota kelompok, rasa setia kawan, kerja sama. Maslow percaya bahwa setiap orang membutuhkan, member dan menerima kasih sayang, butuh merasakan bawa dirinya menjadi bagian dari suatu kelompok atau masyarakat.
d.     Kebutuhan akan rasa harga diri (esteem needs). Kebutuhan ini terdiri dari dua bagian. Pertama adalah penghormatan atau penghargaan dari diri sendiri, dan kedua adalah penghargaan dari orang lain. Misalnya hasrat untuk memperoleh kekuatan pribadi dan mendapat penghargaan atas apa-apa yang dilakukannya. Kebutuhan ini meliputi hasrat atau keinginan untuk berpikir keras tentanng diri sendiri (self-esteem) dan keinginan agar orang lain peduli akan dirinya, atau kita ingin agar oranng lain berpikir tentang diri kita. Penghargaan adalah apa yang membuat kita merasa yakin (pasti) dan berguna, tanpa penghargaan ini kita merasa rendah dan tidak berguna. Termasuk juga kebutuhan akan dihargai karena prestasi, kemampuan, kedudukan atau status, pangkat, dsb.
e.     Kebutuhan akan aktualisasi diri (need for self actualization). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling tinggi dan akan muncul apabila kebutuhan yang ada di bawahnya sudah terpenuhi dengan baik. Misalnya seorang ilmuan menemukan suatu teori yang berguna bagi kehidupan. Aktualisasi diri merupakan realisasi potensi yang dimilliki, yaitu latihan untuk menyalurkan bakat hingga mencapai batas akhir. Orang yang memiliki kemampuan berpikir logis senantiaasa ingin tahu, perlu (butuh) menjadi ilmuwan. Sebagian besar orang tidak memiliki atau mencapai kebutuhan aktualisasi diri, sebab kebanyakan tidak pernah secara penuh mampu memenuhi kebutuhan cinta dan penghargaan. Seperti antara lain kebutuhan mempertinggi potensi-potensi yang dimiliki, pengembangan diri secara maksimum, kreativitas, dan ekspresi diri.
Pemenuhan kebutuhan biasanya dilakukan selangkah demi selangkah, mulai dari yang terendah sampai tingkat tertinggi. Tetapi tidak demikian apabila menurun. Seseorang yang telah mencapai tingkat kebutuhan tinggi, misalnya kebutuhan untuk berprestasi, tiba-tiba dapat kehilangan sama sekali motifnya untuk melakukan sesuatu apabila kebutuhan untuk diakui kelompoknya tidak terpenuhi. Penurunan ini tidak terjadi dalam satu tingkat saja tetapi dalam beberapa tingkat sekaligus. Contoh lain misalnya, seorang peserta didik yang giat belajar tinggi motivasinya untuk berprestasi tiba-tiba sama sekali tidak bersemangat karena putus cinta (kebutuhan untuk dicintai tidak terpenuhi).
Dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas pembelajaran, teori Maslow ini dapat digunakan sebagai pegangan untuk melihat dan mengerti mengapa :
a.     Peserta didik yang lapar, sakit atau kondisi fisiknya tidak baik tidak memiliki motivasi untuk belajar.
b.     Peserta didik lebih senang belajar dalam suasana yang menyenangkan.
c.      Peserta didik yang merasa disenangi, di terima oleh teman atau kelompoknya akan memiliki minat belajar yang lebih dibanding dengan peserta didik  yang diabaikan atau dikucilkan.
d.     Keinginan peserta didik untuk mengetahui dan memahami sesuatu tidak selalu sama.
6.          Teori insting
Menurut teori ini tindakan setiap diri manusia diasumsikan seperti tingkah jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakan selalu berkait dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respons terhadap adanya kebutuhan seolah-olah  tanpa dipelajari. Tokoh dari teori ini adalah Mc. Dougall.
Berdasarkan teori motivasi sebagaimana diuraikan di atas terdapat beberapa prinsip yang dapat  diterapkan untuk meningkatkan nafsu belajar peserta didik, sebagai berikut :
a. Peserta didik akan belajar lebih giat apabila topic yng dipelajarinya menarik, dan berguna bagi dirinya.
b. Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada peserta didik sehingga mereka mengetahui tujuan belajar.
c. Peserta didik harus selalu diberitahu tentang kompetensi, dan hasil belajarnya.
d. Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan.
e. Manfaatkan sikap, cita-cita, rasa ingin tahu, dan ambisi peserta didik.
f.     Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual peserta didik, misalnya perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subjek tertentu.
g. Usahakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dengan jalan memperhatikan kondisi fisik, memberikan rasa aman, menunjukkan bahwa guru memperhatikan mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehinngga setiap peserta didik pernah memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri.
C.         FUNGSI MOTIVASI DALAM BELAJAR
Para pelajar mengurung dirinya dalam kamar untuk belajar, karena akan menghadapi ujian pada pagi harinya. Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing pihak itu sebenarnya dilatarbelakangi oleh sesuatu atau yang secara umum dinamakan motivasi. Motivasi inilah yang mendorong mereka untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan.
Begitu juga untuk belajarsangat diperlukan adanya motivasi. Motivation is an essential condition of learning.hasil belajar akan menjadi optimal, kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan, akan makin berhasil pula pelajaran itu. Jadi motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa.
Perlu ditegaskan, bahwa motivasi bertalian dengan suatu tujuan. Dengan demikian, motivasi mempengaruhi adanya kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut ada tiga fungsi motivasi :
1.     Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
2.     Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
3.     Menyeleksi perbuatan, yakni menetukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidk akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak serasi dengan tujuan.



0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............