CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday 26 March 2011

KONVERSI AGAMA



Apa yang dimaksud dengan konversi agama? Untuk memberikan definisi yang tegas, tentang apa yang dimaksud dengan konversi agama itu, tidak mudah kendatipun kita tahu, bahwa kata konversi (conversion) berarti “berlawanan arah”. Yang dengan sendirinya konversi agama berarti terjadinya suatu perubahan keyakinan yang berlawanan arah dengan keyakinan semula.[1] 
Konversi agama (religious conversion) secara umum dapat diartikan dengan berubah agama ataupun masuk agama. Untuk memberikan gambaran yang lebih mengena tentang maksud kata-kata tersebut perlu dijelaskan meleui uraian yang dilatarbelakangi oleh pengertian secara etimologis. Dengan pengertian berdasarkan asal kata tergambar ungkapan kata itu secara jelas.
1.   Pengertian Konversi Agama
a.   Pengertian konversi agama menurut etimologi konversi berasal dari kata lain “Conversio” yang berarti tobat, pindah, dan berubah (agama). Selanjutnya, kata              tersebut dipakai dalam kata inggris Conversion yang mengandung pengertian: berubah dari suatu keadaan atau dari suatu agama ke agama lain (change from one state, or from one religion, to another).
Berdasarkan arti kata-kata tersebut dapat disimpulkan bahwa konversi agama mengandung pengertian: bertobat, berubah agama, berbalik pendirian, terhadap ajaran agama atau masuk ke dalam agama (menjadi paderi).
b.      Pengertian konversi agama menurut terminologi. Menurut pengertian ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian konversi agama antara lain:
1.      Max Heirich mengatakan bahwa konversi agama adalah suatu tindakan di mana seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya.
2.      William James mengatakan, konversi agama adalah dengan kata-kata: to be assurance, are so many phrases whichdenotes to the process, gradual or sudden, by which a self hither devide, and consciously wrong inferior and unhappy, becomes unified and consciously right superior and happy, in consequence of its firmer bold upon religious realities.
Konversi agama banyak menyangkut masalah kejiwaan dan pengaruh lingkungan tempat berada. Selain itu, konversi agama dimaksudkan uaraian di atas memuat beberapa pengertian dengan cirri-ciri:
1)      Adanya perubahan arah pandangan dan keyakinan seseorang terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
2)      Perubahan yang terjadi dipengaruhi kondisi kejiwaan sehingga perubahan dapat terjadi secara berproses atau secara mendadak.
3)      Perubahan tersebut bukan hanya berlaku bagi perpindahan kepercayaan dari suatu agama ke agama lain, tetapi juga termasuk perubahan pandangan terhadap agama yanf dianutnya sendiri.
4)      Selain faktor kejiwaan dan kondisi lingkungan maka perubahan itu pun disebabkan factor petunjuk dari Yang Mahakuasa.
2.      Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Konversi Agama
Berbagai ahli berbeda pendapat dalam menentukan factor yang menjadi pendorong konversi. William James dalam bukunya The Variates of Religious Experience dan Max Heirich dalam bukunya Change of Heart banyak menguraikan faktor yang mendorong terjadinya konversi agama tersebut.
Dalam buku tersebut diuraikan pendapat dari para ahli yang terlibat dalam disiplin ilmu, masing-masing mengemukakan pendapat bahwa konversi agama disebabkan faktor yang cenderung didominasi oleh lapangan ilmu yang mereka tekuni.
1.      Para ahli agama menyatakan, bahwa yang menjadi faktor pendorong terjadinya konversi agama adalah petunjuk ilahi. Pengaruh supernatural berperan secara dominan dalam proses terjadinya konversi agama pada diri seseorang atau kelompok.
2.      para ahli sosiologi berpendapat, bahwa yang menyebabkan terjadinya konversi agama adalah pengaruh sosial. Pengaruh social yang mendorong terjadinya konversi itu terdiri dari adanya berbagai factor lain:
a.       Pengaruh hubungan antar pribadi abaik pergaulan yang bersifat keagamaan maupun nonagama (kesenian, ilmu pengetahuan ataupun bidang kebudayaan yang lain).
b.      Pengaruh kebiasaan yang rutin.
Pengaruh ini dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan jika dilakukan secara rutin hingga terbiasa, misalnya: menghadiri upacara keagamaan, ataupun pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan baik pada lembaga formal, ataupun nonformal.
c.       Pengaruh anjuran atau propoganda dari orang-orang yang dekat misalnya: karib, keluarga, famili, dan sebagainya.
d.      Pengaruh pemimpin agama.
Hubungan yang baik dengan pemimpin agama merupakan salah satu faktor pendorong konversi agama.
e.       Pengaruh perkumpulan yang berdasarkan hobi.
Perkumpulan yang dimaksud seseorang berdasarkan hobinya dapat pula menjadi pendorong terjadinya konversi agama.
f.        Pengaruh kekuasaan pemimpin
Yang dimaksud di sini adalah pengaruh kekuasaan pemimpin berdasarkan hokum. Masyarakat umumnya cenderung menganut agama yang dianut oleh kepala Negara atau Raja mereka (Cuius region illius est religio).
Pengaruh-pengaruh tersebut secara garis besarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh yang mendorong secara persuasive dan pengaruh yang bersifat koersif.
3.      Para ahli psikologi berpendapat bahwa yang menjadi pendorong terjadinya konversi agama adalah factor psikologis yang ditimbulkan oleh factor intern maupun ekstern. Factor-faktor tersebut apabila mempengaruhi seseorang atau kelompok hingga menimbulkan semacam gejala tekanan batin, maka akan terdorong untuk mencari jalan ke luar yaitu ketenangan batin. Dalam kondisi jiwa yang demikian itu menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan ke kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram.
Dalam uraian William James yang berhasil meneliti pengalaman berbagai tokoh yang mengalami konversi agama menyimpulkan sebagai berikut:
a.       Konversi agama terjadi karena adanya suatu tenaga jiwa yang menguasai pusat kebiasaan seseorang sehingga pada dirinya muncul persepsi baru, dalam bentuk suatu ide yang bersemi secara mantap.
b.      Konversi agama dapat terjadi oleh karena suatu krisis ataupun secara mendadak (tanpa suatu proses).
Berdasarkan gejala tersebut maka dengan meminjam istilah yang digunakan Starbuck ia membagi konversi agama menjadi dua tipe yaitu:
1)      Tipe Volitional (perubahan bertahap).
Konversi agama tipe ini terjadi secara berproses sedikit demi sedikit, sehingga menjadi seperangkat aspek dan kebiasaan ruhaniah yang baru. Konversi yang demikian itu sebagian besar terjadi sebagai suatu proses perjuangan batin yang ingin menjauhkan diri dari dosa karena ingin mendatangkan suatu kebenaran.
2)      Tipe Self-Surrender (perubahan drastic).
Konversi agama tipe ini adalah konversi yang terjadi secara mendadak. Seseorang tanpa mengalami suatu proses tertentu tiba-tiba berubah pendiriannya terhadap suatu agama yang dianutnya. Perubahan inipun dapat terjadi dari kondisi yang tidak taat menjadi lebih taat, dari tidak percaya kepada suatu agama kemudian menjadi percaya, dan sebagainya. Pada konversi tipe kedua ini William James mengakui adanya pengaruh petunjuk dari Yang Mahakuasa terhadap seseorang, karena gejala konversi ini terjadi dengan sendirinya pada diri seseorang sehingga ia menerima kondisi yang baru dengan penyerahan jiwa sepenuhnya. Jadi, ada semacam petunjuk (Hidayah) dari Tuhan.
3)      Masalah-masalah yang menyangkut tejadinya konversi agama tersebut berdasarkan tinjauan para psikolog adalah berupa pembebasan diri dari tekanan batin.
Faktor yang melatarbelakanginya timbul dari dalam diri (intern) dan dari lingkungan (ekstern).
a.       Faktor Intern, yang ikut mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1)      Kepribadian
Secara psikologi tipe kepribadian tertentu akan mempengaruhi kehidupan jiwa seseorang. Dalam penelitian W.James ia menemukan, bahwa tipe melankonis yang memiliki kerentanan perasaan lebih mendalam dapat menyebabkan terjadinya konversi agama dalam dirinya.
2)      Faktor Pembawaan
Menurut penelitian Guy E. Swanson bahwa ada semacam kecenderungan urutan kelahiran mempengaruhi konversi agama. Anak sulung dan anak yang bungsu biasnya tidak mengalami tekanan batin, sedangkan anak-anak yang dilahirkan pada urutan antara keduanya sering mengalami setress jiwa. Kondisi yang dibawa berdasarkan urutan kelahiran itu banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama.
b.      Faktor Ekstern (factor dari luar)
Di antara factor luar yang mempengaruhi terjadinya konversi agama adalah:
1)      Faktor kelurga, keretakan keluarga, ketidakserasian, berlainan agama, kesepian, kesulitan seksual, kurang mendapatkan pengakuam kaum kerabat, dan lainnya.
Kondisi yang demikian menyebabkan seseorang akan mengalami tekanan batin sehingga sering terjadi konversi agama dalam usahanya untuk meredakan tekanan batin yang menimpa dirinya.
2)      Lingkungan tempat tinggal
Orang yang merasa terlempar dari lingkungan tempat tinggal atau tersingkir dari kehidupan di suatu tempat merasa dirinya hidup sebatang kara. Keadaan yang demikian menyebabkan seseorang mendambakan ketenangan dan mencari tempat untuk bergantung hingga kegelisahan batinnya hilang.
3)      Perubahan status
Perubahan status, terutama yang berlangsung secara mendadak akan banyak mempengaruhi terjadinya konversi agama, misalnya: perceraian, ke luar dari sekolah atau perkumpulan, perubahan pekerjaan, kawin dengan orang yang berlainan agama, dan sebagainya.
4)      Kemiskinan
Kondisi sosial ekonomi yang sulit juga merupakan faktor yang mendorong dan mempengaruhi terjadinya konversi agama. Masyarakat awam yang miskin cenderung untuk memeluk agama yang menjanjikan kehidupan dunia yang yang lebih baik. Kebutuhan mendesak akan sandang dan pangan dapat mempengaruhi.
4.      Para ahli ilmu pendidikan berpendapat bahwa konversi agama dipengaruhi oleh kondisi pendidikan. Penelitian ilmu sosial menampilkan data dan argumentasi, bahwa suasana pendidikan ikut mempengaruhi konversi agama. Walaupun belum dapat dikumpulkan data secara pasti tentang pengaruh lembaga pendidikan terhadap konversi agama, namun berduirinya sekolah-sekolah yang bernaung di bawah yayasan agama tentunya mempunyai tujuan keagamaan pula.
3.      Proses Konversi Agama
Konversi agama menyangkut perubahan batin seseorang secara mendasar. Proses konversi agama ini dapat diumpamakan seperti proses pemugaran sebuah gedung, bangunan lama dibongkar dan pada tempat yang sama didirikan bangunan baru yang lain sama sekali dari bangunan sebelumnya.
 Demikian pula seseorang atau kelompok yang mengalami proses konversi agama ini. Segala bentuk kehidupan batinnya yang semula mempunyai pola tersendiri berdasarkan pandangan hidup yang dianutnya (agama), maka setelah terjadi konversi agama pada dirinya secara spontan pula lama ditinggalkan sama sekali. Segala bentuk perasaan batin terhadap kepercayaan lama, seperti: harapan, rasa bahagia, keselamatan, dan kemantapan berubah menjadi berlawanan arah. Timbullah gejala-gejala baru berupa, perasaan serba tidak lengkap dan tidak sempurna. Gejala ini menimbulkan proses kejiwaan dalam bentuk merenung, timbulnya tekanan batin, penyesalan diiri, rasa berdosa, cemas terhadap masa depan, dan perasaan susah yang ditimbulkan oleh kebimbangan.
Perasaan yang berlawanan itu menimbulkan pertentangan dalam batin, sehingga untuk mengatasi kesulitan tersebut harus dicari jalan penyalurannya. Umumnya apabila gejala tersebut sudah dialami oleh seseorang atau kelompok maka dirinya menjadi lemah dan pasrah ataupun timbul semacam peledakan perasaan untuk menghindarkan diri dari pertentangan batin itu. Ketenangan batin akan terjadi dengan sendirinya bila yang bersangkutan telah mampu memilih pandangan hidup yang baru. Pandangan hidup yang dipilih tersebut merupakan petaruh bagi masa depannya, sehingga ia merupakan pegangan baru dalam kehidupan selanjutnya.
Sebagai hasil dari pemilihannya terhadap pandangan hidup itu maka bersedia dan mampu untuk membaktikan diri kepada tuntutan-tuntutan dari peraturan ada dalam pandangan hidup yang dipilihnya itu berupa ikut berpartisipasi secara penuh. Makin kuat keyakinannya terhadap kebenaran pandangan hidup itu akan semakin tinggi pula nilai bakti yang diberikannya.
M.T.L. Penido berpendapat, bahwa konversi agama mengandung dua unsure yaitu:
1.      Unsur dari dalam dirie (endogenos origin), yaitu proses perubahan yang terjadi dalam batin ini membentuk suatu kesadaran untuk mengadakan suatu transformasi disebabkan oleh krisis yang terjadi dan keputusan yang diambil seseorang berdasarkan pertimbangan pribadi. Proses ini terjadi menurut gejala psikologis yang bereaksi dalam bentuk hancurnya struktur psikologis yang lama dan seiring dengan proses tersebut muncul pula srtuktur psikologis baru yang dipilih.
2.      Unsur dari luar (exogenous origin), yaitu proses perubahan yang berasal dari luar diri atau kelompok, sehingga mampu menguasai kesadaran orang atau kelompok yang bersngkutan. Kekuatan yang datang dari luar ini kemudian menekan pengaruhnya terhadap kesadaran, mungkin berupa tekanan batin, sehingga memerlukan penyelesaian oleh yang bersangkutan.
Kedua unsure tersebut kemudian mempengaruhi kehidupan batin untuk aktif berperan memilih penyelesaian yang mampu memberikan ketenangan batin kepada yang bersangkutan. Jadi, di sini terlihat adanya pengaruh motivasi dari unsur tersebut terhadap batin. Jika pemilihan tersebut sudah serasi dengan kehendak batin maka akan terciptalah suatu ketenangan. Seiring dengan timbulnya ketenangan batin tersebut terjadilah semacam perubahan total dalam stuktur psikologis sehingga sruktur lama terhapus dan digantikan dengan yang baru sebagai hasil pilihan yang dianggap baik dan benar. Sebagai pertimbangannnya akan munculmotivasi baru untuk merealisasi kebenaran itu dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang positif.
Jika proses konversi itu diteliti dengan seksama maka baik hal itu terjadi oleh unsur luar ataupun unsur dalam ataupun terhadap individu atau kelompok, akan ditemui persamaan.
Perubahan yang terjadi tetap pentahapan yang sama dalam bentuk kerangka proses secara umum.
Kerangka prose situ dikemukakan antara lain oleh:
a.       H.Carrier, membagi proses tersebut dalam pentahapan sebagai berikut:
1)      Terjadi disintegrasi sintetis kognitif dan motivasi sebagai akibat dari krisis yang dialami.
2)      Reintegrasi kepribadian berdasarkan konversi agama baru. Dengan adanya reintegrasi ini maka terciptalah kepribadian baru yang berlawanan dengan srtuktur lama.
3)      Tumbuh sikap menerima konsepsi agama baru serta peranan yang dituntut oleh ajarannya.
4)      Timbul kesadaran bahwa keadaan yang baru itu merupakan panggilan suci petunjuk Tuhan.
b.      Dr. Zakia Daradjat memberikan pendapatnya yang berdasarkan proses kejiwaan yang terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
1)      Masa tenang
Di saat ini kondisi jiwa seseorang berada dalam keadaan tenang, karena masalah agama belum mempengaruhi sikapnya. Terjadi semacam sikap apriori terhadap agama. Keadaan yang demikian dengan sendirinya tidak akan mengganggu keseimbangan batinnya, hingga ia berada dalam keadaan tenang dan tenteram.
2)      Masa ketidaktenangan
Tahap ini berlangsung jika masalah agama telah mempengaruhi batinnya. Mungkin dikarenakan suatu krisis, musibah ataupun perasaan berdosa yang dialaminya. Hal ini menimbulakan semacam kegoncangan dalam kehidupan batinnya, sehingga mengakibatkan terjadi kegoncangan yang berkecamuk dalam bentuk rasa gelisah, panic, putus asa, ragu, dan bimbang. Perasaan seperti itu menyebabkan orang menjadi lebih sensitive dan sugesibel. Pada tahap ini terjadi proses pemilihan terhadap ide atau kepercayaan baru untuk mengatasi konflik batinnya.
3)      Masa konversi
Tahap ketiga ini terjadi setelah konflik batin mengalami keredaan, karena kemantapan batin telah terpenuhi berupa kemapuan menentukan keputusan untuk memilih yang dianggap serasi ataupun timbulnya rasa pasrah. Keputusan ini memberikan makna dalam menyelesaikan pertentangan batin yang terjadi, sehingga terciptalah ketenangan dalam bentuk kesediaan menerima kondisi yang dialami sebagai petunjuk ilahi. Karena di saat ketenangan batin itu terjadi dilandaskan atas suatu perubahan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan yang bertentangan dengan sikap kepercayaan sebelumnya, maka terjadilah proses konversi agama.
4)      Masa Tenang dan Tenteram
Masa tenang dan tenteram yang kedua ini berbeda dengan tahap sebelumnya. Jika pada tahap pertama keadaan itu dialami karena sikap yang acuh tak acuh, maka ketenangan dan ketenteraman pada tahap ketiga ini ditimbulakan oleh kepuasan terhadap keputusan yang sudah diambil. Ia timbul karena telah mampu membawa suasana batin menjadi mantap sebagai pernyataan menerima konsep baru.
5)      Masa Ekspresi Konversi
Sebagai ungkapan dari sikap menerima terhadap konsep baru dari ajaran agama yang diyakininya tadi, maka tidak tunduk dan sikap hidupnya diselaraskan dengan ajaran dan peraturan agama yang dipilih tersebut. Pencerminan ajaran dalam bentuk amal perbuatan yang serasi dan relevan sekaligus merupakan pernyataan konversi agama itu dalam kehidupan.
Untuk memberikan gambaran yang nyata dan mendalam mengenai proses konversi agama peristiwa sejarah agama dan kejadian dalam kehidupan sehari-hari cukup padat oleh kasus-kasus serupa.
Sejumlah contoh yang dapat dimasukkan sebagi kasus konversi yang terjadi di masyarakat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Perubahan Drastis
Perubahan drastic dalam proses konversi agama dari tidak taat menjadi taat. Konversi ini terjadi pada diri seseorang anggota polisi yang berdomisili di salah satu kecamatan, sekitar tahun 1960-an. Di masa polisi masih dikesnkan sebagai sosok yang “menyeramkan”, hingga siapa pun yang menjadi polisi dapat menampilkan sikap overacting (berlebihan), bila mau. Masyarakat sama sekali tidak mampu mengkritik.
Ketika masyarakat dikelukan oleh “kenakalan” anggota polisi di tempat itu. Masyarakat sekecamatan tersebut mengenal anggota polisi yang satu ini sebagai sosok yang tak terpuji. Latar belakang kehidupan dan perilaku kesehariannya, sama sekali tidak menampilkan gambaran dari seorang polisi. Di luar tugas dinasnya laki-laki ini sering terlibat dengan minuman keras, perjudian, dan prostitusi. Anggaran biaya untuk menopang hobinya itu menurut informasi yang layak dipercaya, semuanya diperole dari hasil memeras para pengusaha dan pedagang setempat.
Mungkin karena licik dan kelihaiannya, perbuatan tercela itu belum sempat tercium oleh atasannya, hingga luput dari tindakan hokum. Masyarakatpun tidak berani untuk mengajukan aduan. Semua rahasia itu tetap terjaga, karena para preman setempat merasa terlindung, ikut menekan masyarakat agar apa yang mereka lakukan tetap terjaga. Tidak seorang pun yang berani mengutik-utik kasus tersebut. Semuanya berlangsung bertahun-tahun secara aman dan tenteram. Hingga tibalah saat waktu yang menentukan perubahan mendadak.
Suatu ketika, di penghujung malam sang polisi itu paulang dari tempat perjudian. Saat keluarganya sedang terbuai oleh mimpi, sang polisi itu sibuk menghabiskan minuman arak yang sempat dibawanya. Arak putih yang dikenal sebagai minuman berkelas di kalangan pecandu minuman keras di daerah itu, memang hanya mampu dikonsumsi oleh peminum kawakan yang berkantong tebal. Kemasannyapun dibuat secara khusus dalam wadah botol tembikar (guci kecil). Terasa nikmat dan paling memabukkan.
Entah apa yang dirasakannya tiba-tiba dikeheningan malam yang mencekam itu si peminu ini tersentak. Antara sadar dan tiada, si polisi ini melihat bayangan lelaki tua yang mengenakan jubah putih. Di sisa-sisa kesadarnnya itu ia masih mendengar teguran keras dari laki-laki yang samara itu. Hatinya tersentak dan terhanyut. Terbetik dalam dirinya untuk segera meninggalkan perilaku terkutuk itu. Tetapi karena masih tersisa beberapa teguk arak itupun terus diminumnya hingga habis. Saat tegukan terakhir, secara tak disadari terungkap semacam janji kepada dirinya sendiri: “Sehabis tegukan ini, aku bersumpah tidak akan menyentuh arak walau setetes.”
Sejak tercetus ucapan itu, hatinya mrnjadi kian gelisah yang menyebabkan sulit untuk memejamkan mata. Sisa-sisa malam ia habiskan dalam renungan batin yang kian menggejolak. Azan subuh yang sebelumnya terlewatkan begitu saja, kini tiba-tiba terdengar begitu syahdu. Dirinya seakan terhipnotis dan membawa langkahnya menuju langgar yang masih asing bagi dirinya. Sepanjang hidupnya, msekipun mengaku sebagai Muslim, belum pernah ia mengenal atau menunaikan sholat. Tapi kali itu seakan ada kekuatan yang membimbingnya untuk pergi ke langgar.
Tiba di tempat, jamaah langgar sedang menunaikan salat subuh. Sang polisi itupun merasa tak mampu untuk masuk, karena merasa dirinya demikian kotor. Saat itu ia baru merasakan dirinya demikian kerdil dan hanya mampu duduk bersimpuh di kaki tangga bangunan tersebut. Jamaah yang akan pulang menjadi terheran-heran melihat perilaku aneh sang polisi. Namun, karena ia dikenal sangar oleh masyarakat, maka tak seorangpun yang berani menyapanya.
Setelah jama’ah sepi sang imam baru ke luar. Saat menapak kaki ke tangga, kakinya terasa dipegang seseorang. Sebelum sempat beraksi, sang polisi itupun menyapanya dengan nada sendu. Dengan disertai suara iba, sang polisi itu minta agar si Imam dapat mengajarkannya salat dan sekaligus diperkenankan  untuk salat subuh. Suara yang memelas keluar dari lubuk hati sang polisi ini merupakan pengakuan dari rasa bersalah.
Sejak itu, terjadi perubahan arah dalam diri sang polisi ini. Setelah kembali menjalankan syari’at agama, ia menyatakan dirinya menjadi tenang. Kebahagiaan batinnya kian terasa setelah ia berkesempatan menuanikan ibadah beberapa kali. Diungkapkannya bahwa saat menuanaikan salat Jumat itu ia merasakan benar betapa nilai-nilai kemanusiaan dan harta dirinya menjadi terangkat. Betapa tidak, menurut penilaiannya salat tidak membedakan kedudukan seseorang.
Di lingkungan dinas kepolisian, selama ini ia mengenal adanya perbedaan status berdasarkan kepangkatan. Komandan sebagai pejabattertinggi di kesatuan harus mendapat penghormatan. Dalam setiap upacara, tokoh pemimpin ini harus ditempatkan di depan. Sebaliknya, di masjid, apa pun status dan pangkat seseorang diperlakukan setara. Siapa saja yang dating lebih dulu berhak menempati shaf (barisan) depan. Kebenaran itu berkali-kali dialaminya. Sering ia duduk di saf depan komandannya. Semuanya itu ikut membangkitkan kembali harga dirinya, yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Perubahan yang demikian ini tampaknya demikian berkesan kepada polisi itu, hingga masyarakat mengenalnya sebagai sosok baru yang santun dan arif. Sisa hidupnya ia jalankan dengan setia, hingga akhir hayatnya sosok ini dikenal masyarakat sebagai Muslim yang taat.
2)      Pengaruh Lingkungan
Lie A Jang dan Zainab merupakan keluarga hasil kawin campuran. Si suami berasal dari keluarga Cina peranakan, sedangkan isteri dari Cirebon. Masyarakat kampung tidak mengetahui secara rinci, bagaimana keluarga itu terbina, sebab keduanya adalah pendatang. Mereka diterima di lingkungan ini, karena keduanya menunjukkan sikap yang baik.
Dalam pergaulan dengan penduduk setempat si suami sudah akrab dengan panggilan Ajang, yang oleh anak-anak dan remaja disapa dengan Uwak Ajang. Demikian pula, si isteri akrab dengan panggilan Uwak Jen (mungkin kependekan dari Jenab). Keluarga itu sendiri tidak dikaruniai anak. Maka untuk mengatasi kesunyian, pernah mencoba mengambil anak familinyadari kampong asal. Namun, tidak bertahan lama. Akhirnya, keluarga itu kembali hidup berdua. Seperti sebelumnya.
Menurut para ketua kampong, keluarga itu sudah cukup lama netap, yaitu sejak suaminya diterima menjadi pegawai di perusahaan tambang timah setempat. Tenaganya dibutuhkan, tapi karena buta aksara, ia ditugaskan sebagai pembantu rumah tangga merangkap “tukang kebun.” Tempat tugas tetapnya mengurus rumah dinas pejabat perusahaan. Sejak perusahaan masih dipegang oleh Belanda, hingga ke bangsa sendiri setelah merdeka, tugas sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga tak pernah beralih. Namun, tampaknya ia mampu menukar kemampuan diri dan menyenangi pekerjaan itu yang dilakoninya hingga pension.
Sebagai warga masyarakat di kampong itu pergaulan Ajang seakan terbatas. Dalam upacara-upacara agama, ia tak mungkin turut serta, walaupun setiap hari lebaran para tetangga mengundang dan mengunjungi rumahnya. Di keluarganya sendiri, Ajang dan isterinya tampaknya sudah mengubah kebiasaan hariannya. Selama berada di lingkungan tersebut, keluarga ini tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang diharamkan agama Islam. Padahal, agama yang dianut oleh kedua suami isteri itu sendiri tidak jelas.
Hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim dalam waktu yang cukup lama, tampaknya belum mampu mengubah keyakinan agama Ajang. Menurut pengakuannya, selama itu ia sama sekali tidak tertarik untuk beralih agama. Baginya yang penting dapat diterima oleh masyarakat dan diterima dalam pergaulan. Prinsip seperti itu pula yang ia lakoni selama berada di lingkungan masyarakat kampung.
Namun, prinsip hidup yang sudah dipertahankannya itu akhirnya luntur juga. Dalam pengakuannya, setiap tahun perasaannya selalu tersentuh oleh lantunan suara takbir. Saat-saat seperti itu ingatan kepada kedua orang tua dan sanak familinya yang sudah entah di mana menjadi demikian rentannya. Tak terasa dalam kesendirian secara tak sadar air matanya menetes. Pengalaman batin yang seperti itu selalu kembali, selama tahun-tahun kehidupannya di kampung itu.
Sebagai keputusan akhir ia pun berupaya mengadukan keluhan batinnya kepada pemeluk agama setempat, menyatakan dirinya untuk masuk Islam. Pada usia yang setengah baya, ia pun beralih agama, dengan nama baru yaitu Bujang. Sebagai pengiring, setelah upacara peresmian pindah agama, proses perkawinan keduanyapun dikukuh ulang.
Semua pengalaman keagamaan itu menurut pengakuan yang bersangkutan  ikut memberi ketenangan batin. Rasa keterasingan yang dialami serta merta lenyap. Pada waktu-waktu salat ia berusaha hadir di langgar bersama-sama penduduk. Dirinya seakan hidup kembali dalam suasana baru. Hingga meninggal, Ajang tetap setia dengan ajaran agama yang menjadi pilihan akhirnya.
Barangkali, cukup banyak kasus yang menyangkut konversi agama ini. Namun demikian menurut kajian psikologi agama, terjadinya perubahan arah tersebut tak akan lepas dari penyebab utamanya, yaitu karena petunjuk (Hidayat Ilahi), akibat penderitaan batin ataupun pilihan sendiri setelah melalui pertimbangan yang masak. Di awal-awal terjadinya perubahan itu, setiap diri merasakan kegelisahan batin. Sulit untuk menentukan secara spontan mana yang harus diikuti.
Kesulitan seperti itu adalah wajar, karena agama sebagai keyakinan menyangkut sisi-sisi kehidupan batin seseorang yang berkaitan dengan nilai. Bagi manusia nilai adalah sesuatu yang dianggap benar dan manyangkut pandangan hidup. Oleh karena itu, selain peka, nilai juga merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan oleh seseorang. Bahkan, pada tingkat yang paling tinggi pemeluk keyakinan itu rela mempertaruhkan nyawa, demi mempertahankan nilai itu.[2]      

CATATAN PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2003.
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005


[1] Prof. Dr. Hj. Zakia Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, PT Bulan Bintang, 2003, hal. 160.
[2] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 273-288.

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............