BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan adalah suatu proses transfer ilmu dari seorang guru kepada peserta didik dalam rangka menambah wawasan ilmu yang dimiliki. Pendidikan islam adalah suatu proses pendidikan yang berbasis pada keislaman dengan materi pelajarnnya mayoritas pendidikan agama seperti bahasa Arab, akidah Islam, fiqh, sejarah islam dan sebagainya. Pendidikan islam pada masa kerajaan Samudera Pasai tergolong maju karena kerajaan di Indonesia yang didatangi Islam pertama kali adalah Kerajaan Samudera Pasai di wilayah Sumatera Utara tepatnya di Aceh.
Pendidikan Islam di Aceh didukung dan dikembangkan oleh para sultan yang menjadi raja di kerajaan Samudera Pasai.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses masuknya Islam ke wilayah Sumatera?
2. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan Islam di Sumatera?
3. Bagaimana sejarah kemajuan pendidikan Islam di Sumatera?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses masuknya Islam di wilayah Sumatera.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam di Sumatera.
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pendidikan Islam di Sumatera.
4. Untuk mengetahui sejarah kemajuan pendidikan Islam di Sumatera.
D. Batasan Masalah
Pembahasan masalah pada makalah ini berbatas pada pembahasan sejarah masuknya Islam di wilayah Aceh dan sejarah pendidikan Islam di Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Masuknya Islam di Wilayah Sumatera
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang pertama kali dimasuki Islam ialah daerah Aceh.[1] Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
1) Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
2) Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
4) Islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[2]
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. Dan jalur yang digunakan adalah:
a) Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b) Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
c) Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d) Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e) Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.[3]
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh pada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Nusantara.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1. Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2. Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[4]
Sedangkan menurut Hasbullah dengan mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia, antara lain:
a. Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
b. Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
c. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e. Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.[5]
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3. Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5. Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hafalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6. Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.[6]
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas di Indonesia.
B. Pendidikan Islam pada masa Kerajaan Islam di Sumatera
1. Zaman Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[7]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[8]
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d. Biaya pendidikan bersumber dari Negara.[9]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan.[10]
Menurutnya pada abad ke-14 M, Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh murid menghadap guru.
2. Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[11]
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang keenam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.[12]
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah berjalan cukup baik.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[13]
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
a) Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b) Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
c) Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
d) Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
e) Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
f) Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa.
g) Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
h) Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
i) Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.[14]
Selanjutnya, sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan di setiap mukim.[15]
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1) Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2) Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3) Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Pada saat itu Aceh merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjanya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki.
Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai negara Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[16]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf yang beraliran Wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si Burung Pungguk, syair Perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J. Boland, bahwa seorang warga Aceh adalah seorang Islam.[17]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Zaman Kerajaan Samudera Pasai
pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa majlis ta’lim dan halaqoh.
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d. Biaya pendidikan bersumber dari Negara.[18]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan.
2. Kerajaan Perlak
Rajanya yang keenam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.
3. Kerajaan Aceh Darussalam
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
j) Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
k) Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan sejarah Islam.
l) Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
m) Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
n) Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
o) Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa.
p) Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa antara anggota kampung.
q) Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
r) Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat.
B. Kritik dan Saran
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang belum dijelaskan secara detail dalam pembahasannya. Agar pembaca dapat memahami dengan lebih mudah, sebaiknya pembahasannya menggunakan kata-kata yang umum (yang mudah dimengerti). Materi yang disamapikan dalam makalah ini masih memerlukan penyemprunaan agar isinya lebih lengkap.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Taufik. Ed. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983
Arifin, HM, Pendidikan Islam, Jakarta:. Bumi Aksara, 2003
Drajat, Zakiah, Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4
Ibrahim, M, et al, Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV. Tumaritis, 1991, cet 2
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999
Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Zauharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, set 6
[1] Taufik Abdullah, Ed. Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, hlm: 4
[2] Ibid., hlm:5
[3] Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm: 10-11
[4] A. Mustofa, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, hlm: 53
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4, hlm: 19-20
[6] Musrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm: 20-21
[7] Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, 1989: 134
[8] Zauharini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000, set 6, hlm: 136
[9] Departemen Agama, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, 1989: 135
[10] M. Ibrahim , et al, Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV. Tumaritis, 1991, cet 2, hlm: 61
[11] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4, hlm: 29
[12] A. Mustofa, aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, hlm: 54
[13] M. Ibrahim, et al, Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV. Tumaritis, 1991, cet 2, hlm: 75
[14] Ibid., hlm: 76
[15] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4, hlm: 32
[16] M. Ibrahim, et al, Sejarah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta: CV. Tumaritis, 1991, cet 2, hlm: 88
[17] Ibid., hlm: 89
[18] Ibid, hlm: 135
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............