CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday 12 January 2012

IKHTILAF (MADZHAB)

A.  Terminologi Ikhtilaf
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf ,secara linguistik dalam kajian bahasa inggris, dapat diterjemahkan dalam beraneka ragam, diffence of opinion, distingtion, atau controversi.
Menurut istilah , Thaha Jabir menjelaskan :
الإ ختلاف والمخالفة أن ينهج كل شخص طريقا مغا يرا للاخرفي حاله أوفي قوله.
Artinya :  ikhtilaf  Mukholifah proses yang dilalui melalui dengan metode yang berbeda antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan .
  Sebagai mana pula dijelaskan oleh Al Jurjanji adalah :
منا زعة تجري بين المتعا رضين لتحقيق حق أولابطال باطل.
Artinya : perbedaan pendapat yang terjadi diantara beberapa pertentangan untuk menggali kebenarannya dan sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar untuk mencari kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf  itu sendiri  sebagai antisipasinya, munculah ilmu khilaf. Muncullah ilmu khilaf.
Thaha jabir menjelaskan bahwa ilmu khilaf adalah ilmu yang membahas kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan oleh para imam madhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa sandaran yang yang  jelas kepada dalil yang dimaksud. Adapun yang ditekan kan dalam ilmu ini adalah cara membahas persoalan yang sangat berkaitan dengan validitas sebagai imam mazhab fiqih melakukannya. Ilmu ini menekankan cara menetapkan hukum yang sesuai apa yang dilakukan oleh para imam mazhab sebelumnya dan sekaligus  untuk menolak perselisihan yang tidak diharapkan. Uraian diatas memperlihatkan bahwa ikhtilaf yang asalnya hanya sebatas diskusi atau bantahan tiap-tiap mazhab atau pengikutnya, telah melahirkan ilmu yang mandiri, yakni ilmu khilaf atau istilah  Ath- Thabari, ilmu ikhtilaf.[1]
B.  Faktor-Faktor Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) dalam hukum islam
Dalam hukum kausalitas, ada sebab, ada akibat”, Begitu pula, dalam ikhtilaf. Tidak mungkin ada ikhtilaf, kalau tidak ada penyebabnya. Dalam hal ini, penyebab itu adalah faktor-faktor yang mempengaruhi para Ulama’ dalam menggali hukum islam sehingga berbeda dengan Ulama’ lainnya.
Para pakar hukum islam berbeda-beda  dalam mengelompokkan jumlah faktor penyebab ikhtilaf bergantung pada sudut mana yang dipandang. Muhamad Abdul Fath Al bayanun menjelaskan “asal muasal  perbedaan hukum-hukum fiqih disebabkan timbulnya “Ijtihad”  terhadap hukum, terutama pasca Nabi dan sahabat meningal dunia.
Secara mendasar Al Bayanuni menjelaskan bahwa faktor utama perbedaan itu ada dua :
(1)   Kemungkinan yang terkandung dalam nash-nash syariah (Al Quran dan Hadis) dan
(2)   Perbedaan pemahaman Ulama’
Secara lebih spesifik, Muhammad Said Thanthawi, menguraikan beberapa faktor-faktor penyebab perbedaan ulama’ fiqih dalam menggali hukum islam, sebagai berikut :  (1) Faktor bahasa Al Quran (2) Faktor Validitas Hadis (3) faktor kaidah ushuliyah, dan (4) faktor kaidah Fiqhiyah.[2]
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung  jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing. [3]
Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fiqih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyek bahasan fiqih biasanya adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yang untuk menentukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.
Sebagai contoh, dalam masalah hukum membaca Al Quran bagi orang yang sedang haid, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya tidak boleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan tidak suci dan ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkan ketidak bolehannya.
Contoh lainnya adalah seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Quran surat al-Baqarah (2): 230.
 فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون

Artinya : kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.[4]
 Yang diperselisihkan adalah apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi.
Kedua contoh ini merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fiqih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat.
Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih sangat banyak, sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fiqih.
Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
1.    Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.
Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.
2.    Perbedaan dalam memahami nash.
Dalam suatu nash, baik Al Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ (qur­’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.[5]
قُرُوْءٍ) ) mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.
3.    Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.
4.    Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.
Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.
5.    Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.
6.    Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum
Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih. Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.[6]

TAMBAHAN
Hikmah Ikhtilaf
            Khilafiyyah dalam hukum islam adalah merupakan khazanah. Bagi orang yang kurang memahami watak kitab-kitab fiqih yang banyak memuat masalah-masalah hukum yang diperselisihkan hukumnya,sering beranggapan bahwa fiqih itu sebagai pendapat pribadi yang ditransfer kedalam agama. Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal berikut ini:[7]
1)      Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2)      Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala berpikir.
3)      Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermu'amalah dengan manusia lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Faedah dan manfa'at dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berihtilaf itu berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung didalamnya. Namun jika ketika ketentuan itu dilanggar, maka sudah pasti menimbulkan pertentangan dan perpecahan. Perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari'at yang tidak prinsipil ini adalah suatu kemestian (darurat) dan tidak dapat dihindari.
            Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.[8]
            Yang menarik dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.[9]
            Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan, apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami Hadis Rasulullah saw. yang berbunyi:
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat.”
            Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapat itu pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan umat, bukan masalah memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu.[10]
Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan.
Disamping dari itu apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang tepat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah hadits. Sedangkan hadist dikala itu masih belum dibukukan. Jadi bila ternyata ada fatwa sahabat atau generasi sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja karena tidak ditemukan hadits dalam suatu masalah, maka dengan adanya hadits shahih yang bertalian dengan masalah tersebut, tentu hukum yang mereka telah tetapkan boleh ditinjau kembali dan tidak perlu dicari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena mereka sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadits (nash) terutama yang shahih maka ra’yu harus dikesapingkan.


[1] Supriadi dedi,Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru,Bandung:cv pustaka setia hal:69-71
[2] Supriadi dedi,Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru,Bandung:cv pustaka setia hal:73-74
[3] http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=895&Itemid=55
[4] Depag RI,AlQuran dan Terjemahnya,(Madina Al-munawwarah:Mujamma’Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Assy arif,1415H), Hal :56

[5] Depag RI,AlQuran dan Terjemahnya,(Madina Al-munawwarah:Mujamma’Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Assy arif,1415H), Hal :55
[6] http://ahza.multiply.com/journal/item/13
[7] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos),hal 64
[8] http://www.Indonesia optimis.com/2008/07/semua mempunyai argumen
[9] Achmad Mudlor, Perbedaan Pendapat Dalam Mazhab, (Sarjana Indonesia) hal 17

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............