A. Terminologi Ikhtilaf
Perbedaan
pendapat atau ikhtilaf ,secara linguistik dalam kajian bahasa inggris,
dapat diterjemahkan dalam beraneka ragam, diffence of opinion, distingtion,
atau controversi.
Menurut istilah , Thaha Jabir menjelaskan :
الإ
ختلاف والمخالفة أن ينهج كل شخص طريقا مغا يرا للاخرفي حاله أوفي قوله.
Artinya : ikhtilaf
Mukholifah proses yang dilalui melalui dengan metode yang berbeda antara
seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan .
Sebagai mana pula dijelaskan
oleh Al Jurjanji adalah :
منا
زعة تجري بين المتعا رضين لتحقيق حق أولابطال باطل.
Artinya : perbedaan pendapat yang
terjadi diantara beberapa pertentangan untuk menggali kebenarannya dan
sekaligus untuk menghilangkan kesalahannya.
Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar untuk mencari
kebenaran dan kesalahan dalam ikhtilaf
itu sendiri sebagai
antisipasinya, munculah ilmu khilaf. Muncullah ilmu khilaf.
Thaha jabir menjelaskan bahwa ilmu khilaf adalah ilmu yang
membahas kemungkinan terpeliharanya persoalan yang diperdebatkan yang dilakukan
oleh para imam madhab dan sekaligus ilmu yang membahas perselisihan tanpa
sandaran yang yang jelas kepada dalil
yang dimaksud. Adapun yang ditekan kan dalam ilmu ini adalah cara membahas persoalan
yang sangat berkaitan dengan validitas sebagai imam mazhab fiqih melakukannya.
Ilmu ini menekankan cara menetapkan hukum yang sesuai apa yang dilakukan oleh
para imam mazhab sebelumnya dan sekaligus untuk menolak perselisihan yang tidak
diharapkan. Uraian diatas memperlihatkan bahwa ikhtilaf yang asalnya hanya
sebatas diskusi atau bantahan tiap-tiap mazhab atau pengikutnya, telah
melahirkan ilmu yang mandiri, yakni ilmu khilaf atau istilah Ath- Thabari, ilmu ikhtilaf.[1]
B. Faktor-Faktor Perbedaan Pendapat
(Ikhtilaf) dalam hukum islam
Dalam
hukum kausalitas, ada sebab, ada akibat”, Begitu pula, dalam ikhtilaf. Tidak
mungkin ada ikhtilaf, kalau tidak ada penyebabnya. Dalam hal ini, penyebab itu
adalah faktor-faktor yang mempengaruhi para Ulama’ dalam menggali hukum islam
sehingga berbeda dengan Ulama’ lainnya.
Para pakar
hukum islam berbeda-beda dalam
mengelompokkan jumlah faktor penyebab ikhtilaf bergantung pada sudut mana yang dipandang.
Muhamad Abdul Fath Al bayanun menjelaskan “asal muasal perbedaan hukum-hukum fiqih disebabkan timbulnya
“Ijtihad” terhadap hukum, terutama pasca
Nabi dan sahabat meningal dunia.
Secara
mendasar Al Bayanuni menjelaskan bahwa faktor utama perbedaan itu ada dua :
(1) Kemungkinan yang terkandung dalam
nash-nash syariah (Al Quran dan Hadis) dan
(2) Perbedaan pemahaman Ulama’
Secara lebih spesifik, Muhammad Said Thanthawi, menguraikan beberapa faktor-faktor
penyebab perbedaan ulama’ fiqih dalam menggali hukum islam, sebagai berikut : (1) Faktor bahasa Al Quran (2) Faktor
Validitas Hadis (3) faktor kaidah ushuliyah, dan (4) faktor kaidah Fiqhiyah.[2]
Dalam tradisi ulama’ Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak
terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam
yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian
mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya
masing-masing. [3]
Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fiqih), maka kita tidak akan lepas
dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan
obyek bahasan fiqih biasanya
adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yang untuk menentukan
hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu.
Sebagai contoh, dalam masalah hukum membaca Al Qur’an bagi orang yang sedang haid, terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya tidak boleh,
dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan tidak suci dan
ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang membolehkannya, dengan alasan tidak
ada dalil yang menunjukkan ketidak bolehannya.
Contoh lainnya adalah seorang istri yang ditalak tiga
oleh suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh
suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru
itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al Quran surat al-Baqarah (2): 230.
فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره فإن طلقها فلا جناح عليهما أن يتراجعا إن ظنا أن يقيما حدود الله وتلك حدود الله يبينها لقوم يعلمون
Artinya : kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.[4]
Yang
diperselisihkan adalah apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan
persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai. Sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa sebelum
diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat
bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah
diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi.
Kedua contoh ini merupakan masalah yang masuk dalam
wilayah fiqih. Oleh karena
itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan
pendapat.
Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
fiqih sangat banyak, sehingga di antara para ulama
terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab
terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fiqih.
Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
1.
Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash.
Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis)
kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash
dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat
dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah
tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad
lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena
perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis
tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya.
2.
Perbedaan dalam memahami nash.
Dalam suatu nash, baik Al Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata
yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan),
sehingga arti yang
terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para
ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ (qur’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'.[5]
قُرُوْءٍ) ) mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam
menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan
pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.
3.
Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan
nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua
atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah
tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana
nash yang lebih kuat di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara
nash-nash
tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para
ulama berbeda pendapat.
4.
Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai
sumber intinbath.
Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau
mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang
oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja
ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut
pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil
perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan suatu masalah,
tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau mengambil fatwa sahabat
tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah
sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini karena mereka
mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum.
5.
Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis
Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi
Hadisnya tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka
selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat
sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir,
sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena
di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang
tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi
Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan mereka
berbeda pendapat.
6.
Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum
Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab)
dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat
dalam fiqih.
Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu
dengan usungan
jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam,
orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang
dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat
Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik
jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa
perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena
di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang
berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau
berhenti dan berdiri.[6]
TAMBAHAN
Hikmah Ikhtilaf
Khilafiyyah
dalam hukum islam adalah merupakan khazanah. Bagi orang yang kurang memahami
watak kitab-kitab fiqih yang banyak memuat masalah-masalah hukum yang
diperselisihkan hukumnya,sering beranggapan bahwa fiqih itu sebagai pendapat
pribadi yang ditransfer kedalam agama. Ikhtilaf yang mengikuti
ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika didasarkan pada beberapa hal
berikut ini:[7]
1)
Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab
bersama. Ini bisa dijadikan salah satu dalil dari sekian banyak model dalil.
2)
Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan
untuk memperluas cakrawala berpikir.
3)
Memberikan kesempatan berbicara kepada lawan
bicara atau pihak lain yang berbeda pendapat dan bermu'amalah dengan manusia
lainnya yang menyangkut kehidupan diseputar mereka.
Faedah dan manfa'at dari ikhtilaf dapat diperoleh bila dalam berihtilaf
itu berpijak pada ketentuan dan adab yang terkandung didalamnya. Namun jika
ketika ketentuan itu dilanggar, maka sudah pasti menimbulkan pertentangan dan
perpecahan. Perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari'at yang tidak prinsipil
ini adalah suatu kemestian (darurat)
dan tidak dapat dihindari.
Banyak sekali ayat Al-Qur’an
dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf),
namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah
berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada
perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau
Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau
berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi
mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa
saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.[8]
Yang menarik dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama
Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan
kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap
mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan
pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat
dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia.
Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT. Mereka tidak pernah memposisikan
pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.[9]
Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi
perselisihan, apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami
Hadis Rasulullah saw. yang berbunyi:
اختلاف
أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku
adalah suatu rahmat.”
Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan
pendapat itu pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula
beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di
sini tampak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan
umat, bukan masalah memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik
perbedaan-perbedaan itu.[10]
Tujuan Mengetahui Sebab Terjadinya
Ikhtilaf
Mengetahui
sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab dan para ulama’ fiqih, sangat penting
untuk membantu kita agar keluar dari taqlid buta, karena kita akan mengetahui
dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan pemikiran mereka dalam penetapan
hukum suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka kemungkinan untuk
memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan.
Disamping dari itu
apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan perbedaan tersebut kurang tepat
dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk mendudukannya pada proporsi yang
tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa sebagian dasar yang mereka pergunakan
adalah hadits. Sedangkan hadist dikala itu masih belum dibukukan. Jadi bila
ternyata ada fatwa sahabat atau generasi sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja
karena tidak ditemukan hadits dalam suatu masalah, maka dengan adanya hadits
shahih yang bertalian dengan masalah tersebut, tentu hukum yang mereka telah
tetapkan boleh ditinjau kembali dan tidak perlu dicari-cari alasan untuk
membela alasan mereka, karena mereka sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada
hadits (nash) terutama yang shahih maka ra’yu harus dikesapingkan.
[1] Supriadi
dedi,Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru,Bandung:cv pustaka setia
hal:69-71
[2] Supriadi
dedi,Perbandingan Madzab dengan Pendekatan Baru,Bandung:cv pustaka setia
hal:73-74
[3]
http://www.wahdah.or.id/wis/index.php?option=com_content&task=view&id=895&Itemid=55
[4] Depag
RI,AlQuran dan Terjemahnya,(Madina Al-munawwarah:Mujamma’Malik Fahd Li Thiba’at
Al Mush Haf Assy arif,1415H), Hal :56
[5] Depag RI,AlQuran dan Terjemahnya,(Madina
Al-munawwarah:Mujamma’Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Assy arif,1415H), Hal
:55
[7] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos),hal 64
[9] Achmad Mudlor, Perbedaan Pendapat
Dalam Mazhab, (Sarjana Indonesia) hal 17
[10] http://www.wahdah.or.id/2009/08/perbandingan
hukum islam
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............