CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday 12 January 2012

Madzhab Ahli Ra’y dan Ahli Hadits


Madzhab Ahli Ra’y dan Ahli Hadits
Sebelum kedatangan Islam, bangsa Arab  telah memiliki kebudayaan, keyakinan dan tata cara hidup yang telah dianut oleh masyarakatnya. Sebagian ada yang beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan lain-lain namun sebagian lagi musyrik. Di sisi lain, kondisi hukum masih belum terorganisir. Ketika terjadi sengketa antara dua pihak, diselesaikan dengan cara berunding, hingga menemukan penyelesaian. Namun seringkali, perundingan tersebut tidak berhasil dan justru menimbulkan perselisihan yang berkepanjangan. Maka dari itu, dalam perkembangannya bangsa Arab memilih tokoh yang berwenang untuk memutuskan suatu perkara, yang disebut dengan hakam. Hakam tidak berasal dari kasta atau suku tertentu dan kebanyakan memiliki ilmu ghaib, seperti bisa meramalkan masa depan.
Selanjutnya Islam datang dengan suatu ketetapan, yang berisi pokok-pokok ajaran yang baku. Dalam perkembangannya, Rasulullah berwenang sebagai hakam. Tujuannya sebagai nabi bukanlah untuk menciptakan sistem baru bidang hukum tetapi untuk mengajarkan bagaimana manusia berbuat, apa yang harus diperbuat dan apa yang harus dihindari agar selamat dunia dan akhirat. Pada masa ini, sistem hukum Arab semakin disempurnakan dengan mengacu pada Al-Qur’an.
Setelah Rasulullah wafat, penyempurnaan hukum terus berlanjut di bawah kepemimpinan para khalifah. Sedangkan pada masa Bani Umayyah, hakam digantikan oleh qadhi Islam. Lain halnya dengan hakam, qadhi juga merupakan wakil gubernur. Wilayah kekuasaan hukum qadhi hanya meliputi orang Islam, sedangkan rakyat non muslim tetap menggunakan hukum tradisional masing-masing.
Ketika jumlah para ulama semakin bertambah, terutama pada beberapa dekade abad kedua Islam, kumpulan ulama tersebut berubah menjadi aliran hukum lama. Pengertian aliran di sini bukanlah suatu organisasi yang definitif, bukan pula suatu badan yang memiliki ajaran formal. Anggotanya adalah para ulama atau fuqaha yang memiliki keahlian dan minat dalam bidang hukum. Antara lain aliran yang berasal dari Kufah dan Basyrah di Iraq, serta Madinah dan Makkah di Hijaz. Pengaruh masing-masing aliran yang satu terhadap yang lain hampir selalu bergerak dari Iraq ke Hijaz, bukan sebaliknya. Dan malahan doktrin hukum ulama Madinah tertinggal jika dibandingkan dengan ulama Kufah.
Aliran hukum lama menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan utama. Ulama-ulama  Iraq pada masa awal abad kedua Islam mengidentifikasikan sunnah nabi dengan tradisi dan praktek masyarakat setempat dan pendapat para ulamanya.
Hal inilah yang kemudian membuat orang-orang Hijaz atau yang dikenal dengan ahl al-hadits melakukan suatu pergerakan untuk menentang pendapat yang dianut oleh aliran hukum lama . Ahli hadits dalam melancarkan oposisi terhadap aliran hukum lama ialah dengan berpedoman pada hadits-hadits resmi (sah) dari nabi dan hadits tersebut dipandang lebih unggul daripada tradisi-tradisi yang berkembang. Ahli hadits memandang lemah ketetapan aliran hukum lama yang hanya berdasarkan pada tradisi yang berasal dari para sahabat Nabi, yang kemudian dipandang sebagai sunnah Nabi. Ahli hadits tidak hanya berkembang di Madinah saja tetapi juga di pusat-pusat wilayah Islam dimana mereka membentuk kelompok-kelompok. Mereka kurang mengenal bahkan jarang sekali menggunakan pendapat akal dalam setiap menentukan hukum. Mereka juga sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Sedang minat mereka kebanyakan hanya pada periwayatan hadits.  Tokohnya yang sangat terkenal adalah Imam Malik bin Anas (w.179H).
Sejalan dengan usaha ulama terdahulu dan aliran hukum lama untuk memperkenalkan norma-norma Islam ke dalam lingkungan hukum, berkembang pula usaha untuk menggunakan daya pikiran. Menggunakan daya pikiran sebenarnya sudah ada sejak awal sekali, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad. Fikiran perorangan disebut dengan Ra’y atau pendapat dan dalam pengertian khusus bermakna pendapat yang kuat dan telah dipertimbangkan masak-masak. Para ulama Iraq dalam pemakaian fikiran bebas mereka menggunakan analogi. Mereka memandang hukum maksud dan tujuan shari’at hanya dapat diketahui dan dirasionalkan. Hukum shari’at juga memiliki pokok-pokok kaidah yang dapat dijadikan ukuran dan aturan, mereka tidak surut dan mundur untuk memberikan fatwa terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan dasar pendapat dan pandangan akal mereka sendiri. Mereka membahas dan membuka illat-illat hukum dan rahasia-rahasianya, dan selalu mengaitkan satu masalah dengan hal-hal lainnya. Tokohnya yang sangat terkenal adalah Abu Hanifah (w.150M).
Di Iraq (Ahl al-Ra’yi) perkembangan hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada Hammad, doktrin-doktrin Ibn Aby Layla, doktrin Abu hanifah  dan doktrin dari Syaibani serta orang Syiria, Huza’i. Sifat cara berpikir Aby Layla memperlihatkan corak formalitas yang agak kaku. Karena mempertimbangkan banyak hal teknis. Berbeda dengan Aby Layla, Abu Hanifah cenderung memainkan peran sebagai seorang penyusun teori yang sistematis. Abu hanifah bukanlah seorang qadhi seperti Aby Layla. Karena itu cara berfikir Abu Hanifah tidak begitu terikat dengan tugas sehari-hari. Cara berfikirnya lebih luas, cermat dan lebih berkembang. Secara keseluruhan cara kerja yang berderajat tinggi, meski sering kelihatan kurang tegas dan seimbang serta kurang memperhatikan hal-hal praktis. Abu Yusuf lebih tergantung pada hadits dibandingkan dengan Abu Hanifah, karena pada masa Abu Yusuf, sudah banyak hadits Nabi yang otentik. Syarbani, murid besar Abu Hanifah dan Abu Yusuf , lebih besar lagi ketergantungannya pada hadits dibandingkan dengan Abu Yusuf. Syarbani menggunakan pendapat-pendapat pribadinya sejauh berkesesuaian dengan hadits. Jika pendidikan di Iraq terkenal sebagai ahl al-Ra’y, hal ini dikarenakan di Iraq jumlah hafidz tidak sebanyak di Hijaz. Sehingga mereka memperbanyak qiyas.
Satu keputusan lama yang terus bertahan dalam ajaran madzhab Hanafi adalah diperlukannya empat kali pengakuan bagi orang yang berbuat dosa, sebelum dia dihukum dengan hukuman hadd, hal seperti ini merupakan analogi dari diperlukannya empat saksi yang dinyatakan dalam Al-Qur’an (surat XXIV.4). Penetapan seperti ini dihasilkan dari berpikir sistematis bukan pada tradisi (hadits). Pendapat ulama Iraq tersebut tersebar di daerah Hijaz, namun tidak diterima oleh kalangan ulama Madinah. Agar hukuman hadd bisa diberlakukan, nilai minimum barang yang dicuri ditetapkan ulama Iraq dengan menggunakan analogi lima jari, yaitu lima dirham. Hal ini berlaku pula untuk jumlah minimum mahar. Sedangkan Ulama Madinah tidak menetapkan jumlah minimum mahar, hanya Imam Malik, yang selanjutnya menjadi pendapat umum madzhab Maliki, menetapkan nilai minimum bagi barang curian adalah ¼ dinar = 3 dirham, bagi berlakunya hukuman hadd,yang berlaku pula bagi jumlah minimum mahar.
Sepanjang abad kedua Islam, konsep hukum resmi berkembang sangat cepat yang umumnya berdasarkan hasil fikiran secara analog yang kian menjadi sempurna. Pada saat jumlah hadits semakin banyak diterima sebagai sumber hukum yang bersifat otoritatif, maka ketergantungan kepada hadits semakin meningkat. Kedua kecenderungan tersebut menimbulkan percampuran. Keadaan tersebut mencapai puncaknya pada masa Imam Syafi’i. dimana beliau membuat aturan-aturan penetapan hukum dari ushul fiqh dan membatasi sumber-sumber hukum. Di dalam teori, Syafi’I membedakan secara tajam antara pertimbangan /alasan yang bersumber dari hadits dan pertimbangan yang bersumber dari fikiran sistematis. Namun pada praktiknya, keduanya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Cara berfikir Syafi’I, adalah dia terikat pada hadits sekaligus berpijak pada pertimbangan rasio. Namun demikian pendapat Syafi’I lebih dekat kepada Ahl Al-Hadits
Misalkan pada kasus berikut ini: mengenai persoalan laki-laki menikahi lebih dari 4 wanita dan dia memeluk agama Islam, maka pemecahannya adalah si suami memilih 4 diantara istri-istri yang ia sukai untuk tetap menjadi istrinya. Ketetapan ini diterima oleh Awza’I, yang demikian itu juga tercantum dalam hadits Nabi. Malik menerima hadits tersebut dengan memerinci larangan Al-Qur’an mengenai hubungan perkawinan dengan dua perempuan bersaudara sekaligus (surat IV.23) atau pekawinan dengan ibu dan anak perempuan berlaku juga di sini.  Abu Hanifah mengatakan : jika orang tersebut mengawini semua istri-istrinya dengan satu akad dan kemudian semua istri memeluk Islam, maka semua perkawinan tersebut batal. Sedangkan Imam syafi’I berdasarkan petunjuk hadits kembali sepenuhnya kepada doktrin tertua.
Di awal periode Abassiyah, ada pemisahan diri dari daerah pengaruh, kemudian menjelmakan dirinya menjadi corak madzhab berdasarkan kesetiaan pada seorang guru. Pada pertengahan abad kedua hijriyah, banyak orang mengganti atau melepaskan doktrin mereka sendiri dan kemudian mengikuti ajaran dari ahli yang diakui oleh umum. Muncullah dalam madzhab orang Iraq di Kufah para pengikut Abu Hanifah, satu jamaah yang termasuk di dalamnya Abu Yusuf dan Syaibani, tetapi Abu yusuf juga memiliki pengikutnya sendiri. Jamaah lain dari orang-orang Kufah, membentuk dan mengikuti madzhab Syofyan. Sama halnya dalam madzhab Madinah. Dan khususnya pada wilayah pengaruhnya, Mesir. Para pengikut Malik mengatakan “Muwaththa” sebagai karya yang terpercaya, dimana pada awalnya mereka hanyalah merupakan fraksi-fraksi orang Madinah. Syafi’I yang hidupnya menjangkau paruhan kedua abad kedua hijriah, memulai sebagai anggota madzhab Madinah. Lalu menyatakan dirinya sebagai madzhab tersendiri, dengan tetap melarang orang-orang untuk bertaqlid kepadanya. Dimana ia meletakkan Al-Qur’an dan sunnah sebagai dua dasar dan ijma’ Qiyas sebagai sumber (dasar) pembantu. Madzhab Hanbali juga menggunakan Qiyas sebagai dasar.
Dalam perjalanan sejarahnya, di antara ahl al-hadits dan ahl al-Ra’y saling mengkritik, akan tetapi sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tidak akan tegak lurus jika tidak dikuatkan dengan ra’yu atau akal, dan al-ra’yu tidak akan benar dan tepat jika tidak didasarkan hadits. Dari sekian banyak madzhab yang pernah ada, hanya madzhab empat saja yang ada dan hidup sampai sekarang yang diikuti oleh jutaan umat Islam di dunia.

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............