Madzhab Ahli Ra’y dan Ahli Hadits
Sebelum
kedatangan Islam, bangsa Arab telah
memiliki kebudayaan, keyakinan dan tata cara hidup yang telah dianut oleh
masyarakatnya. Sebagian ada yang beragama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan
lain-lain namun sebagian lagi musyrik. Di sisi lain, kondisi hukum masih belum
terorganisir. Ketika terjadi sengketa antara dua pihak, diselesaikan dengan
cara berunding, hingga menemukan penyelesaian. Namun seringkali, perundingan
tersebut tidak berhasil dan justru menimbulkan perselisihan yang
berkepanjangan. Maka dari itu, dalam perkembangannya bangsa Arab memilih tokoh
yang berwenang untuk memutuskan suatu perkara, yang disebut dengan hakam. Hakam
tidak berasal dari kasta atau suku tertentu dan kebanyakan memiliki ilmu ghaib,
seperti bisa meramalkan masa depan.
Selanjutnya
Islam datang dengan suatu ketetapan, yang berisi pokok-pokok ajaran yang baku.
Dalam perkembangannya, Rasulullah berwenang sebagai hakam. Tujuannya sebagai
nabi bukanlah untuk menciptakan sistem baru bidang hukum tetapi untuk
mengajarkan bagaimana manusia berbuat, apa yang harus diperbuat dan apa yang
harus dihindari agar selamat dunia dan akhirat. Pada masa ini, sistem hukum
Arab semakin disempurnakan dengan mengacu pada Al-Qur’an.
Setelah
Rasulullah wafat, penyempurnaan hukum terus berlanjut di bawah kepemimpinan
para khalifah. Sedangkan pada masa Bani Umayyah, hakam digantikan oleh qadhi
Islam. Lain halnya dengan hakam, qadhi juga merupakan wakil gubernur. Wilayah
kekuasaan hukum qadhi hanya meliputi orang Islam, sedangkan rakyat non muslim
tetap menggunakan hukum tradisional masing-masing.
Ketika
jumlah para ulama semakin bertambah, terutama pada beberapa dekade abad kedua
Islam, kumpulan ulama tersebut berubah menjadi aliran hukum lama. Pengertian
aliran di sini bukanlah suatu organisasi yang definitif, bukan pula suatu badan
yang memiliki ajaran formal. Anggotanya adalah para ulama atau fuqaha yang memiliki
keahlian dan minat dalam bidang hukum. Antara lain aliran yang berasal dari
Kufah dan Basyrah di Iraq, serta Madinah dan Makkah di Hijaz. Pengaruh
masing-masing aliran yang satu terhadap yang lain hampir selalu bergerak dari
Iraq ke Hijaz, bukan sebaliknya. Dan malahan doktrin hukum ulama Madinah
tertinggal jika dibandingkan dengan ulama Kufah.
Aliran
hukum lama menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pokok dan utama. Ulama-ulama Iraq pada masa awal abad kedua Islam
mengidentifikasikan sunnah nabi dengan tradisi dan praktek masyarakat setempat
dan pendapat para ulamanya.
Hal
inilah yang kemudian membuat orang-orang Hijaz atau yang dikenal dengan ahl al-hadits melakukan suatu pergerakan
untuk menentang pendapat yang dianut oleh aliran hukum lama . Ahli hadits dalam
melancarkan oposisi terhadap aliran hukum lama ialah dengan berpedoman pada
hadits-hadits resmi (sah) dari nabi dan hadits tersebut dipandang lebih unggul
daripada tradisi-tradisi yang berkembang. Ahli hadits memandang lemah ketetapan
aliran hukum lama yang hanya berdasarkan pada tradisi yang berasal dari para
sahabat Nabi, yang kemudian dipandang sebagai sunnah Nabi. Ahli hadits tidak
hanya berkembang di Madinah saja tetapi juga di pusat-pusat wilayah Islam
dimana mereka membentuk kelompok-kelompok. Mereka kurang mengenal bahkan jarang
sekali menggunakan pendapat akal dalam setiap menentukan hukum. Mereka juga
sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa. Sedang minat mereka kebanyakan
hanya pada periwayatan hadits. Tokohnya
yang sangat terkenal adalah Imam Malik bin Anas (w.179H).
Sejalan
dengan usaha ulama terdahulu dan aliran hukum lama untuk memperkenalkan
norma-norma Islam ke dalam lingkungan hukum, berkembang pula usaha untuk
menggunakan daya pikiran. Menggunakan daya pikiran sebenarnya sudah ada sejak
awal sekali, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad. Fikiran perorangan disebut
dengan Ra’y atau pendapat dan dalam
pengertian khusus bermakna pendapat yang kuat dan telah dipertimbangkan
masak-masak. Para ulama Iraq dalam pemakaian fikiran bebas mereka menggunakan
analogi. Mereka memandang hukum maksud dan tujuan shari’at hanya dapat
diketahui dan dirasionalkan. Hukum shari’at juga memiliki pokok-pokok kaidah
yang dapat dijadikan ukuran dan aturan, mereka tidak surut dan mundur untuk
memberikan fatwa terhadap masalah yang tidak ada nashnya dengan dasar pendapat
dan pandangan akal mereka sendiri. Mereka membahas dan membuka illat-illat
hukum dan rahasia-rahasianya, dan selalu mengaitkan satu masalah dengan hal-hal
lainnya. Tokohnya yang sangat terkenal adalah Abu Hanifah (w.150M).
Di
Iraq (Ahl al-Ra’yi) perkembangan
hukum harus dinisbahkan berturut-turut kepada Hammad, doktrin-doktrin Ibn Aby
Layla, doktrin Abu hanifah dan doktrin
dari Syaibani serta orang Syiria, Huza’i. Sifat cara berpikir Aby Layla
memperlihatkan corak formalitas yang agak kaku. Karena mempertimbangkan banyak
hal teknis. Berbeda dengan Aby Layla, Abu Hanifah cenderung memainkan peran
sebagai seorang penyusun teori yang sistematis. Abu hanifah bukanlah seorang
qadhi seperti Aby Layla. Karena itu cara berfikir Abu Hanifah tidak begitu
terikat dengan tugas sehari-hari. Cara berfikirnya lebih luas, cermat dan lebih
berkembang. Secara keseluruhan cara kerja yang berderajat tinggi, meski sering
kelihatan kurang tegas dan seimbang serta kurang memperhatikan hal-hal praktis.
Abu Yusuf lebih tergantung pada hadits dibandingkan dengan Abu Hanifah, karena
pada masa Abu Yusuf, sudah banyak hadits Nabi yang otentik. Syarbani, murid
besar Abu Hanifah dan Abu Yusuf , lebih besar lagi ketergantungannya pada
hadits dibandingkan dengan Abu Yusuf. Syarbani menggunakan pendapat-pendapat
pribadinya sejauh berkesesuaian dengan hadits. Jika pendidikan di Iraq terkenal
sebagai ahl al-Ra’y, hal ini dikarenakan di Iraq jumlah hafidz tidak sebanyak
di Hijaz. Sehingga mereka memperbanyak qiyas.
Satu
keputusan lama yang terus bertahan dalam ajaran madzhab Hanafi adalah
diperlukannya empat kali pengakuan bagi orang yang berbuat dosa, sebelum dia dihukum
dengan hukuman hadd, hal seperti ini
merupakan analogi dari diperlukannya empat saksi yang dinyatakan dalam
Al-Qur’an (surat XXIV.4). Penetapan seperti ini dihasilkan dari berpikir
sistematis bukan pada tradisi (hadits). Pendapat ulama Iraq tersebut tersebar
di daerah Hijaz, namun tidak diterima oleh kalangan ulama Madinah. Agar hukuman
hadd bisa diberlakukan, nilai minimum
barang yang dicuri ditetapkan ulama Iraq dengan menggunakan analogi lima jari,
yaitu lima dirham. Hal ini berlaku pula untuk jumlah minimum mahar. Sedangkan
Ulama Madinah tidak menetapkan jumlah minimum mahar, hanya Imam Malik, yang
selanjutnya menjadi pendapat umum madzhab Maliki, menetapkan nilai minimum bagi
barang curian adalah ¼ dinar = 3 dirham, bagi berlakunya hukuman hadd,yang berlaku pula bagi jumlah
minimum mahar.
Sepanjang
abad kedua Islam, konsep hukum resmi berkembang sangat cepat yang umumnya
berdasarkan hasil fikiran secara analog yang kian menjadi sempurna. Pada saat
jumlah hadits semakin banyak diterima sebagai sumber hukum yang bersifat
otoritatif, maka ketergantungan kepada hadits semakin meningkat. Kedua kecenderungan
tersebut menimbulkan percampuran. Keadaan tersebut mencapai puncaknya pada masa
Imam Syafi’i. dimana beliau membuat aturan-aturan penetapan hukum dari ushul
fiqh dan membatasi sumber-sumber hukum. Di dalam teori, Syafi’I membedakan
secara tajam antara pertimbangan /alasan yang bersumber dari hadits dan
pertimbangan yang bersumber dari fikiran sistematis. Namun pada praktiknya,
keduanya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Cara berfikir Syafi’I, adalah
dia terikat pada hadits sekaligus berpijak pada pertimbangan rasio. Namun
demikian pendapat Syafi’I lebih dekat kepada Ahl Al-Hadits
Misalkan
pada kasus berikut ini: mengenai persoalan laki-laki menikahi lebih dari 4
wanita dan dia memeluk agama Islam, maka pemecahannya adalah si suami memilih 4
diantara istri-istri yang ia sukai untuk tetap menjadi istrinya. Ketetapan ini
diterima oleh Awza’I, yang demikian itu juga tercantum dalam hadits Nabi. Malik
menerima hadits tersebut dengan memerinci larangan Al-Qur’an mengenai hubungan
perkawinan dengan dua perempuan bersaudara sekaligus (surat IV.23) atau
pekawinan dengan ibu dan anak perempuan berlaku juga di sini. Abu Hanifah mengatakan : jika orang tersebut
mengawini semua istri-istrinya dengan satu akad dan kemudian semua istri
memeluk Islam, maka semua perkawinan tersebut batal. Sedangkan Imam syafi’I
berdasarkan petunjuk hadits kembali sepenuhnya kepada doktrin tertua.
Di
awal periode Abassiyah, ada pemisahan diri dari daerah pengaruh, kemudian
menjelmakan dirinya menjadi corak madzhab berdasarkan kesetiaan pada seorang
guru. Pada pertengahan abad kedua hijriyah, banyak orang mengganti atau
melepaskan doktrin mereka sendiri dan kemudian mengikuti ajaran dari ahli yang
diakui oleh umum. Muncullah dalam madzhab orang Iraq di Kufah para pengikut Abu
Hanifah, satu jamaah yang termasuk di dalamnya Abu Yusuf dan Syaibani, tetapi
Abu yusuf juga memiliki pengikutnya sendiri. Jamaah lain dari orang-orang
Kufah, membentuk dan mengikuti madzhab Syofyan. Sama halnya dalam madzhab Madinah.
Dan khususnya pada wilayah pengaruhnya, Mesir. Para pengikut Malik mengatakan “Muwaththa”
sebagai karya yang terpercaya, dimana pada awalnya mereka hanyalah merupakan
fraksi-fraksi orang Madinah. Syafi’I yang hidupnya menjangkau paruhan kedua
abad kedua hijriah, memulai sebagai anggota madzhab Madinah. Lalu menyatakan
dirinya sebagai madzhab tersendiri, dengan tetap melarang orang-orang untuk
bertaqlid kepadanya. Dimana ia meletakkan Al-Qur’an dan sunnah sebagai dua
dasar dan ijma’ Qiyas sebagai sumber (dasar) pembantu. Madzhab Hanbali juga
menggunakan Qiyas sebagai dasar.
Dalam
perjalanan sejarahnya, di antara ahl al-hadits dan ahl al-Ra’y saling
mengkritik, akan tetapi sebagian ulama menyatakan bahwa hadits tidak akan tegak
lurus jika tidak dikuatkan dengan ra’yu atau akal, dan al-ra’yu tidak akan
benar dan tepat jika tidak didasarkan hadits. Dari sekian banyak madzhab yang
pernah ada, hanya madzhab empat saja yang ada dan hidup sampai sekarang yang
diikuti oleh jutaan umat Islam di dunia.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............