BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Psikologi
Psikologi
biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan
sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain.
Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas,
tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi.
Psikologi sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu
pada dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang
dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Diantara
berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan psikologi
adalah konseling. Bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling
merupakan aplikasi dari psikologi terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang
digunakan, dan proses penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai
konseling dapat pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling
psychology).[1]
B.
Pengertian
Agama[2]
Agama,
seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system
tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami,
pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari
sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi
urusan terakhir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban
terhadap kehausannya dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka
melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari
sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang
bersama dengan oranglain dan berusaha untuk bergabung dengan oranglain dalam ketaatan yang umum
terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
C.
Psikologi
Versus Agama[3]
Kita
mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama.
Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri
dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan
kearah integrasi, di
dunia akademis pandangan
yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang
eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme,
prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada gilirannya, kaum agamawan atau
psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan
memberhalakan diri.
Mengapa dua disiplin yang menaruh perhatian yang sama
bisa bermusuhan?
Pertama, dalam perjalanan sejarah, keduanya telah menjadi
pesaing satu sama lain. Dahulu, menurut Peter Berger (1967), agama memberikan
makna baku kepada manusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab
masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Dalam periode
beberapa abad belakangan ini, posisi agama disisihkan
oleh sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula-mula dalam menjelaskan alam dan
akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu
pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk
menghayati pengalaman subyektif manusia.
1. Pandangan
Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah
paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan agama. Freud menyebut agama
sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan
kanak-kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami
kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual.
Menganggap agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah.
Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical Psychology, terbitan 1980 :
“ Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang
mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan
gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai
kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang secara
dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai hal-hal absolut yang merusak
kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka,
toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religius cenderung
kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan
dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
2. Pandangan
Agama Yang Negatif Terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang
keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan agamawan yang
mencampurkan psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang
menegaskan posisi psikologi dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan Psikologi. Pada salah satu
artikelnya yang berjudul “First Things :
Faith and Terapy” (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan di Boston College ini menulis : “Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak
ada kompromi antara agama kristen dan kelompok psikologi”.
Satu-satunya cara
yang paling perkasa untuk menyibakkan kabut ini adalah cahaya wahyu. Wahyu
mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional bukanlah segala-galanya.
Al-kitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat dosa, kita harus
memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang
membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik memasuki kerajaan surga
dengan psyche yang mengalami represi ketimbang memasuki tempat lain dengan
dipenuhi penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur puncak dalam teori-teori para
psikolog. Psikolog sangat sedikit berbicara tentang kebanyakan manusia yang
menderita di dunia ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa
kita semua akan mati.
3.
Keyakinan
agama para psikolog
Sejalan
dengan perkembangan sains dan teknologi, skularisasi perlahan-lahan menyeret
agama kepinggiran kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang
Eropa, pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat dalam
kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan paling rendah
sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa utara, ‘kata Hoge
(1997:23). Di Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak
banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan orang banyak,
keterlibatan dalam kegiatan agama tidak berkurang; dalam beberapa aspek
keagamaan, bahkan bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa “agama
dapat menjawab semua atau kebanyakan problem masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57%
berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445).
Mereka juga ternyata menaruh kepercayaan kepada lembaga-lembaga agama: karena
kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan kedua setelah institusi militer
(Hastings &Hastings, `1994 : 313).
Lalu,
dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi paling jelas
menunjukkan dampaknya di kalangan academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa
lulusan perguruan tinggi menganggap agama kurang penting dibandingkan dengan
orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam tinjauan literature yang
dilakukan oleh Beit Hallahmi (1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan
akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey
yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para dosen menyatakan tidak
menganut agama apapun, dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup,
Jr. 1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan agama kurang
penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika kita membandingkan penelitian
ini dengan study yang dilakukan Leuba, salah seorang perintis psikologi agama,
kita menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami perubahan.. Dalam
kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan bahwa makin terkemuka seorang ilmuan,
makin rendah keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa psikologi paling kecil
kemungkinannya untuk “Percaya kepada Tuhan yang menjawab do’a”.
4.
Agama
Menurut para Psikolog Sekuler
v JAMES
LEUBA : Agama sebagai Irasionalitas dan Patologi
Psikologi
yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga yang paling informative dan
persuasive adalah Leuba.Secara langsung, ia mengumpulkan bukti untuk
menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
pokok psikologi dan fisiologi. Misalnya, ia menunjukkan secara eksperimental
bahwa ia dapat menimbulkan perasaan kehadiran sesuatu yang samar-samar dan
tidak terlihat pada subjek penelitiannya dengan mengarahkan mereka untuk
mengharapkan pengalaman seperti itu. Menurut Leuba, reaksi yang terjadi sama seperti
pengalaman sehari-hari ketika kita merasakan kehadiran orang lain. Leuba juga
menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis melalui penjelasan tentang
proses patologis, termasuk epilepsy, hysteria, neurasteria, dan intoksikasi
narkotis.
Ia
menyimpulkan bahwa pernyataan kaum mistikus setelah pengalaman keagamaan
seperti itu bersifat naïf dan khayali. Setelah itu, Leuba menunjukkan banyak
ajaran agama yang bermutu rendah dan tidak masuk akal. Ia juga menunjukkan
bahwa pandangan keagamaan yang konservatif ini menghambat perkembangan
pengetahuan ilmiah. Dalam upayanya untuk menunjukkan irasionalitas kepercayaan
agama yang konvensional, melalui kuesioner Leuba mengumpulkan data yang
menunjukkan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih kecil
kemungkinannya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan
mereka yang terkemuka.Di samping keterkenalan para ilmuwan yang paling kecil
kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling
menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Diantara semua
ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat
kepercayaan yang paling rendah (Leuba, 1950).
Walaupun
sangat keras mengkritik agama, Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbarui dan
bukan menghancurkan agama. Sebagaiman ia sangat kritis terhadap agama
tradisional, ia juga kritis terhadap sains yang materialistic. Leuba juga
mengemukakan teori tentang “dorongan spiritual inteligen” menuju kesempurnaan
moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya sebagai karakteristik asasi tabiat
manusia. Untuk mengembangkan daya spiritual yang ilmiah ini, Leuba menyarankan
dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah,
pengakuan, dan kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan dengan
bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi
menyembah Tuhan social, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari
nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian dan energy moral dari
tradisi teistiknya.
v SKINNER
: Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh
Jika
pandangan Leuba tentang sains masih mepertahankan adanya dorongan spiritual,
pandangan kaum yang behavioris yang keras mendorong mereka untuk mereduksi
agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Contoh aliran
ini adalah Skinner (1953) yang mempertahankan bahwa, seperti semua perilaku
lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena didikuti stimuli yang
memperteguh. Dalam banyak hal, peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh
agama dan pengendali lain yang berkuasa. Kepercayaan dan aturan agama
menghimpun akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh agen-agen
pengendali untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk keuntungan
institusi agama dan tatanan social yang lebih besar. Perilaku agama yang tidak
dapat dipahami dalam kerangka diatas dapat dijelaskan sebagai produk peneguhan
yang tidak direncanakan atau tidak sengaja. Seperti merpati yang terus menerus
melakukan perilaku “takhayul” dan tidak fungsional sebagai respons sebagai
peneguhan acak, manusia akan berpegang teguh pada pelaksanaan ritus-ritus yang
ganjil jika perilaku ini diikuti secara kebetulan oleh stimulus yang
memperteguh.
v GEORGE
VETTER : Agama sebagai Respon pada Situasi Tak Terduga
Menurut
Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menulis secara
khusus sebuah bukju untuk menganalisis agama secara behavioral dengan semangat
yang lebih menggebu-gebu ketimbang Leuba dan Skinner. Vetter menjabarkan
berbagai alas an untuk penilainnya yang negative terhadap agama : konsepsi naïf
tentang tuhan yang bersifat antropomorfis ; peperangan dan kebiadapan lainnya
yang dilakukan atas nama agama sepanjang sejarah ; keterbelakngan pengetahuan
para tokoh agama berkenaan dengan masalah-masalah social ; kegagalan iman
keagamaan dalam menunjukkan hubungan empiris yang konsisten dengan prilaku
moral (kadang-kadang keimanan secara positif mendorong orang untuk berbuat baik
dan memberikan pertolongan, tetapi juga secara negative mendorong orang untuk
melkukan penghianatan) ; korelasi institusi agama dalam bidang social politik
dan penghamburan kekayaan sumber daya termasuk uang, waktu dan tenaga manusia
yang dilakukan oleh institusi agama.
Jika
agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, seperti dinyatakan
Vetter, lalu bagaimana para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya
kepercayaan dan praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat? Vetter merujuk
pada teori Skinner tentang perilaku “takhayul” yang dilakukan oleh merpati yang
diperteguh secara acak, dan laporan Maier tentang perilaku yang bersifat
stereotipikal dan nonfungsional yang dilakukan tikus ketika dipaksa utnuk
membuat diskriminasi yang mustahil. Dari situ, Vetter berpendapat bahwa
perilaku agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak
terduga dan tidak terkendali. Ada dua factor utama yang menentukan apakah
perilaku itu akan terjadi. Pertama, perilaku yang bermanfaat pada situasi
terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual pada situasi yang sama
dikemudian hari.Dengan cara begitu, kata Vetter, dalam situasi terdesak Tuhan
sering disapa sebagai orang tua.Kedua, menurut teori belajar Guthrie
(Contiguity theory of learning), perilaku cenderung dijalankan jika perilaku
itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku
itu setidak-tidaknya sedang berlangsung
ketika sesuatu yang lain mengubah situasi ; karena dalam kedua keadaan itu
perilaku itu dipertahankan serbagai tindakan terakhir yang berkaitan dengan
kompleks stimulus tersebut. Vetter mengidentifikasi dua kelompok agama yang
memenuhi criteria ini : (a) “Perilaku entreaty” seperti doa atau meditasi yang
dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan ketenangan
yang diperlukan untuk tindakan praktis yang simultan, dan (b)”Perilaku orgy”
seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga stress
emosionalnya berangsur-angsur hilang dengan sendirinya.
Tetapi,
betapapun efektifnya perilaku tersebut dalam jangka pendek, Vetter sangat
menentangnya karena perilaku-perilaku itu diarahkan, seperti candu, kepada
penderita itu sendiri dan bukan pada situasi eksternal yang menjadi sumber
frustasi. Masalah yang dihadapi orang, menurut Vetter, hanya dapat diselesaikan
dengan menerapkan secara sistematis metode sains yang berpusat pada masalah,
bukan metode agama yang bersifat khayali. Proses sekularisasi yang berlangsung secara bertahap, yang
menyebabkan lebih banyak persoalan dipandang secara ilmiah dan tidak lagi
secara religious, memberikan harapan kepada Vetter bahwa sejumlah sumber daya
yang dihabiskan untuk agama perlahan-lahan akan direalokasikan pada penelitian
ilmiah, termasuk penelitian tentang agama itu sendiri.
Walaupun
prinsip behavioral, terutama seperti yang dikembangkan oleh Skinner, masih
popular dikalangan psikolog klinis dan akademis, banyak orang melihat titik
tekan yang berlebihan pada responds yang diperteguh secara individual itu
terlalu fragmentalis dan mekanistis untuk menjelaskan perilaku kompleks seperti
yang terdapat dalam wilayah agama. Teori belajar social pendekatan kognitif
yang menggambarkan belajar observasional dan global memberikan alternative yang
menjanjikan, terutama dalam menjelaskan penyampaian tradisi agama dari satu
generasi ke generasi lainnya. Tetapi, diluar beberapa ilmuwan yang tekah
menegaskan peranan peniruan dalam sinamika agama, belum ada penggunaan
sistematis teori belajar social untuk memahami keimanan dan tradisi keagamaan.
v SIGMUN
FREUD : Agama sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakkan
Jika
Freud dan para pengikutnya berpandangan negative terhadap agama dengan memandang agama tidak
lebih dari sekadar kumpulan kecenderungan kekanak-kanakan atau neurotis, para
pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif.
Menurut
Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol : kepercayaan yang kuat
terhadap Tuhan dalam sosok Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara
menjelimet. Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya
kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang
yang beragama untuk merasa berdosa dan takut akan hukuman tuhan. Dari situlah,
Freud membandingkan unsure-unsur ini dengan gejola obsesif neurosis, yang ia
pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi impuls yang tidak dapat
diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan, berakar pada
pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak menganggap orangtua,
terutama bapak, sebagai oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang
penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti
itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge
buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam situasi hidup lainnya
sekali lagi membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu akan
seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra
Tuhan sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang
disebut Freud, “merupakan akar setiap bentuk agama”, ditandai dengan
kegamangan. Pasalnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga
menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahan penuh kepada
Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang
sudah lama hilang.
Karena
itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti bahwa agama adalah hasil
pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu,
agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat.
Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk
berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh
hambatan-hambatan berfikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi
yang ditimbulkan oleh ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura
kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi masyarakat yang
memaksakan penekanan naluri melalui hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu,
karena orang-orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan bukan
karena pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma agama yang membenarkan
larangan cultural ini akan memporak-porandakan masyarakat.Hanya dengan
meninggalkan agam dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud, dan bertumpu pada
sains dan akal, individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap
kekanak-kanakannya. Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima
banyak celah yang ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita tentang realitas,
sambil dengan berani menghadapi situasi tak berdaya dan tak bermakna yang
menjadi nasib kita semua. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata
Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima
dengan ikhlas.
[1] Latipun. Psikologi Konseling. Hlm,4
[2] Oemar Hamalik. Psikologi Remaja. Hlm. 107
[3] Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama. Hlm, 152-174
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............