CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Tuesday, 28 May 2013

PSIKOLOGI PRO AGAMA


A.          Mengapa psikologi mendekati agama ?
  1. Penelitian agama dan kesehatan mental
Salah satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa selama lebih dari 70 tahun dan sampai sekarang di kalangan “mainsream” psikologi dan psikiatri agama dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun mental. Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metanalisis pada hasil-hasil penelitian tentang agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa “jika religiusitas dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang ditemukan, hanya tujuh orang atau 23 orang menunjukkan antara hubungan negatif antara agama dan kesehatan mental, seperti dinyatakan oleh Elis dan yang lain-lain. Sebanyak 47 % menunjukkan hubungan positif, dan 30 % hubungan zero. Jadi, 77 % dari hasil penenlitian bertentangan dengan teori negatif  agama.” Secara singkat, Koenig (1999) melaporkakn dalam bukunya, The Healing Power of Faith bahwa keluarga yang relligius umumnya (1) punya keluarga yang blebih bahagia, (2) punya gaya hidup yang le4bih sehat, (3) dapat mengatasi stres, (4) melindungi dari dan menyembuhkan depresi, (5) hidup lebih lama dan lebih sehat, (6) terlindungi dari penyakit kardiofaskular, (7) punya sistem imun yang lebih kuat, dan (
8) lebuh sedikit menggunakan jasa rumah sakit.
Jika agama terbukti menyehatkan secara fisik dan mental, psikoteraqtis yang mengabaikan agama akan kehilangan sumberdaya yang utama. Selain itu, khusus unuk kesehatan mental, yang menjadi perhatian para psikolog dan psikoterapis, agama perlu dipertimbangkan dan dipelajari karena lima alasan yang dikemukakan koenig (1998) : (1) Dengan mengetahui latar belakang dan pengalaman keagamaan pasien, terapis akan lebih memahami konflik yang terjadi pada diri pasien. (2) Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan peranan yang dimainkannya pada kehidupannya sekarang, terapis akan dapat melakukan intervensi kognitif dan behavioral dengan cara-cara yang dapat diterima oleh sistem kepercayaan pasien. (3) Pengetahuan tentang komitmen, perilaku, dan kepercayaan agama pasien akan membantu teris uintuk mengidentifikasi sumberdaya agana yang sehat, yang bisa dipercaya untuk melengkapi terapi tradisional. (4) Pengalaman agama yang negatif sebelumnya, dapat merintangi pasien untuk menggunakan swumberdaya imannya dalam mengatasi persoalan hidupnya sekarang. Mempelajari dan membantu pasien mengelola pengalaman negatifnya itu dapat membabaskan dia untuk sekali lagi menggunakan sumberdaya agamanaya. (5) Menyentuh masalah keagamaan akan menyampaikan kepada pasien kesan bahwa terapis tidak hanya lengkap dan menyeluruh dalampenilaian diagnostiknya, tetapi juga ia peka kepada wilayah kehidupan pasien yang sangat bermakna bagi orang yang bersangkutan.
b.       Perubahan Paradigma Sains
Pada akhir abad ke 19, pandangan dunia Newtonian digantikan perlahan-lahan oleh pandangan dunia Einsteinian. Asumsi Ontologis bahwa ada realitas tunggal diluar kita yang bisa kita amati secara objektif, ditumbngkan dengan pengetahuan-pengetahuan baru dalam mekanikal kuantum. Realitas dapat dilihat sebagai fungsi gelombang yang tidak dapat direailisasikan sebelum seorang pengamat “Pops The Qwiff” (Wolf, 1931). Qwiff adalah Quantum Wafe Fuction, fungsi gelombang kuantum. “Sebelum dimunculkan“ fungsi gelombang kuantum hanya memiliki realitas probabistik. Wolf menjelaskan realitas kontruksi kita itu ketika ia membahas kucing schodinger:
Apa yang kita maksud ketika kita berbicara tentang realitas ? Biasanya yang kita maksud adalah dunia yang kita indra. Duniayang ada di luar sana yang terdiri dari apapun yang dapat kita lihat, kita dengar, kecap, cium, dan sentuh- objek yang bersifat kebendaan yang dalam kehidupan sehari-sehari kita. Kita percaya begitu saja bahwa objek-objek ini akan ada dalam bentuk yang sama seperti yang kita indra. Walaupun kita tidak berada disana untuk mengamatinya,pengamatan kita hanyalah membenarkan realitas yang sudah ada.
Tetapi, bukan itu yang diceritakan kepada kita oleh mekanika kuantum. Ia menunjukkan perpindahan drastis dari apa yang kita sebut sebagai warisan mekanika klasik. Sudah pasti inilah posisi yang kemudian dikenal sebagai posisi Kopenhagen atau Bohr Complementarete Principal. Tidak ada realitas sampai realitas itu kita persepsi. Akibatnya, persepsi kita tentang realitas akan tampak kontradiktif, dualistik, dan paradoksikal.
Apakah cahaya itu gelombang atau partikel bergantung pada teori dan alat ukur yang digunakan oleh para peneliti. Apakah para pemerintah Indonesia sekarang memperhatikan rakyat atau tidak bergantung pada siapa yang anda tanya. Semua realitas bergantung kepada siapa yang mengkonstruksinya. Kita tidak saja mengamati, tetapai juga menciptakan realitas. Zukav ketika membahas implikasi metafisis dari fisika baru dalam The Dancing Wu Li Master (1979:28), menjelaskan mekanika kuantum sebagai berikut: Berbeda dengan fisika Newtonian, mekanika kuantum mengajarkan kepada kita bahwa pengetahuan kita tentang apa yang mengatur tingkat Sub-Atomis tidaklah perlu yang kita duga. Kita tidak dapat meramalkan Sub-Atomis dengan kepastian. Kita hanya dapat meramalkan kemungkinan.
Tetapi secara filosofis, implikasi mekanika kuantum sangat Psychedelic. Tidak saja kita mempengaruhi realitas, tetapi sampai tingkat tertentu, kita betul-betul menciptakannya. Karena kita dapat mengetahui momenntum  partikel atau posisinya, tetapi tidak tahu kedua-duannya, kita harus memilih, mana diantara kedua sifat itu yang ingin kita teliti. Secara metafisik, ini hampir saja berarti bahwa kita menciptakan sifat-sifat tertentu karena kita memilih untuk mengukur sift-sifat ini.
  1. Penelitian Neorologi dan Kesadaran
Karena pandangan reduksionistik dan naturalistik dari sains modern, hingga abad ke-20 penelitian psikologis tentang kesadaran manusia sangat diabaikan. Penampakan dari dimensi spiritual hanya dianggap sebagai hasil mekanisme otak saja. Kini, penelitian neorologis mengungkapkan bahwa kesadaran akan tuhan punya dasar dalam strukrur otak kita. Kita sudah dihubungkan secara Biologis, “Wired”, dengan tuhan.
Menurut pemikiran para psikolg konvensional, agama dihasilkan oleh proses berfikir-proses kognitif-yang didasarkan pada logika keliru dan deduksi yang salah. Kita takut menghadapi alam yang buas. Kita memikirkan tuhan sebagai pelindung kita yang maha perkasa. Neorolog Newberg (Newberg, et al,2001) melaporkan penelitian neurologis dalam bukunya yang berjudul argumentatif Why God Won’t Go Away:
Penelitiian neurologis menunjukkan bahwa tuhan bukanlah produk proses deduktif kognitif, melainkan “ditemukan” dalam pertemuan mistikal atau spiritual yang diketahui oleh kesadaran manusia melalui mekanisme pikiran dan transenden. Dengan kata lain, mamnusia tidak secara kognitif menciptakan Tuhan yang maha kuasa dan kemudia bergantung pada penemuannya ini untuk memperoleh perasaan bahwa dia mengendalikan situasi Tuhan, dengan definisi istilah itu, adalah yang paling luas dan paling pokok dialami dalam spiritualitas mistikal.
Pernah diumamkan bahwa Tuhan telah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis dan genetis untuk kepercayaan agama, spiritualitas, dan gejala paranormal, termasuk pengalaman tentang dewa, setan, arwah, nyawa, dan kehidupan setelah kematian. Ada bagian tertentu dari otak yang sangat efektif ketika bermimpi selama dalam keadaan trans (trance), meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang memungkinkan kita untuk mengalami wilayah brelitas yang biasanya disaring dari kesadaran, termasuk realitas Tuhan, arwah, jiwa, dan kehidupan setelah kematian.
Selama ribuan tahun orang tahu bahwa dalam keadaan tidur dan trans, terisolasi, dan karen akelaparan dan kehausan manusia sanggup mengalami wilayah realitas yang biasanya disaring dari permukaan kesadaran. Pada kiondisi seperti ini, berbagai bagian dari sistem neokorteks dan sistem limbik akan menjadi sangat aktif bahkan hiperaktif, sehingga apa yang biasanya disaring itu sekarang dapat dipersepsi. Dalam kondisi ini, ada yang mengaku berbicara dengan Tuhan atau berusaha untuk mencari Tuhan untuk menyatu dengan zat spiritual yang Agung. Struktur sistem limbik seperti amigdala, hypocampus dan inverior temporaloble telah berulang-ulang ditemukan memberikan dasar bagi pengalaman agama, spiriyual, dan mistikal, serta persepsi, “halusinasi” tentang hantu, setan, arwah, dan kepercayaan dihuni oleh ruh atau malaikat (Bear, 1979; Dali, 1958; Joseph 1996; Meisulam, 1981; Penfield dan Perrot 1963; Schenk dan Bear, 1981; William, 1986). Ketika wilayah otak ini dihiperaktifkan, tidak jarang terjadi pengalaman “religius”. Tentu saja ada sebagian orang yang mengatakan bahwa pengalaman ini hanyalah sekedar halusinasi yang dihasillkan oleh otak yang abnormal. Ini benar beberapa kasus. Bukannya karena abnormalitas, pengalaman religius dan pencarian gizi spiritual adlah kejadian umum dan bukan kekecualian. Kemunculan emosi spiritual dan keberagamaan yang alamiah ini dapat menjelaskan mengapa walaupun diteror dan ditindas selama puluhan tahun, negara-negara totaliter seperti Cina Komunis, Kuba dan bekas Uni Soviet tidak mampu dan belum  pernah mampu menghancurkan ungkapan agam dan spiritual di negeri mereka.
Kepercayaan kepada ruh, arwah rumah yang dihuni malaikat atau setan, dan kemampuan untuk meperoleh pengalaman mistikal, termasuk perasaan dimasuki dewa atau setan atau mendengar suara, dikenal diseluruh dunia. Manusia sudah menunjukkan kepercayaan kepada dunia spiritual selama lebih dari 100.000 tahun (Joseph, 1996, 2000a).
Simaklah misalnya penemuan mutakhir dari Profesor Ray Noris dan rekan-rekannya berdasarkan teleskop Australi CSIRO dan Hubble Space Telescobe, mereka mendeteksi bintang yang sangat jauh, yang sebelumnya tidak terdeteksi. Menurut para astronom, data baru ini menghasilkan taksiran usia alam semesta jauh lebih awal lagi walaupun seberapa jauhnya tidak seorang pun yang tahu, karena teleskop modern yang ada belum mampu mengumpulkan cahaya dari alam semesta dini (Norris et al, 2001).
Jika usia dan kethuaan alam semesta itu tidak diketahui, dan jika teori Big Bang tidak didukung oleh bukti ilmiah, maka menjadi mustahil untuk mengesampingkan adanya “Tuhan yang abadi”.Begitu pula jika usia kehidupan dan setiap malekul DNA serta gudang informasi genetik di dalamnya mungkin punya asal usul yang luar biasa tuannya. Pandangan ini sesuai dengan kepercayaan bahwa kehidupan pertama kali dibentuk oleh “tangan tuhan”.
B.       Agama dalam  Pandangan James dan Jung
a.        William James
Ø  Agama sebagai jalan meuju keunggulan manusia
William James boleh disebut sebagai bapak psikologi agama. James berpendapat bahwa agama mempunyai peranan sebtral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama pada manusia paling tidak sama menariknya dengan dorongan-doirongan lalinnya. Pada awal kuliahnya tentang pengalaman religius James menolak setiap penjelasan agama yang ia sebut sebagai “Materialisme Medis”. Para ilmuan dengan pongah menerangkan bahwa pengalaman hidup kita yang lebih tinggi itu adalah pengalaman “hanya sekedar”. Agama hanya sekedar proyeksi dan ketakutan masa kecil.
Karena itu, james menolak mencari asala-usul agama yang patologis dan memusatkan perhatian kepada ungkapan keberagamaan agama dalam berbagai ragamnya. Kita harus menilai agama bukan dari asal-usulnya melainkan dari hasilnya dalalm kehidupan orang-orang menjkalankakn agamanya secara mendalam. Dalam mengutip al-kitab, James merumuskan kriteria untuk menilai agama: “dari buahnya, kamu akan kenal mereka, bukan dari akarnya”.
Dalam kuliah ketiga, James menandai sikap beragama sebagai kebudayaan akan adanya kehidupan tak terlihat dan keinginan kita untuk hidup serasi dengan ketertiban ini. Agama menggaiirahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbaharui gaya hidup dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalam kehidupan. Orang yang beragama akank mencapai perasaan tenteram dan damai. Cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya. Tanpa mengabaikan rasa takut atau rasa sedih dalam kehidupan beragama, James lebih banyak melihat agama sebagai sumber kebahagiaan.
Kebahagiaan agama menurut James, ditandai dengan hilangnya upaya untuk melarikan diri. Sikap agama selalu mengandung pengorbanan. Pada akhirnya, kebergantungan pada alam semesta bersifat mutlak. Manusia tidak punya pilihan kecuali berkorban dan pasrah dengan cara apapun. Anjuran positif untuk berserah diri dan berkorban tampak terjadi pada kehidupan beragama sehingga “mempermudah dan meringankan apa saja yang niscaya terjadi.”
Menurut James, perdebatan antara sains dan agama itu sia-sia, dan kesia-sian ini tersebar secara merata. “persetan dengan yang mutlak!” Ia sering mengutuk dalam kuliahnya. Materialisme ilmiah tak berhak untuk mengklai kebenaran mutlak, karena ketika ia meneliti dunia dengan metode yang seharusnya objektif, Ia melupakan fakta bahwa penelitian itu dilakukan oleh entitas yang sungguh subjektif oleh seorang manusia.
  1. C.G Jung
Ø  Agama sebagai jalan menuju keutuhan
Jung mendefinisinakan agama sebagai keterkaitan antara proses psikis tak sadar yang punya kehidupan tersendiri. Agama, menurut Jung, adalah “ketergantungan dan kepasrahan kepada fakta pengalaman yang erasional. Agama adalah “pertimbangan dan pengamatan yang cermat” pada “faktor dinamis”, yang adalah “kekuasaan”, pada tenaga-tenaga tak sadar, dan pada simbol-simbol yang mengungkakan kehidupan tenag-tenaga ini; pada yang batiniah, yakni “gerakan dinamis” diluar kesadaran diubah karena berhubungan dengan yang batiniah. Sejak pencerahan agama telah dikonstruksi secra rasionla sebagai sistem filsafat yang “dicetak” dalam otak. Orang beranggapan bahwa pernah ada seseorang menciptakan Tuhan dan berbagai dokma agama. Karena dia memiliki kekuasaan mempengaruhi yang sangat besar, yang meyakinkan orang-orang disekitar dia tentang citra realitas yang memuaskan keinginan. Jung manantang pandangan ini denmgan berdalih bahwa bukanlah kepala yang menciptakan simbol-simbol agama melainkan hati, daerah tak sadar psyche karena itulah mengapa simbol-simbol ini, yang seluruhnya misteri bagi kesadaran, datang kepada kita sebagai “wahyu” atau revelation.
Khutbah Teologis kata Jung adalah metologem serangkaian citra arketipal yang memberikan “gambaran yang agak tepat tentang transendensi yang tak terbayangkan” Jung berkata bahwa setiap ajaran agama muncul pada satu sisi, atas dasar pengalaman yang batiniah dan poada sisi yang lain atas dasar kepercayaan pada pengalaman itu dan perubahan yang dirimbulkannya dalam kesadaran.

PSIKOLOGI KONTRA AGAMA
A.       Pengertian Psikologi
Psikologi biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain. Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas, tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi. Psikologi sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu pada dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Diantara berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan psikologi adalah konseling. Bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling merupakan aplikasi dari psikologi terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang digunakan, dan proses penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai konseling dapat pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling psychology).
B.       Pengertian Agama
Agama, seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan oranglain dan berusaha untuk bergabung  dengan oranglain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
C.       Psikologi Versus Agama[1]
Kita mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama. Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang eksterm, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Pada gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan diri.
Mengapa dua disiplin yang menaruh perhatian yang sama bisa bermusuhan?
Pertama, dalam perjalanan sejarah, keduanya telah menjadi pesaing satu sama lain. Dahulu, menurut Peter Berger (1967), agama memberikan makna baku kepada manusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Dalam periode beberapa abad belakangan ini, posisi agama disisihkan oleh sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula-mula dalam menjelaskan alam dan akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk menghayati pengalaman subyektif manusia.
1.        Pandangan Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual. Menganggap agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah. Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical Psychology, terbitan 1980 :
“ Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut sebagai kesalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
2.        Pandangan Agama Yang Negatif Terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan agamawan yang mencampurkan psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang menegaskan posisi psikologi dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan Psikologi. Pada salah satu artikelnya yang berjudul “First Things : Faith and Terapy” (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan di Boston College ini menulis : Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak ada kompromi antara agama kristen dan kelompok psikologi”.
Satu-satunya  cara yang paling perkasa untuk menyibakkan kabut ini adalah cahaya wahyu. Wahyu mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional bukanlah segala-galanya. Al-kitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat dosa, kita harus memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik memasuki kerajaan surga dengan psyche yang mengalami represi ketimbang memasuki tempat lain dengan dipenuhi penonjolan diri (self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur puncak dalam teori-teori para psikolog. Psikolog sangat sedikit berbicara tentang kebanyakan manusia yang menderita di dunia ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang kenyataan bahwa kita semua akan mati.
3.        Keyakinan agama para psikolog
Sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, skularisasi perlahan-lahan menyeret agama kepinggiran kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang Eropa, pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat dalam kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan paling rendah sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa utara, ‘kata Hoge (1997:23). Di Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan orang banyak, keterlibatan dalam kegiatan agama tidak berkurang; dalam beberapa aspek keagamaan, bahkan bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa “agama dapat menjawab semua atau kebanyakan problem masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57% berdoa sekurang-kurangnya sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445). Mereka juga ternyata menaruh kepercayaan kepada lembaga-lembaga agama: karena kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan kedua setelah institusi militer (Hastings &Hastings, `1994 : 313).
Lalu, dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi paling jelas menunjukkan dampaknya di kalangan academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa lulusan perguruan tinggi menganggap agama kurang penting dibandingkan dengan orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam tinjauan literature yang dilakukan oleh Beit Hallahmi (1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para dosen menyatakan tidak menganut agama apapun, dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup, Jr. 1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan agama kurang penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika kita membandingkan penelitian ini dengan study yang dilakukan Leuba, salah seorang perintis psikologi agama, kita menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami perubahan.. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan bahwa makin terkemuka seorang ilmuan, makin rendah keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa psikologi paling kecil kemungkinannya untuk “Percaya kepada Tuhan yang menjawab do’a”.
4.        Agama Menurut para Psikolog Sekuler

v  JAMES LEUBA : Agama sebagai Irasionalitas dan Patologi
Psikologi yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga yang paling informative dan persuasive adalah Leuba.Secara langsung, ia mengumpulkan bukti untuk menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi. Misalnya, ia menunjukkan secara eksperimental bahwa ia dapat menimbulkan perasaan kehadiran sesuatu yang samar-samar dan tidak terlihat pada subjek penelitiannya dengan mengarahkan mereka untuk mengharapkan pengalaman seperti itu. Menurut Leuba, reaksi yang terjadi sama seperti pengalaman sehari-hari ketika kita merasakan kehadiran orang lain. Leuba juga menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis melalui penjelasan tentang proses patologis, termasuk epilepsy, hysteria, neurasteria, dan intoksikasi narkotis.
Ia menyimpulkan bahwa pernyataan kaum mistikus setelah pengalaman keagamaan seperti itu bersifat naïf dan khayali. Setelah itu, Leuba menunjukkan banyak ajaran agama yang bermutu rendah dan tidak masuk akal. Ia juga menunjukkan bahwa pandangan keagamaan yang konservatif ini menghambat perkembangan pengetahuan ilmiah. Dalam upayanya untuk menunjukkan irasionalitas kepercayaan agama yang konvensional, melalui kuesioner Leuba mengumpulkan data yang menunjukkan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan mereka yang terkemuka.Di samping keterkenalan para ilmuwan yang paling kecil kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Diantara semua ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat kepercayaan yang paling rendah (Leuba, 1950).
Walaupun sangat keras mengkritik agama, Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbarui dan bukan menghancurkan agama. Sebagaiman ia sangat kritis terhadap agama tradisional, ia juga kritis terhadap sains yang materialistic. Leuba juga mengemukakan teori tentang “dorongan spiritual inteligen” menuju kesempurnaan moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya sebagai karakteristik asasi tabiat manusia. Untuk mengembangkan daya spiritual yang ilmiah ini, Leuba menyarankan dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah, pengakuan, dan kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan dengan bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi menyembah Tuhan social, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian dan energy moral dari tradisi teistiknya.
v  SKINNER : Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh
Jika pandangan Leuba tentang sains masih mepertahankan adanya dorongan spiritual, pandangan kaum yang behavioris yang keras mendorong mereka untuk mereduksi agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Contoh aliran ini adalah Skinner (1953) yang mempertahankan bahwa, seperti semua perilaku lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena didikuti stimuli yang memperteguh. Dalam banyak hal, peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh agama dan pengendali lain yang berkuasa. Kepercayaan dan aturan agama menghimpun akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh agen-agen pengendali untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk keuntungan institusi agama dan tatanan social yang lebih besar. Perilaku agama yang tidak dapat dipahami dalam kerangka diatas dapat dijelaskan sebagai produk peneguhan yang tidak direncanakan atau tidak sengaja. Seperti merpati yang terus menerus melakukan perilaku “takhayul” dan tidak fungsional sebagai respons sebagai peneguhan acak, manusia akan berpegang teguh pada pelaksanaan ritus-ritus yang ganjil jika perilaku ini diikuti secara kebetulan oleh stimulus yang memperteguh.
v  GEORGE VETTER : Agama sebagai Respon pada Situasi Tak Terduga
Menurut Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menulis secara khusus sebuah bukju untuk menganalisis agama secara behavioral dengan semangat yang lebih menggebu-gebu ketimbang Leuba dan Skinner. Vetter menjabarkan berbagai alas an untuk penilainnya yang negative terhadap agama : konsepsi naïf tentang tuhan yang bersifat antropomorfis ; peperangan dan kebiadapan lainnya yang dilakukan atas nama agama sepanjang sejarah ; keterbelakngan pengetahuan para tokoh agama berkenaan dengan masalah-masalah social ; kegagalan iman keagamaan dalam menunjukkan hubungan empiris yang konsisten dengan prilaku moral (kadang-kadang keimanan secara positif mendorong orang untuk berbuat baik dan memberikan pertolongan, tetapi juga secara negative mendorong orang untuk melkukan penghianatan) ; korelasi institusi agama dalam bidang social politik dan penghamburan kekayaan sumber daya termasuk uang, waktu dan tenaga manusia yang dilakukan oleh institusi agama.
Jika agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, seperti dinyatakan Vetter, lalu bagaimana para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya kepercayaan dan praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat? Vetter merujuk pada teori Skinner tentang perilaku “takhayul” yang dilakukan oleh merpati yang diperteguh secara acak, dan laporan Maier tentang perilaku yang bersifat stereotipikal dan nonfungsional yang dilakukan tikus ketika dipaksa utnuk membuat diskriminasi yang mustahil. Dari situ, Vetter berpendapat bahwa perilaku agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan tidak terkendali. Ada dua factor utama yang menentukan apakah perilaku itu akan terjadi. Pertama, perilaku yang bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual pada situasi yang sama dikemudian hari.Dengan cara begitu, kata Vetter, dalam situasi terdesak Tuhan sering disapa sebagai orang tua.Kedua, menurut teori belajar Guthrie (Contiguity theory of learning), perilaku cenderung dijalankan jika perilaku itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku itu setidak-tidaknya sedang  berlangsung ketika sesuatu yang lain mengubah situasi ; karena dalam kedua keadaan itu perilaku itu dipertahankan serbagai tindakan terakhir yang berkaitan dengan kompleks stimulus tersebut. Vetter mengidentifikasi dua kelompok agama yang memenuhi criteria ini : (a) “Perilaku entreaty” seperti doa atau meditasi yang dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan ketenangan yang diperlukan untuk tindakan praktis yang simultan, dan (b)”Perilaku orgy” seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga stress emosionalnya berangsur-angsur hilang dengan sendirinya.
Tetapi, betapapun efektifnya perilaku tersebut dalam jangka pendek, Vetter sangat menentangnya karena perilaku-perilaku itu diarahkan, seperti candu, kepada penderita itu sendiri dan bukan pada situasi eksternal yang menjadi sumber frustasi. Masalah yang dihadapi orang, menurut Vetter, hanya dapat diselesaikan dengan menerapkan secara sistematis metode sains yang berpusat pada masalah, bukan metode agama yang bersifat khayali. Proses sekularisasi  yang berlangsung secara bertahap, yang menyebabkan lebih banyak persoalan dipandang secara ilmiah dan tidak lagi secara religious, memberikan harapan kepada Vetter bahwa sejumlah sumber daya yang dihabiskan untuk agama perlahan-lahan akan direalokasikan pada penelitian ilmiah, termasuk penelitian tentang agama itu sendiri.
Walaupun prinsip behavioral, terutama seperti yang dikembangkan oleh Skinner, masih popular dikalangan psikolog klinis dan akademis, banyak orang melihat titik tekan yang berlebihan pada responds yang diperteguh secara individual itu terlalu fragmentalis dan mekanistis untuk menjelaskan perilaku kompleks seperti yang terdapat dalam wilayah agama. Teori belajar social pendekatan kognitif yang menggambarkan belajar observasional dan global memberikan alternative yang menjanjikan, terutama dalam menjelaskan penyampaian tradisi agama dari satu generasi ke generasi lainnya. Tetapi, diluar beberapa ilmuwan yang tekah menegaskan peranan peniruan dalam sinamika agama, belum ada penggunaan sistematis teori belajar social untuk memahami keimanan dan tradisi keagamaan.


v  SIGMUN FREUD : Agama sebagai Pemuasan Keinginan Kekanak-kanakkan
Jika Freud dan para pengikutnya berpandangan negative  terhadap agama dengan memandang agama tidak lebih dari sekadar kumpulan kecenderungan kekanak-kanakan atau neurotis, para pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif.
Menurut Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol : kepercayaan yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara menjelimet. Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang yang beragama untuk merasa berdosa dan takut akan hukuman tuhan. Dari situlah, Freud membandingkan unsure-unsur ini dengan gejola obsesif neurosis, yang ia pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi impuls yang tidak dapat diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan, berakar pada pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam situasi hidup lainnya sekali lagi membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra Tuhan sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yang disebut Freud, “merupakan akar setiap bentuk agama”, ditandai dengan kegamangan. Pasalnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahan penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang sudah lama hilang.
Karena itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti bahwa agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat. Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh hambatan-hambatan berfikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi yang ditimbulkan oleh ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi masyarakat yang memaksakan penekanan naluri melalui hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu, karena orang-orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan bukan karena pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma agama yang membenarkan larangan cultural ini akan memporak-porandakan masyarakat.Hanya dengan meninggalkan agam dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud, dan bertumpu pada sains dan akal, individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya. Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima banyak celah yang ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita tentang realitas, sambil dengan berani menghadapi situasi tak berdaya dan tak bermakna yang menjadi nasib kita semua. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas.


. Agama Pada Masa Pranatal dan Anak- Anak

            Ketika berada didalam kandungan bayi sudah bisa merespon sinyal-sinyal yang ada di luar. Apa yang didengar ataupun yang dirasakan oleh ibu dapat dirasakan oleh bayi tersebut.
            Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tunbuh.
            Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
          Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan.
            Orang bijak telah menunjukkan pada manusia berbagai macam benda yang akan menarik perhatiannya dan menjadi objek konsentrasinya untuk menenangkan fikirannya: karena dalam fikiran yang tenang, Tuhan akan menjelma.[2]

 B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak

            Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. walupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliiharaan yang mantap, lebih-lebih usia dini.
            Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak, antara lain:
1.Rasa ketergantungan (Sense of depand)
            Bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.Rasa keagamaan
            Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.

C.Tahap perrkembangan agama pada anak
            Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah, dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama(sesuai dengan ajarannya), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
            Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian
1.The Fairly Tale Stage (Tingkat dongeng)
            Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng.
          Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2.The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
          Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya)

3.The Individual Stage (Tingkat Individu)
            Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga bagian.
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat Personal.
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.[3]
           
            Dalam kehidupan seehari-hari, ternyata tidak semua anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang “miskin” kepribadiannya ataupun kehidupan sosialnya, merasa tidak bahagia dan mengalami kesukaran dalam mengatasi masalah yang timbul. Itu semua karena banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri.[4]
            Berkaitan dengan masalah ini. Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
 *Fase dalam kandungan
            Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terrjadinya perjanjian antara manusi dengan Tuhannya.
 * Fase bayi
          Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
 *Fase kanak-kanak
            Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya meniru.
 *Masa Anak Sekolah
            Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

D.Sifat agama pada anak.

            Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a.Unreflective (kurang menerima kritik)
            Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan derngan perkembangan moral.

b. Egosentris
             Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju padaorang lain yang bersifat etis.

c. Antromorphis
            Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan kongkret.

d. Verbalis dan Rituals
            Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

e.Imitatif
            Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan.
f. Rasa heran
            Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.

PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA
A. PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA
Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa dewasa, atau ada juga yang menyebutnya masa adolesen. Ketika mereka meginjak dewasa, pada umumnya mempunyai sikap: menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya menggariskan jalan hidupnya ,bertanggung jawab, menghimpun norma-norma sendiri.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yangdipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult). Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood). Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan social.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult). Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahanpenampilan.

B. CIRI KEBERAGAMAAN PADA MASA DEWASA
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagaman pada orang dewasa antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. menerima kebenaran agama berdasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersikap realis sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikapa dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajaridan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadapa materi ajran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajkaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan social sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social keagamaan sudah berkembang.
Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan.
Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh.
d. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
f. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).
Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Manusia usia lanjut dalam penelitian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak produktif lagi . Kondisi fisik rata-rata sudah menurun , sehingga dalam kondisi yang sudah uzur ini berbagai macam penyakit sudah siap untuk menggerogoti mereka . Dengan demikian di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka berada pada sisa umur menunggu datangnya kematian .
Menurut Lita L . Atkinson , sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif . Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi .
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya , arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar . Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi , maka pada peralihan ke usia tua ini , perhatian mereka lebih tertuju kepada upaya menemukan ketenangan batin .Sejalan dengan perubahan itun , maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akherat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh pengaruh psikologis . Di satu  pihak kemampuan fisik pada usia tersebut sedah mengalami penurunan .Sebaliknya di pihak lain , memiliki khasanah pengalaman yang kaya . Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah tidak lagi memperoleh perhatian  , Karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah . Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan batin .
Apabila gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi , maka  muncul gangguan kejiwaan seperti stress , putus asa , ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti ini , umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat . Sebab melalui ajaran pengamalan agama , manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung


[1] Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama. Hlm, 152-174
[2] Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama, (Yogyakarta: Putra Langit, 2003) hal. 96
[3] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005) hal. 67
[4] D Gunarta Singgih, dkk,  Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1986) hal. 94-95 

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............