A.
Mengapa psikologi mendekati agama ?
- Penelitian agama dan kesehatan
mental
Salah
satu sebab mengapa psikologi menjauhi agama ialah kenyataan bahwa selama lebih
dari 70 tahun dan sampai sekarang di kalangan “mainsream” psikologi dan
psikiatri agama dianggap sebagai hal yang tidak sehat secara fisik maupun
mental. Belakangan ini, Bergin (1983) melakukan metanalisis pada hasil-hasil
penelitian tentang agama dan kesehatan mental. Ia menyimpulkan bahwa “jika
religiusitas dikorelasikan dengan ukuran kesehatan mental, dari 30 efek yang
ditemukan, hanya tujuh orang atau 23 orang menunjukkan antara hubungan negatif
antara agama dan kesehatan mental, seperti dinyatakan oleh Elis dan yang
lain-lain. Sebanyak 47 % menunjukkan hubungan positif, dan 30 % hubungan zero.
Jadi, 77 % dari hasil penenlitian bertentangan dengan teori negatif agama.” Secara singkat, Koenig (1999)
melaporkakn dalam bukunya, The Healing Power of Faith bahwa keluarga yang
relligius umumnya (1) punya keluarga yang blebih bahagia, (2) punya gaya hidup
yang le4bih sehat, (3) dapat mengatasi stres, (4) melindungi dari dan
menyembuhkan depresi, (5) hidup lebih lama dan lebih sehat, (6) terlindungi
dari penyakit kardiofaskular, (7) punya sistem imun yang lebih kuat, dan (
8) lebuh sedikit menggunakan jasa rumah sakit.
8) lebuh sedikit menggunakan jasa rumah sakit.
Jika
agama terbukti menyehatkan secara fisik dan mental, psikoteraqtis yang
mengabaikan agama akan kehilangan sumberdaya yang utama. Selain itu, khusus
unuk kesehatan mental, yang menjadi perhatian para psikolog dan psikoterapis,
agama perlu dipertimbangkan dan dipelajari karena lima alasan yang dikemukakan
koenig (1998) : (1) Dengan mengetahui latar belakang dan pengalaman keagamaan
pasien, terapis akan lebih memahami konflik yang terjadi pada diri pasien. (2)
Dengan mengetahui latar belakang keagamaan pasien dan peranan yang dimainkannya
pada kehidupannya sekarang, terapis akan dapat melakukan intervensi kognitif
dan behavioral dengan cara-cara yang dapat diterima oleh sistem kepercayaan
pasien. (3) Pengetahuan tentang komitmen, perilaku, dan kepercayaan agama pasien
akan membantu teris uintuk mengidentifikasi sumberdaya agana yang sehat, yang
bisa dipercaya untuk melengkapi terapi tradisional. (4) Pengalaman agama yang
negatif sebelumnya, dapat merintangi pasien untuk menggunakan swumberdaya
imannya dalam mengatasi persoalan hidupnya sekarang. Mempelajari dan membantu
pasien mengelola pengalaman negatifnya itu dapat membabaskan dia untuk sekali
lagi menggunakan sumberdaya agamanaya. (5) Menyentuh masalah keagamaan akan
menyampaikan kepada pasien kesan bahwa terapis tidak hanya lengkap dan
menyeluruh dalampenilaian diagnostiknya, tetapi juga ia peka kepada wilayah kehidupan
pasien yang sangat bermakna bagi orang yang bersangkutan.
b.
Perubahan Paradigma Sains
Pada
akhir abad ke 19, pandangan dunia Newtonian digantikan perlahan-lahan oleh
pandangan dunia Einsteinian. Asumsi Ontologis bahwa ada realitas tunggal diluar
kita yang bisa kita amati secara objektif, ditumbngkan dengan
pengetahuan-pengetahuan baru dalam mekanikal kuantum. Realitas dapat dilihat
sebagai fungsi gelombang yang tidak dapat direailisasikan sebelum seorang
pengamat “Pops The Qwiff” (Wolf, 1931). Qwiff adalah Quantum Wafe Fuction,
fungsi gelombang kuantum. “Sebelum dimunculkan“ fungsi gelombang kuantum hanya
memiliki realitas probabistik. Wolf menjelaskan realitas kontruksi kita itu
ketika ia membahas kucing schodinger:
Apa
yang kita maksud ketika kita berbicara tentang realitas ? Biasanya yang kita
maksud adalah dunia yang kita indra. Duniayang ada di luar sana yang terdiri
dari apapun yang dapat kita lihat, kita dengar, kecap, cium, dan sentuh- objek
yang bersifat kebendaan yang dalam kehidupan sehari-sehari kita. Kita percaya
begitu saja bahwa objek-objek ini akan ada dalam bentuk yang sama seperti yang
kita indra. Walaupun kita tidak berada disana untuk mengamatinya,pengamatan
kita hanyalah membenarkan realitas yang sudah ada.
Tetapi,
bukan itu yang diceritakan kepada kita oleh mekanika kuantum. Ia menunjukkan
perpindahan drastis dari apa yang kita sebut sebagai warisan mekanika klasik.
Sudah pasti inilah posisi yang kemudian dikenal sebagai posisi Kopenhagen atau
Bohr Complementarete Principal. Tidak ada realitas sampai realitas itu kita
persepsi. Akibatnya, persepsi kita tentang realitas akan tampak kontradiktif, dualistik,
dan paradoksikal.
Apakah
cahaya itu gelombang atau partikel bergantung pada teori dan alat ukur yang
digunakan oleh para peneliti. Apakah para pemerintah Indonesia sekarang
memperhatikan rakyat atau tidak bergantung pada siapa yang anda tanya. Semua
realitas bergantung kepada siapa yang mengkonstruksinya. Kita tidak saja
mengamati, tetapai juga menciptakan realitas. Zukav ketika membahas implikasi
metafisis dari fisika baru dalam The Dancing Wu Li Master (1979:28),
menjelaskan mekanika kuantum sebagai berikut: Berbeda dengan fisika Newtonian,
mekanika kuantum mengajarkan kepada kita bahwa pengetahuan kita tentang apa
yang mengatur tingkat Sub-Atomis tidaklah perlu yang kita duga. Kita tidak
dapat meramalkan Sub-Atomis dengan kepastian. Kita hanya dapat meramalkan
kemungkinan.
Tetapi
secara filosofis, implikasi mekanika kuantum sangat Psychedelic. Tidak saja
kita mempengaruhi realitas, tetapi sampai tingkat tertentu, kita betul-betul
menciptakannya. Karena kita dapat mengetahui momenntum partikel atau posisinya, tetapi tidak tahu
kedua-duannya, kita harus memilih, mana diantara kedua sifat itu yang ingin
kita teliti. Secara metafisik, ini hampir saja berarti bahwa kita menciptakan
sifat-sifat tertentu karena kita memilih untuk mengukur sift-sifat ini.
- Penelitian Neorologi dan
Kesadaran
Karena
pandangan reduksionistik dan naturalistik dari sains modern, hingga abad ke-20
penelitian psikologis tentang kesadaran manusia sangat diabaikan. Penampakan
dari dimensi spiritual hanya dianggap sebagai hasil mekanisme otak saja. Kini,
penelitian neorologis mengungkapkan bahwa kesadaran akan tuhan punya dasar
dalam strukrur otak kita. Kita sudah dihubungkan secara Biologis, “Wired”,
dengan tuhan.
Menurut
pemikiran para psikolg konvensional, agama dihasilkan oleh proses
berfikir-proses kognitif-yang didasarkan pada logika keliru dan deduksi yang
salah. Kita takut menghadapi alam yang buas. Kita memikirkan tuhan sebagai
pelindung kita yang maha perkasa. Neorolog Newberg (Newberg, et al,2001)
melaporkan penelitian neurologis dalam bukunya yang berjudul argumentatif Why
God Won’t Go Away:
Penelitiian
neurologis menunjukkan bahwa tuhan bukanlah produk proses deduktif kognitif,
melainkan “ditemukan” dalam pertemuan mistikal atau spiritual yang diketahui
oleh kesadaran manusia melalui mekanisme pikiran dan transenden. Dengan kata
lain, mamnusia tidak secara kognitif menciptakan Tuhan yang maha kuasa dan kemudia
bergantung pada penemuannya ini untuk memperoleh perasaan bahwa dia
mengendalikan situasi Tuhan, dengan definisi istilah itu, adalah yang paling
luas dan paling pokok dialami dalam spiritualitas mistikal.
Pernah
diumamkan bahwa Tuhan telah mati dan bahwa spiritualitas adalah candu bagi
rakyat. Tetapi, sekarang sudah ditemukan dasar ilmiah, neurologis dan genetis
untuk kepercayaan agama, spiritualitas, dan gejala paranormal, termasuk
pengalaman tentang dewa, setan, arwah, nyawa, dan kehidupan setelah kematian.
Ada bagian tertentu dari otak yang sangat efektif ketika bermimpi selama dalam
keadaan trans (trance), meditasi, sembahyang atau karena pengaruh LSD, dan yang
memungkinkan kita untuk mengalami wilayah brelitas yang biasanya disaring dari
kesadaran, termasuk realitas Tuhan, arwah, jiwa, dan kehidupan setelah
kematian.
Selama
ribuan tahun orang tahu bahwa dalam keadaan tidur dan trans, terisolasi, dan
karen akelaparan dan kehausan manusia sanggup mengalami wilayah realitas yang
biasanya disaring dari permukaan kesadaran. Pada kiondisi seperti ini, berbagai
bagian dari sistem neokorteks dan sistem limbik akan menjadi sangat aktif
bahkan hiperaktif, sehingga apa yang biasanya disaring itu sekarang dapat
dipersepsi. Dalam kondisi ini, ada yang mengaku berbicara dengan Tuhan atau
berusaha untuk mencari Tuhan untuk menyatu dengan zat spiritual yang Agung. Struktur
sistem limbik seperti amigdala, hypocampus dan inverior temporaloble telah
berulang-ulang ditemukan memberikan dasar bagi pengalaman agama, spiriyual, dan
mistikal, serta persepsi, “halusinasi” tentang hantu, setan, arwah, dan
kepercayaan dihuni oleh ruh atau malaikat (Bear, 1979; Dali, 1958; Joseph 1996;
Meisulam, 1981; Penfield dan Perrot 1963; Schenk dan Bear, 1981; William, 1986).
Ketika wilayah otak ini dihiperaktifkan, tidak jarang terjadi pengalaman
“religius”. Tentu saja ada sebagian orang yang mengatakan bahwa pengalaman ini
hanyalah sekedar halusinasi yang dihasillkan oleh otak yang abnormal. Ini benar
beberapa kasus. Bukannya karena abnormalitas, pengalaman religius dan pencarian
gizi spiritual adlah kejadian umum dan bukan kekecualian. Kemunculan emosi
spiritual dan keberagamaan yang alamiah ini dapat menjelaskan mengapa walaupun
diteror dan ditindas selama puluhan tahun, negara-negara totaliter seperti Cina
Komunis, Kuba dan bekas Uni Soviet tidak mampu dan belum pernah mampu menghancurkan ungkapan agam dan
spiritual di negeri mereka.
Kepercayaan
kepada ruh, arwah rumah yang dihuni malaikat atau setan, dan kemampuan untuk
meperoleh pengalaman mistikal, termasuk perasaan dimasuki dewa atau setan atau
mendengar suara, dikenal diseluruh dunia. Manusia sudah menunjukkan kepercayaan
kepada dunia spiritual selama lebih dari 100.000 tahun (Joseph, 1996, 2000a).
Simaklah
misalnya penemuan mutakhir dari Profesor Ray Noris dan rekan-rekannya
berdasarkan teleskop Australi CSIRO dan Hubble Space Telescobe, mereka
mendeteksi bintang yang sangat jauh, yang sebelumnya tidak terdeteksi. Menurut
para astronom, data baru ini menghasilkan taksiran usia alam semesta jauh lebih
awal lagi walaupun seberapa jauhnya tidak seorang pun yang tahu, karena
teleskop modern yang ada belum mampu mengumpulkan cahaya dari alam semesta dini
(Norris et al, 2001).
Jika
usia dan kethuaan alam semesta itu tidak diketahui, dan jika teori Big Bang
tidak didukung oleh bukti ilmiah, maka menjadi mustahil untuk mengesampingkan
adanya “Tuhan yang abadi”.Begitu pula jika usia kehidupan dan setiap malekul
DNA serta gudang informasi genetik di dalamnya mungkin punya asal usul yang
luar biasa tuannya. Pandangan ini sesuai dengan kepercayaan bahwa kehidupan
pertama kali dibentuk oleh “tangan tuhan”.
B.
Agama
dalam Pandangan James dan Jung
a.
William James
Ø Agama sebagai
jalan meuju keunggulan manusia
William
James boleh disebut sebagai bapak psikologi agama. James berpendapat bahwa
agama mempunyai peranan sebtral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan
beragama pada manusia paling tidak sama menariknya dengan dorongan-doirongan
lalinnya. Pada awal kuliahnya tentang pengalaman religius James menolak setiap
penjelasan agama yang ia sebut sebagai “Materialisme Medis”. Para ilmuan dengan
pongah menerangkan bahwa pengalaman hidup kita yang lebih tinggi itu adalah
pengalaman “hanya sekedar”. Agama hanya sekedar proyeksi dan ketakutan masa kecil.
Karena
itu, james menolak mencari asala-usul agama yang patologis dan memusatkan
perhatian kepada ungkapan keberagamaan agama dalam berbagai ragamnya. Kita
harus menilai agama bukan dari asal-usulnya melainkan dari hasilnya dalalm
kehidupan orang-orang menjkalankakn agamanya secara mendalam. Dalam mengutip
al-kitab, James merumuskan kriteria untuk menilai agama: “dari buahnya, kamu
akan kenal mereka, bukan dari akarnya”.
Dalam
kuliah ketiga, James menandai sikap beragama sebagai kebudayaan akan adanya
kehidupan tak terlihat dan keinginan kita untuk hidup serasi dengan ketertiban
ini. Agama menggaiirahkan semangat hidup, meluaskan kepribadian, memperbaharui
gaya hidup dan memberikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa
dalam kehidupan. Orang yang beragama akank mencapai perasaan tenteram dan
damai. Cinta mendasari seluruh hubungan interpersonalnya. Tanpa mengabaikan
rasa takut atau rasa sedih dalam kehidupan beragama, James lebih banyak melihat
agama sebagai sumber kebahagiaan.
Kebahagiaan
agama menurut James, ditandai dengan hilangnya upaya untuk melarikan diri.
Sikap agama selalu mengandung pengorbanan. Pada akhirnya, kebergantungan pada
alam semesta bersifat mutlak. Manusia tidak punya pilihan kecuali berkorban dan
pasrah dengan cara apapun. Anjuran positif untuk berserah diri dan berkorban
tampak terjadi pada kehidupan beragama sehingga “mempermudah dan meringankan
apa saja yang niscaya terjadi.”
Menurut
James, perdebatan antara sains dan agama itu sia-sia, dan kesia-sian ini
tersebar secara merata. “persetan dengan yang mutlak!” Ia sering mengutuk dalam
kuliahnya. Materialisme ilmiah tak berhak untuk mengklai kebenaran mutlak,
karena ketika ia meneliti dunia dengan metode yang seharusnya objektif, Ia
melupakan fakta bahwa penelitian itu dilakukan oleh entitas yang sungguh
subjektif oleh seorang manusia.
- C.G Jung
Ø Agama sebagai
jalan menuju keutuhan
Jung
mendefinisinakan agama sebagai keterkaitan antara proses psikis tak sadar yang
punya kehidupan tersendiri. Agama, menurut Jung, adalah “ketergantungan dan
kepasrahan kepada fakta pengalaman yang erasional. Agama adalah “pertimbangan
dan pengamatan yang cermat” pada “faktor dinamis”, yang adalah “kekuasaan”, pada
tenaga-tenaga tak sadar, dan pada simbol-simbol yang mengungkakan kehidupan
tenag-tenaga ini; pada yang batiniah, yakni “gerakan dinamis” diluar kesadaran
diubah karena berhubungan dengan yang batiniah. Sejak pencerahan agama telah
dikonstruksi secra rasionla sebagai sistem filsafat yang “dicetak” dalam otak.
Orang beranggapan bahwa pernah ada seseorang menciptakan Tuhan dan berbagai
dokma agama. Karena dia memiliki kekuasaan mempengaruhi yang sangat besar, yang
meyakinkan orang-orang disekitar dia tentang citra realitas yang memuaskan
keinginan. Jung manantang pandangan ini denmgan berdalih bahwa bukanlah kepala
yang menciptakan simbol-simbol agama melainkan hati, daerah tak sadar psyche
karena itulah mengapa simbol-simbol ini, yang seluruhnya misteri bagi
kesadaran, datang kepada kita sebagai “wahyu” atau revelation.
Khutbah
Teologis kata Jung adalah metologem serangkaian citra arketipal yang memberikan
“gambaran yang agak tepat tentang transendensi yang tak terbayangkan” Jung
berkata bahwa setiap ajaran agama muncul pada satu sisi, atas dasar pengalaman
yang batiniah dan poada sisi yang lain atas dasar kepercayaan pada pengalaman
itu dan perubahan yang dirimbulkannya dalam kesadaran.
PSIKOLOGI
KONTRA AGAMA
A.
Pengertian Psikologi
Psikologi
biasanya kita kenal dengan istilah penyuluhan, yang secara awam dimaknakan
sebagai pemberian penerangan, informasi, atau nasihat kepada pihak lain.
Istilah penyuluhan sebagai padanan kata psikologi bisa diterima secara luas,
tetapi dalam pembahasan ini, psikologi tidak dimaksudkan dalam pengertian tadi.
Psikologi sebagai cabang ilmu dan praktik pemberian bantuan kepada individu
pada dasarnya memiliki pengertian yang spesifik sejalan dengan konsep yang
dikembangkan dalam lingkup ilmu dan profesinya.
Diantara
berbagai disiplin ilmu, yang memiliki kedekatan hubungan dengan psikologi
adalah konseling. Bahkan secara khusus dapat dikatakan bahwa konseling
merupakan aplikasi dari psikologi terutama jika dilihat dari tujuan, teori yang
digunakan, dan proses penyelenggarannya. Oleh karena itu, telaah mengenai
konseling dapat pula disebut sebagai psikologi konseling (conseling
psychology).
B.
Pengertian Agama
Agama,
seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu system
tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktik-praktik yang kita alami,
pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari
sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi
urusan terakhir baginya. Artinya, bagi kebanyakan orang, agama merupakan
jawaban terhadap kehausannya dalam kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat
mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari
sudut pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan oranglain, mencapai komitmen yang ia pegang
bersama dengan oranglain dan berusaha untuk bergabung dengan oranglain dalam ketaatan yang umum
terhadapnya. Bagi kebanyakan orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah
hidupnya.
C.
Psikologi Versus Agama[1]
Kita
mengetahui bagaimana psikologi lahir dari agama dan tumbuh besar bersama agama.
Di tengah perjalanan , karena pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri
dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan
kearah integrasi, di
dunia akademis pandangan yang dominan setidak-tidaknya
menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang eksterm, psikologi menuduh
agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan
tindakan kekerasan. Pada gilirannya, kaum agamawan atau psikolog yang beragama
mendakwa psikologi sebagai arogan, elitis, amorral, dan memberhalakan diri.
Mengapa dua disiplin yang menaruh perhatian yang sama bisa bermusuhan?
Pertama, dalam perjalanan sejarah, keduanya telah menjadi
pesaing satu sama lain. Dahulu, menurut Peter Berger (1967), agama memberikan
makna baku kepada manusia ketika memandang alam dan kehidupan. Agama menjawab
masalah kematian, penderitaan, dan bencana. Dalam periode beberapa abad belakangan ini, posisi agama disisihkan
oleh sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula-mula dalam menjelaskan alam dan
akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu
pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk
menghayati pengalaman subyektif manusia.
1.
Pandangan
Psikologi Yang Negatif Terhadap Agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah
paham dominan di kalangan psikologi yang melecehkan agama. Freud menyebut agama
sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan
kanak-kanak, dan pada waktu yang lain sebagai ilusi. Freud mengilhami
kebanyakan psikolog. Meninggalkan agama menjadi karakter intelektual.
Menganggap agama sebagai patologi, gangguan kejiwaan, menjadi sikap ilmiah.
Ellis, tokoh terapi kognitif behavioral, menulis dalam Journal of Conseling and Clinical Psychology, terbitan 1980 :
“ Agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat (atau yang mungkin kita sebut
sebagai kesalehan) berkolerasi sangat signifikan dengan gangguan emosional.
Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian,
keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang secara dogmatis
mempercayai agama tertentu mempercayai hal-hal absolut yang merusak kesehatan
ini. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan
bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religius cenderung kaku,
tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah. Karena itu, kesalehan dalam
berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.
2.
Pandangan Agama
Yang Negatif Terhadap Psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang
keras dari pihak agama. William Kilpatrick menyesalkan agamawan yang
mencampurkan psikologi dengan agama. Ia menulis buku dengan judul yang
menegaskan posisi psikologi dikalangan kaum beriman, Psychologycal Seduction, Godaan Psikologi. Pada salah satu
artikelnya yang berjudul “First Things :
Faith and Terapy” (Kilpatrick, 1999), Profesor ilmu pendidikan di Boston College ini menulis : “Penting diingat oleh orang-orang yang beriman bahwa tidak
ada kompromi antara agama kristen dan kelompok psikologi”.
Satu-satunya cara
yang paling perkasa untuk menyibakkan kabut ini adalah cahaya wahyu. Wahyu
mengingatkan kita bahwa kesehatan fisik dan emosional bukanlah segala-galanya.
Al-kitab mengajari kita bahwa jika tangan kita berbuat dosa, kita harus
memotongnya. Lebih baik memasuki kehidupan dengan tangan yang buntung ketimbang
membawa dua tangan ke neraka. Begitu pula lebih baik memasuki kerajaan surga
dengan psyche yang mengalami represi ketimbang memasuki tempat lain dengan
dipenuhi penonjolan diri
(self-assertiveness). Tidak akan ada penghibur puncak dalam
teori-teori para psikolog. Psikolog sangat sedikit berbicara tentang kebanyakan
manusia yang menderita di dunia ini. Ia sama sekali tidak berbicara tentang
kenyataan bahwa kita semua akan mati.
3.
Keyakinan agama para psikolog
Sejalan
dengan perkembangan sains dan teknologi, skularisasi perlahan-lahan menyeret
agama kepinggiran kehidupan. Di Barat, eropa lebih cepat skuler ketimbang
Eropa, pada kebanyakan Eropa, frekuensi pergi ke Gereja dan terlibat dalam
kegiatan agama menurun sekali pada setengah abad terakhir ini dan paling rendah
sekarang ini. Gereja-gereja Kristen hampir kosong di Eropa utara, ‘kata Hoge
(1997:23). Di Amerika, Gallup Poll, 1993, skularisasi ini tampaknya tidak
banyak mengalami kemajuan. Dari tahun ketahun, dikalangan orang banyak, keterlibatan
dalam kegiatan agama tidak berkurang; dalam beberapa aspek keagamaan, bahkan
bertambah. Sebanyak 63% responden berpendapat bahwa “agama dapat menjawab semua
atau kebanyakan problem masa kini (Smith, 1992 ; 367): 57% berdoa
sekurang-kurangnya sekali sehari (Hastings & Hastings, 1994 :445). Mereka
juga ternyata menaruh kepercayaan kepada lembaga-lembaga agama: karena
kepercayaan pada lembaga agama menempati urutan kedua setelah institusi militer
(Hastings &Hastings, `1994 : 313).
Lalu,
dimana jejak sekularisasi kita temukan? Tampaknya sekularisasi paling jelas
menunjukkan dampaknya di kalangan academia. Gallup Poll, 1993, melaporkan bahwa
lulusan perguruan tinggi menganggap agama kurang penting dibandingkan dengan
orang yang tidak masuk perguruan tinggi. Dalam tinjauan literature yang
dilakukan oleh Beit Hallahmi (1977), disimpulkan bahwa para ilmuan dan
akademisi kurang beragama dibandingkan dengan penduduk lainnya. Pada survey
yang lebih belakangan ditemukan bahwa 30% diantara para dosen menyatakan tidak
menganut agama apapun, dibandingkan dengan 5% dari seluruh penduduk (Gallup,
Jr. 1994: 72). Diantara para ilmuan para psikolog menyatakan agama kurang
penting dibandingkan dengan penduduk lainnya. Jika kita membandingkan
penelitian ini dengan study yang dilakukan Leuba, salah seorang perintis
psikologi agama, kita menemukan bahwa profil para ilmuan itu tidak mengalami
perubahan.. Dalam kesimpulan umumnya, Leuba menunjukkan bahwa makin terkemuka
seorang ilmuan, makin rendah keberagamaannya. Ia juga menemukan, bahwa
psikologi paling kecil kemungkinannya untuk “Percaya kepada Tuhan yang menjawab
do’a”.
4.
Agama Menurut para Psikolog Sekuler
v JAMES LEUBA : Agama sebagai Irasionalitas dan Patologi
Psikologi
yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga yang paling informative dan
persuasive adalah Leuba.Secara langsung, ia mengumpulkan bukti untuk
menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
pokok psikologi dan fisiologi. Misalnya, ia menunjukkan secara eksperimental
bahwa ia dapat menimbulkan perasaan kehadiran sesuatu yang samar-samar dan
tidak terlihat pada subjek penelitiannya dengan mengarahkan mereka untuk
mengharapkan pengalaman seperti itu. Menurut Leuba, reaksi yang terjadi sama
seperti pengalaman sehari-hari ketika kita merasakan kehadiran orang lain.
Leuba juga menjelaskan fenomena mistikal yang lebih dramatis melalui penjelasan
tentang proses patologis, termasuk epilepsy, hysteria, neurasteria, dan
intoksikasi narkotis.
Ia
menyimpulkan bahwa pernyataan kaum mistikus setelah pengalaman keagamaan
seperti itu bersifat naïf dan khayali. Setelah itu, Leuba menunjukkan banyak
ajaran agama yang bermutu rendah dan tidak masuk akal. Ia juga menunjukkan
bahwa pandangan keagamaan yang konservatif ini menghambat perkembangan
pengetahuan ilmiah. Dalam upayanya untuk menunjukkan irasionalitas kepercayaan
agama yang konvensional, melalui kuesioner Leuba mengumpulkan data yang
menunjukkan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih kecil
kemungkinannya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan
mereka yang terkemuka.Di samping keterkenalan para ilmuwan yang paling kecil
kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling
menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Diantara semua
ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat
kepercayaan yang paling rendah (Leuba, 1950).
Walaupun
sangat keras mengkritik agama, Leuba sebenarnya bermaksud untuk memperbarui dan
bukan menghancurkan agama. Sebagaiman ia sangat kritis terhadap agama
tradisional, ia juga kritis terhadap sains yang materialistic. Leuba juga
mengemukakan teori tentang “dorongan spiritual inteligen” menuju kesempurnaan
moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya sebagai karakteristik asasi tabiat
manusia. Untuk mengembangkan daya spiritual yang ilmiah ini, Leuba menyarankan
dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah,
pengakuan, dan kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan dengan
bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi
menyembah Tuhan social, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari
nilai-nilai hakiki termasuk wawasan batiniah, kedamaian dan energy moral dari
tradisi teistiknya.
v SKINNER : Agama sebagai Perilaku yang Diperteguh
Jika
pandangan Leuba tentang sains masih mepertahankan adanya dorongan spiritual,
pandangan kaum yang behavioris yang keras mendorong mereka untuk mereduksi
agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Contoh aliran
ini adalah Skinner (1953) yang mempertahankan bahwa, seperti semua perilaku
lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena didikuti stimuli yang
memperteguh. Dalam banyak hal, peneguhan ini secara aktif dilakukan oleh tokoh agama
dan pengendali lain yang berkuasa. Kepercayaan dan aturan agama menghimpun
akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh agen-agen pengendali untuk
kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk keuntungan institusi agama dan
tatanan social yang lebih besar. Perilaku agama yang tidak dapat dipahami dalam
kerangka diatas dapat dijelaskan sebagai produk peneguhan yang tidak
direncanakan atau tidak sengaja. Seperti merpati yang terus menerus melakukan
perilaku “takhayul” dan tidak fungsional sebagai respons sebagai peneguhan
acak, manusia akan berpegang teguh pada pelaksanaan ritus-ritus yang ganjil
jika perilaku ini diikuti secara kebetulan oleh stimulus yang memperteguh.
v GEORGE VETTER : Agama sebagai Respon pada Situasi Tak
Terduga
Menurut
Vetter, agama tidak punya nilai untuk memberikan keselamatan. Ia menulis secara
khusus sebuah bukju untuk menganalisis agama secara behavioral dengan semangat
yang lebih menggebu-gebu ketimbang Leuba dan Skinner. Vetter menjabarkan
berbagai alas an untuk penilainnya yang negative terhadap agama : konsepsi naïf
tentang tuhan yang bersifat antropomorfis ; peperangan dan kebiadapan lainnya
yang dilakukan atas nama agama sepanjang sejarah ; keterbelakngan pengetahuan
para tokoh agama berkenaan dengan masalah-masalah social ; kegagalan iman
keagamaan dalam menunjukkan hubungan empiris yang konsisten dengan prilaku
moral (kadang-kadang keimanan secara positif mendorong orang untuk berbuat baik
dan memberikan pertolongan, tetapi juga secara negative mendorong orang untuk
melkukan penghianatan) ; korelasi institusi agama dalam bidang social politik
dan penghamburan kekayaan sumber daya termasuk uang, waktu dan tenaga manusia
yang dilakukan oleh institusi agama.
Jika
agama hanya memperbaiki kehidupan para penguasa agama, seperti dinyatakan
Vetter, lalu bagaimana para peneliti menjelaskan kebangkitan dan bertahannya
kepercayaan dan praktik keagamaan ditengah-tengah masyarakat? Vetter merujuk
pada teori Skinner tentang perilaku “takhayul” yang dilakukan oleh merpati yang
diperteguh secara acak, dan laporan Maier tentang perilaku yang bersifat
stereotipikal dan nonfungsional yang dilakukan tikus ketika dipaksa utnuk
membuat diskriminasi yang mustahil. Dari situ, Vetter berpendapat bahwa
perilaku agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak
terduga dan tidak terkendali. Ada dua factor utama yang menentukan apakah
perilaku itu akan terjadi. Pertama, perilaku yang bermanfaat pada situasi
terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk-bentuk ritual pada situasi yang sama
dikemudian hari.Dengan cara begitu, kata Vetter, dalam situasi terdesak Tuhan
sering disapa sebagai orang tua.Kedua, menurut teori belajar Guthrie
(Contiguity theory of learning), perilaku cenderung dijalankan jika perilaku
itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku
itu setidak-tidaknya sedang berlangsung
ketika sesuatu yang lain mengubah situasi ; karena dalam kedua keadaan itu
perilaku itu dipertahankan serbagai tindakan terakhir yang berkaitan dengan
kompleks stimulus tersebut. Vetter mengidentifikasi dua kelompok agama yang
memenuhi criteria ini : (a) “Perilaku entreaty” seperti doa atau meditasi yang
dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan ketenangan
yang diperlukan untuk tindakan praktis yang simultan, dan (b)”Perilaku orgy”
seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga stress
emosionalnya berangsur-angsur hilang dengan sendirinya.
Tetapi,
betapapun efektifnya perilaku tersebut dalam jangka pendek, Vetter sangat
menentangnya karena perilaku-perilaku itu diarahkan, seperti candu, kepada
penderita itu sendiri dan bukan pada situasi eksternal yang menjadi sumber
frustasi. Masalah yang dihadapi orang, menurut Vetter, hanya dapat diselesaikan
dengan menerapkan secara sistematis metode sains yang berpusat pada masalah,
bukan metode agama yang bersifat khayali. Proses sekularisasi yang berlangsung secara bertahap, yang
menyebabkan lebih banyak persoalan dipandang secara ilmiah dan tidak lagi
secara religious, memberikan harapan kepada Vetter bahwa sejumlah sumber daya
yang dihabiskan untuk agama perlahan-lahan akan direalokasikan pada penelitian
ilmiah, termasuk penelitian tentang agama itu sendiri.
Walaupun
prinsip behavioral, terutama seperti yang dikembangkan oleh Skinner, masih
popular dikalangan psikolog klinis dan akademis, banyak orang melihat titik
tekan yang berlebihan pada responds yang diperteguh secara individual itu
terlalu fragmentalis dan mekanistis untuk menjelaskan perilaku kompleks seperti
yang terdapat dalam wilayah agama. Teori belajar social pendekatan kognitif
yang menggambarkan belajar observasional dan global memberikan alternative yang
menjanjikan, terutama dalam menjelaskan penyampaian tradisi agama dari satu
generasi ke generasi lainnya. Tetapi, diluar beberapa ilmuwan yang tekah
menegaskan peranan peniruan dalam sinamika agama, belum ada penggunaan
sistematis teori belajar social untuk memahami keimanan dan tradisi keagamaan.
v SIGMUN FREUD : Agama sebagai Pemuasan Keinginan
Kekanak-kanakkan
Jika
Freud dan para pengikutnya berpandangan negative terhadap agama dengan memandang agama tidak
lebih dari sekadar kumpulan kecenderungan kekanak-kanakan atau neurotis, para
pendukung psikoanalisis yang direvisi melihat agama lebih positif.
Menurut
Freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol : kepercayaan yang kuat
terhadap Tuhan dalam sosok Bapak dan ritus-ritus wajib yang dijalankan secara
menjelimet. Freud memperhatikan adanya sifat-sifat ritual yang tampaknya
kompulsif, aura kesucian yang meliputi ide-ide agama, dan kecenderungan orang
yang beragama untuk merasa berdosa dan takut akan hukuman tuhan. Dari situlah,
Freud membandingkan unsure-unsur ini dengan gejola obsesif neurosis, yang ia
pandang sebagai mekanisme pertahanan dalam menghadapi impuls yang tidak dapat
diterima. Kepercayaan dan praktik keagamaan, Freud menyimpulkan, berakar pada
pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak menganggap orangtua,
terutama bapak, sebagai oaring yang mahatahu dan maha kuasa. Pemeliharaan yang
penuh perlindungan dan kasihsayang dyang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti
itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surge
buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam situasi hidup
lainnya sekali lagi membangkitkan perasaan tidak berdaya, kerinduan individu
akan seorang bapak yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan
citra Tuhan sebagai Bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada
bapak, yang disebut Freud, “merupakan akar setiap bentuk agama”, ditandai
dengan kegamangan. Pasalnya, sebagai akibat cengkeraman kompleks Oedipus, ayah
juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasa bersalah. Kepasrahan penuh
kepada Tuhan sebagai proyeksi ayah pada akhirnya memulihkan kembali hubungan
yang sudah lama hilang.
Karena
itu, agama adalah ilusi, kata Freud ini berarti bahwa agama adalah hasil
pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu,
agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat.
Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk
berfikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh
hambatan-hambatan berfikir dan akan mengendalikan impulsnya melalui represi
yang ditimbulkan oleh ketakutan. Kekakuan yang sama akan muncul dari aura
kesucian yang berada disekitar hukum-hukum dan institusi masyarakat yang
memaksakan penekanan naluri melalui hukuman dan ganjaran agama. Lebih dari itu,
karena orang-orang meninggalkan keinginan naluriahnya, karena ketakutan bukan karena
pemikiran, runtuhnya kepercayaan pada dogma agama yang membenarkan larangan
cultural ini akan memporak-porandakan masyarakat.Hanya dengan meninggalkan agam
dan ajaranya yang dogmatis, kata Freud, dan bertumpu pada sains dan akal,
individu dan masyarakat akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya.
Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima banyak celah yang
ditinggalkan sains dalam pengetahuan kita tentang realitas, sambil dengan
berani menghadapi situasi tak berdaya dan tak bermakna yang menjadi nasib kita
semua. Begitu kedewasaan ini dicapai secara meluas, kata Freud, peradaban
takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas.
. Agama Pada Masa Pranatal dan Anak-
Anak
Ketika berada didalam kandungan bayi sudah bisa merespon sinyal-sinyal yang ada di luar. Apa yang didengar ataupun yang dirasakan oleh ibu dapat dirasakan oleh bayi tersebut.
Anak mengenal Tuhan pertama kali
melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada
awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama
sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak
adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum
mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang
menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi
orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu
yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata Tuhan
itu tunbuh.
Perasaan si anak terhadap orang
tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam
emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur
dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan
fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek
yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan
bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia
7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha
menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan. Sedang gambaran
mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus
tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi
didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak
mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan.
Orang bijak telah menunjukkan pada
manusia berbagai macam benda yang akan menarik perhatiannya dan menjadi objek
konsentrasinya untuk menenangkan fikirannya: karena dalam fikiran yang tenang,
Tuhan akan menjelma.[2]
B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. walupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliiharaan yang mantap, lebih-lebih usia dini.
Menurut beberapa ahli anak
dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Selain itu ada pula yang
berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah
keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan
dan latihan setelah ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada
dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi
kejiwaan lainnya. Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak,
antara lain:
1.Rasa
ketergantungan (Sense of depand)
Bayi sejak dilahirkan hidup dalam
ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan
itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2.Rasa
keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah memiliki
beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya keagamaan
pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan
berfungsinya instink itu belum sempurna.
C.Tahap perrkembangan agama pada anak
Perkembangan agama pada masa anak,
terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah, dan
dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat
agama(sesuai dengan ajarannya), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap,
tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran
agama.
Sejalan dengan kecerdasannya,
perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian
1.The Fairly
Tale Stage (Tingkat dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3
– 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi,
sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang
diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan
dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih
tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih
menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa
kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan
teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual,
emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2.The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak
tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan
dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan
menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya)
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya)
3.The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah
memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga bagian.
a. Konsep
ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil
fantasi.
b. Konsep
ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat Personal.
c. Konsep
ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis
dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.[3]
Dalam kehidupan seehari-hari,
ternyata tidak semua anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap
lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang “miskin” kepribadiannya ataupun
kehidupan sosialnya, merasa tidak bahagia dan mengalami kesukaran dalam
mengatasi masalah yang timbul. Itu semua karena banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri.[4]
Berkaitan dengan masalah ini. Imam
Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian,
yaitu:
*Fase dalam kandungan
*Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama
pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani.
Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah
meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terrjadinya perjanjian antara manusi
dengan Tuhannya.
* Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak
diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran
agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah
saat kelahiran anak.
*Fase kanak-kanak
*Fase kanak-kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat
yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai
bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan
dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal
Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang
yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum
mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah
peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan
tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya meniru.
*Masa Anak Sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek-
aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang
semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya
yang semakin berkembang.
D.Sifat agama pada anak.
D.Sifat agama pada anak.
Sifat keagamaan pada anak dapat
dibagi menjadi enam bagian:
a.Unreflective (kurang menerima kritik)
a.Unreflective (kurang menerima kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak
begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan
yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru
muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan derngan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan
hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam
hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau
gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun
ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak.
Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah
yang tertuju padaorang lain yang bersifat etis.
c. Antromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada
umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain,
pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha
mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman
mereka yang bersifat subjektif dan kongkret.
d. Verbalis dan Rituals
Kehidupan agama pada anak sebagian
besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal
kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan
berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka.
Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa
dilakukan (tidak asing baginya).
e.Imitatif
e.Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan
oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua
memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak
berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan.
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan
tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang
dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada
keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada
mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua
dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.
PERKEMBANGAN
AGAMA PADA MASA DEWASA
A.
PERKEMBANGAN AGAMA PADA MASA DEWASA
Sebagai akhir dari masa remaja adalah masa dewasa,
atau ada juga yang menyebutnya masa adolesen. Ketika mereka meginjak dewasa,
pada umumnya mempunyai sikap: menemukan pribadinya, menentukan cita-citanya
menggariskan jalan hidupnya ,bertanggung jawab, menghimpun norma-norma sendiri.
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya
kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan
bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari
makna hidup. Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya
dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yangdipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:
a. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young
adult). Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa
reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan
emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang
baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
b. Masa dewasa madya (middle adulthood). Masa
dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun.
Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya
merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani
dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan
ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar
dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya
terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan social.
c. Masa usia lanjut (masa tua/older adult). Usia
lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai
dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan
yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang
berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut;
perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan
dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahanpenampilan.
B. CIRI
KEBERAGAMAAN PADA MASA DEWASA
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagaman pada orang dewasa antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. menerima kebenaran agama berdasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersikap realis sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikapa dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajaridan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadapa materi ajran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajkaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan social sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social keagamaan sudah berkembang.
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagaman pada orang dewasa antara lain memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
1. menerima kebenaran agama berdasar pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
2. Cenderung bersikap realis sehingga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikapa dan tingkah laku.
3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha untuk mempelajaridan memperdalam pemahaman keagamaan.
4. tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagaman merupakan realisasi dari sikap hidup.
5. Bersikap lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
6. Bersikap lebih kritis terhadapa materi ajran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
7. Sikap keberagaman cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajkaran agama yang diyakininya.
8. Terlihat adanya hubungan antara sikap keberagaman dengan kehidupan social sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi social keagamaan sudah berkembang.
Agama Pada
Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan.
Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh.
d. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
f. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).
Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan- jaringan dan sel- sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini, biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini, biasanya akan mengahadapi berbagai persoalan.
Persoalan pertama adalah penurunan kemampuan fisik hingga kekuatan fisik berkurang, aktivitas menurun, sering mengalami gangguan kesehatan yang menyebebkan mereka kehilangan semangat. Pengaruh dari semua itu, mereka yang berada dalam usia lanjut merasa dirinya sudah tidak berharga lagi.
Ciri- Ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri- ciri keberagamaan di usia lanjut adalah:
a. Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan
b. Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
c. Mulai muncul pengakuan terhadap relitas tentang kehidupan akherat secara lebih sungguh- sungguh.
d. Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antara sesama manusia serta sifat- sifat luhur.
e. Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
f. Perasaan takut pada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akherat).
Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
a. Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambil dengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
b. Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
c. Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
Manusia
usia lanjut dalam penelitian banyak orang adalah manusia yang sudah tidak
produktif lagi . Kondisi fisik rata-rata sudah menurun , sehingga dalam kondisi
yang sudah uzur ini berbagai macam penyakit sudah siap untuk menggerogoti
mereka . Dengan demikian di usia lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran
bahwa mereka berada pada sisa umur menunggu datangnya kematian .
Menurut Lita L . Atkinson , sebagian besar orang-orang
yang berusia lanjut (usia 70-79 th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan
dan masih menunjukkan aktifitas yang positif . Tetapi perasaan itu muncul
setelah mereka memperoleh bimbingan semacam teraphi psikologi .
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia
melewati setengah baya , arah perhatian mereka mengalami perubahan yang
mendasar . Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan
duniawi , maka pada peralihan ke usia tua ini , perhatian mereka lebih tertuju
kepada upaya menemukan ketenangan batin .Sejalan dengan perubahan itun , maka
masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akherat mulai menarik perhatian
mereka.
Perubahan orientasi ini diantarnya disebabkan oleh
pengaruh psikologis . Di satu pihak kemampuan fisik pada usia tersebut
sedah mengalami penurunan .Sebaliknya di pihak lain , memiliki khasanah
pengalaman yang kaya . Kejayaan mereka di masa lalu yang pernah diperoleh sedah
tidak lagi memperoleh perhatian , Karena secara fisik mereka dinilai
sudah lemah . Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan
batin .
Apabila
gejolak-gejolak batin tidak dapat di bendung lagi , maka muncul gangguan
kejiwaan seperti stress , putus asa , ataupun pengasingan diri dari pergaulan
sebagai wujud rasa rendah diri (inferiority). Dalam kasus-kasus seperti
ini , umumnya agama dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat . Sebab
melalui ajaran pengamalan agama , manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat
bergantung
[1]
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Agama. Hlm, 152-174
[2]
Inayat khan Hasrat, Kesatuan Ideal Agama-agama, (Yogyakarta: Putra
Langit, 2003) hal. 96
[3]
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Perrsada, 2005)
hal. 67
[4]
D Gunarta Singgih, dkk, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1986) hal.
94-95
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............