A.Proses Masuknya Islam di Wilayah Sumatera
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang pertama
kali dimasuki Islam ialah daerah Aceh.[1]
Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang
berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
1)
Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia
pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
2)
Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah
pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
3) Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
4)
Islam di Indonesia ikut mencerdaskan rakyat dan membawa
peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[2]
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia,
atau dari Arab. Dan jalur yang digunakan adalah:
a)
Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b)
Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan
bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi
pengembara.
c)
Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim,
mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti
sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d)
Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang
menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e)
Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk
penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.[3]
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi
sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah
Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh pada
perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah
Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya
berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Nusantara.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang
di Aceh, yaitu:
1.
Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur
Timur Tengah dan Tiongkok.
2.
Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di
Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara
Palembang dan Aceh cukup jauh.[4]
Sedangkan menurut Hasbullah dengan mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus,
memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh
Indonesia, antara lain:
a.
Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan
aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan
untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
b.
Sedikit tugas dan kewajiban Islam.
c.
Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
d.
Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
e.
Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah
dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.[5]
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan
terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
1.
Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
2.
Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi
Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan,
mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka
bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3.
Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan
tangguh dalam peperangan.
4.
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan
tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal
tulisan.
5.
Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hafalan menjadi
sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti
sholat.
6.
Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi
kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai
menyembuhkan. Contohnya, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari
penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
7.
Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan
dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.[6]
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di
seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan
mayoritas di Indonesia.
B. Pendidikan Islam pada masa Kerajaan
Islam di Sumatera
1.
Zaman
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang
didirikan pada abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum.
Yang kedua bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar
Syah (tahun 1444 M/ abad ke-15 H).[7]
Pada tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan
Pasai pada zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam
ilmu agama dan bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat
Ashar dan fasih berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana.[8]
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang
berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang
syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal berupa
majlis ta’lim dan halaqoh.
c. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.
d. Biaya pendidikan bersumber dari Negara.[9]
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M,
maka pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome
Pires, yang menyatakan bahwa di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana
antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan.[10]
Menurutnya pada abad ke-14 M, Pasai merupakan pusat studi Islam di Asia
Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu
Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada
para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di
Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan
para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin
dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau
halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru
duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh murid menghadap
guru.
2.
Kerajaan Perlak
Kerajaan Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang
pertama Sultan Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak
terjalin kerja sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri
Raja Perlak. Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai
Selat Malaka, dan bebas dari pengaruh Hindu.[11]
Kerajaan Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot
Kala. Dayah disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu
bahasa Arab, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab,
sejarah dan tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira
dekat Aceh Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik
M.Amin, pada akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama.
Rajanya yang keenam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang
memerintah antara tahun 1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif
bijaksana lagi alim. Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan
Tinggi Islam yaitu suatu Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid
yang sudah alim. Lembaga tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab
agama yang berbobot pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam
Syafi’i.[12]
Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan Islam telah
berjalan cukup baik.
3.
Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam
Aceh di belahan Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra
Sultan Abidin Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali
Mughayat Syah (1507-1522 M).
Bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh
adalah Gampong (Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil).
Gampong-gampong yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah
bersama pada hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah
yang disebut mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[13]
Jenjang pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali
pendidikan terendah Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau
sekolah, terdapat di setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
a)
Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b)
Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi yang diajarkan
yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu, akhlak dan
sejarah Islam.
c)
Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu untuk kampung itu.
d)
Sebagai tempat sholat tarawih dan tempat membaca
Al-Qur’an di bulan puasa.
e)
Tempat kenduri Maulud pada bulan Mauludan.
f)
Tempat menyerahkan zakat fitrah pada hari menjelang
Idhul Fitri atau bulan puasa.
g)
Tempat mengadakan perdamaian bila terjadi sengketa
antara anggota kampung.
h)
Tempat bermusyawarah dalam segala urusan.
i)
Letak meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya
orang segera dapat mengetahui mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah
kiblat sholat.[14]
Selanjutnya, sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah
tetapi materi yang diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam
Bahasa Arab, meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah
biasanya dekat masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah
itu sendiri, terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena
itu orang yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu
mereka harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal
di dayah tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan
pondok-pondok kecil mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah
seringkat Tsanawiyah, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi,
sejarah, berhitung, dan akhlak. Rangkang juga diselenggarakan di setiap mukim.[15]
Bidang pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi
perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam
bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan yaitu:
1)
Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu
pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendikiawan untuk
membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
2)
Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang
bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.
3)
Balai Jama’ah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi
tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar fikiran membahas
persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Pada saat itu Aceh merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan
sarjana-sarjanya yang terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang
luar datang ke Aceh untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam
berkembang menjadi kota Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Kerajaan Aceh telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan
kerajaan Islam terkemuka di Timur Tengah yaitu kerajaan Turki.
Pada masa itu banyak pula ulama dan pujangga-pujangga dari berbagai
negara Islam yang datang ke Aceh. Para ulama dan pujangga ini mengajarkan ilmu
agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai ilmu pengetahuan serta menulis
bermacam-macam kitab berisi ajaran agama. Karenanya pengajaran agama Islam di
Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi kerajaan Islam yang kuat di nusantara.
Diantara para ulama dan pijangga yang pernah datang ke kerajaan Aceh antara
lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh
Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang
ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani Ibn Hasan yang mengajar logika.[16]
Tokoh pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah
Hamzah Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal
dengan ajaran tasawuf yang beraliran Wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah
Fansuri adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin.
Sebagai seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si Burung Pungguk,
syair Perahu.
Ulama penting lainnnya adalah Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal
dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan
paham wujudiyah di Aceh. Kitab yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin
dan lainnya.
Ulama dan pujangga lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh
Nuruddin Ar-Raniri. Ia menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab
mengenai agama Islam dalam bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang
terbesar dan tertinggi mutu dalam kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang
sejarah kerajaan Aceh adalah kitab Bustanul Salatin.
Pada masa kejayaan kerajaan Aceh,
masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid
sebagai tempat beribadah umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid
Baitul Rahman, yang juga dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17
daars (fakultas).
Dengan melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta
adanya Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi
pusat studi Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang
sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut
B.J. Boland, bahwa seorang warga Aceh adalah seorang Islam.[17]
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............