A.
Masuknya VOC
Vereenigde Oostindische
Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) atau VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 merupakan
perusahaan Belanda
yang memiliki monopoli
untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan perserikatan dagang
Hindia
Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan
pembagian saham.
Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu
Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk
memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur.
Untuk menghadapai masalah ini maka oleh Staaten Generaal di Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda -yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya negara. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.
a)
Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di
wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat
Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
b)
Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara
untuk:
1.
memelihara angkatan perang,
2.
memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3.
merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar
Negeri Belanda,
4.
memerintah daerah-daerah tersebut,
5.
menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6.
memungut pajak.
Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau
Jawa. Pos kolonial
lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia
Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan
rempah-rempah (Maluku),
yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan monopoli
atas pala dan fuli. Metode yang
digunakan untuk mempertahankan monompoli termasuk kekerasan terhadap populasi
lokal, dan juga pemerasan dan pembunuhan massal.
Tahun 1603 VOC memperoleh
izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both
diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614), namun
ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de
Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon
(1605 - 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 - 1623).
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau
Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama
lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara lebih
mengenal Kompeni adalah tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan
kepada rakyat Nusantara yang sama seperti tentara Belanda.
Bangsa Indonesia mengalami penjajahan Belanda sekitar tiga
ratus lima puluh tahun lamanya. Penjajahan Belanda ini telah mewariskan kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia yang porak-poranda dalam banyak hal. Situasi
sosial budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ditambah dengan wilayah
geografisnya yang luas, sangat rentan terhadap bahaya agitasi atau hasutan yang
menjurus pada huru-hara serta pemberontakan dan ekspansi atau perluasan wilayah
suatu negara dengan menduduki -sebagian atau seluruh- wilayah negara lain.
.
B. Perkembangan Pendidikan Islam Nusantara
pada Masa Penjajahan Belanda
Belanda
turut mewarnai perjalanan sejarah Islam di Indonesia. Belanda tahu bahwa untuk
mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, mereka harus memahami tentang seluk
beluk penduduk yang dikuasainya. Belanda tahu bahwa Negara yang dikuasainya
mayoritas penduduknya beragama islam, yang selanjutnya juga berpengaruh dalam
perkembangan pendidikan islam di Indonesia.
Pemerintah
belanda melakukan pembaharuan pendidikan dalam rangka menancapkan
kepentingannya yaitu tidak lain adalah westernisasi dan kristenisasi yang
mewarnai kebijakan penjajahan belanda di Indonesia selama 3,5 abad.
Adapun
perkembangan pendidikan islam pada zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah
seperti berikut:
1.
Pendidikan Islam
sebelum tahun 1900
Pendidikan
dikenal secara perorangan, baik di keluarga, surau/ langgar serta di masjid.
Pendidikan perorangan dan rumah tangga ini lebih menekankan pelajaran praktis,
misalkan tentang ketauhidan, keimanan, dan masalah-masalah yang berkaitan
dengan ibadah.
Sedangkan
pendidikan di surau/langgar mempunyai dua tingkatan yaitu: pelajaran al-qur’an
dan pengkajian kitab. Pengkajian al-qur’an diberikan pelajaran huruf hijaiyah, juz amma dan al-qur’an.
Setelah murid selesai menyelesaikan pelajaran al-qur’an ia dapat melanjutkan
pengkajian kitab. Pengkajian kitab diajarkan ilmu sharaf, nahwu, tafsir dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Pendidikan
Islam pada masa sebelum tahun 1900 bercirikan sebagai berikut:
a.
Pelajaran diberikan
satu demi satu;
b.
Pelajaran ilmu sharf didahulukan dari ilmu nahwu;
c.
Buku pelajaran mulanya
dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah
setempat;
d.
Kitab yang digunakan
umumnya ditulis tangan;
e.
Pelajaran satu ilmu,
hanya diajarkan dalam satu macam buku saja;
f.
Toko buku belum ada,
yang ada hanyalah menyalin buku dengan tulisan tangan;
g.
Karena terbatasnya
bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit
h.
Belum lahir aliran
baru dalam islam.
Pada
periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan dimana surau
atau langgar dan pesantren yang pertama kali berdiri. Namun dapat diketahui
bahwa pada Abad ke-17 M di jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang di Tuban,
Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti Giri dan sebagainya.
Namun
sebelum itu sebenarnya telah ada sebuah pesantren di hutan glagah arum (sebelah
selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah pada tahun 1475M. sementara itu
di Sumatera terdapat tempat pengajian berupa surau namun belum diketahui dimana
dan kapan berdirinya.
2.
Pendidikan Islam pada
masa peralihan (1900-1908)
Disebut
masa peralihan karena sebelum tahun 1900 pendidikan islam relatif sedikit dan
berlangsung secara sederhana kemudian dimasa ini mulai banyak berdiri tempat
pendidikan islam. Yang terkenal di Sumatera adalah Surau Parabek Bukit Tinggi
(1908) yang didirikan oleh syekh H. Ibrahim Parabek dan di pulau Jawa seperti
pesantren Tebuireng, namun system madrasah waktu itu belum dikenal.
Maraknya
pendidikan Islam ini bisa disebabkan
oleh adanya pengaruh pendidikan yang dilakukan oleh Syekh Khatib
Minangkabau dan kawan-kawannya yang begitu banyak mendidik dan mengajar pemuda
di Mekah, terutama pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya.
Murid-murid beliau diantaranya H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang
mengajar di surau Jembatan Besi Padang Panjang, KH. Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah) di Yogyakarta, dan KH. Adnan di Solo. Juga termasuk KH. Hasyim
Asy’ari pendiri pesantren Tebuireng dan
pendiri Nahdhatul Ulama (NU). Dengan demikian ketika murid-murid yang belajar
di Mekah kembali ke Indonesia turut berandil dalam pembaruan pendidikan Islam
di Indonesia. Dengan demikian maka Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (berasal dari
Sumatera) dan kawan-kawannya merupakan reformer pendidikan Islam di Indonesia.
Pelajaran
agama Islam pada masa peralihan ini bercirikan sebagai berikut:
a)
Pelajaran untuk dua
sampai enam ilmu dihimpun sekaligus jadi satu pelajaran;
b)
Pelajaran nahwu
didahulukan atau disamakan dengan ilmu sharf;
c)
Buku pelajaran
semuanya karangan ulama Islam Kuno dan dalam bahasa Arab;
d)
Buku-buku semuanya
dicetak;
e)
Suatu ilmu diajarkan
dari beberapa macam buku, rendah, menengah dan tinggi;
f)
Telah ada toko buku
yang memesan buku-buku dari Mesir dan Mekkah;
g)
Ilmu agama telah
berkembang luas berkat banyaknya buku bacaan;
h)
Aliran baru dalam
Islam mulai lahir.
Pada
masa ini kebijakan pemerintah colonial Belanda terhadap pendidikan Islam
Indonesia berjalan secara ketat. Belanda gencar mempropagandakan pendidikan
yang mereka kelola, yaitu pendidikan yang membedakan antar golongan pribumi
dengan golongan priyayi atau pejabat bahkan yang beragama Kristen.
3.
Pendidikan Islam
setelah tahun 1909
Kesadaran
untuk belajar mulai marak di tengah masyarakat terutama belajar agama Islam,
hal ini menjadikan doronga bagi para ulama untuk mengembangkan pendidikan
Islam. Ulama merasa bahwa system pendidikan langgar dan pesantren tradisional
sudah tidak sesuai lagi dengan iklim Indonesia
sehingga butuh untuk menerapkan pendidikan Islam dalam madrasah dan
sekolah secara teratur. Maka berdirilah madrasah Adabiyah pada tahun 1909 di
Padang yang dipimpin oleh Syekh Abdullah Ahmad, madrasah Diniyah di Pdang
Panjang yang dipimpin oleh Zainudin Labai El Yunusi pada tahun 1915. Muncul
pula surau yang memakai system kelas dalam proses belajar mengajar di Sumatera
Tawalib Padumatera Tawalib Padang Panjang yang dipimpin oleh Syekh Abdul Karim
Abdullah pada tahun 1921. Di Sumatera pada tahun itu pula berdiri Sumatera
Thawalib Parabek Bukittinggi yang dipimpin oleh Jam’iyyah Diniyah yang dipimpin
oleh Syekh Ibrahim Musa. Di Aceh madrasah pertama yang berdiri adalah madrasah
Sa’adah Adabiyah yang didirikan oleh Jam’iyyah Diniyah Pimpinan Thawalib Daud
Beureuh pada tahun 1939 di Belang Paseh Sigli. Di Jawa KH. Hasyim Asy’ari
mendirikan madrasah Salafiyyah di Tebuireng Jombang pada tahun 1919.
Dari
tahun berdirinya madrasah-madrasah tersebut maka dapat dieimpulkan bahwa system
madrasah baru dikenal pada permulaan abad ke-20. Pada masa ini system
pendidikan madrasah sudah dikenal hamper diseluruh wilayah Indonesia, baik yang
didirikan secara pribadi maupun oleh organisasi- organisasi Islam, mulai dari
tingkat rendah, menengah sampai tingkat tinggi.
Sistem madrasah
membawa pembaharuan dalam pendidikan
Islam seperti;
a)
Perubahan system
pengajaran, dari perorangan atau sorogan menjadi klasikal;
b)
Pengajaran pengetahuan
umum disamping pengetahuan agama dan bahasa Arab;
Pendidikan
madrasah sampai menjelang berakhirnya penjajahan Belanda sudah beraneka macam
bentuk, jenjang dan tingkatan, demikian juga kurikulumnya. Walaupun demikian
pihak colonial Belanda berusaha semaksimal mungkin untuk menghalang-halangi
pendidikan madrasah. Hal ini dikarenakan anggapan mereka bahwa pendidikan
madrasah, disamping dapat mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, juga
berfungsi mengembangkan ajaran-ajaran Islam dikalangan remaja, yang tentu saja pada
gilirannya nanti sangat mengancam posisi pemerintahan Hindia Belanda. Dan
ternyata apa yang menjadi kekhawatiran Belanda ini menjadi kenyataan.
C. Sikap Penjajah
Belanda terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
Kedatangan Belanda di muka bumi Nusantara mengemban fungsi
ganda, yaitu melakukan penjajahan dan salibisasi. Oleh karena itu semboyan yang
terkenal untuk penjajah Belanda adalah: Glory,
Gold dan Gospel. Karema misi ganda inilah secara otomatis segala tindakan
atau kebijakan yang diambil pihak Belanda dalam masalah pendidikan Islam
cenderung merugikan umat Islam. Hal ini terlihat diantaranya ketika Van Den
Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan
bahwa sekolah-sekolah Gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Sedang departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan
satu, sementara di setiap daerah Kresidenan didirikan satu sekolah Agama
Kristen. Bahkan, pemerintah penjajah Belanda secara terang-terangan membiayai
gerakan misionaris Kristen.
Inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
diperuntukkan untuk rakyat pribumi adalah untuk kepentingan Belanda sendiri.
Pendidikan agama Islam yang telah ada di pondok pesantren, masjid dan musholla
dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri pondok dianggap masih
buta huruf latin yang secara resmi menjadi acuan bagi aturan pemerintah.
Adapun aturan yang ditetapkan pemerintah kolonial belanda
diantaranya adalah:
a)
Pada tahun 1882
pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas untuk mengawasi
kehidupan beragama dan pendidikan islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari
nasihat badan inilah maka pada tahun 1905, pemerintah Belanda mengeluarkan
suatu peraturan yang mengharuskan para guru agama islam memiliki izin khusus untuk
mengajar. Hal ini sangat merugikan lajunya perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
b)
Tahun 1925 keluar lagi
peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan islam bahwa tidak semua kyai
boleh memberikan pelajaran mengaji kecuali telah mendapat rekomendasi atau
persetujuan pemerintah Belanda.
c)
Pada tahun 1932 keluar
lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup
madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang
tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde
School Ordonantie).
Atas dasar perjuangan dari organisasi Islam, melalui
kongres Al-Islam pada tahun 1926 di Bogor, peraturan tentang
penyelennggaraan pendidikan islam yang dibuat oleh pihak Belanda pada
tahun 1905 dihapuskan dan di ganti dengan peraturan baru yang terkenal dengan
sebutan Peraturan Ordonansi Guru.
Pada dasarnya banyak kerugian yang diderita oleh umat Islam
dalam persoalan pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Bahkan, tidak sedikit
sekolah yang terpaksa ditutup atau dipindahkan karena ulah penjajah Belanda
terhadap bangsa Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............