“Asal Kemunculan Mu’tazilah, Tokoh &
Pemikirannya, dan Mihnah”
MAKALAH
Revisi
Dosen Pengampu:
Lia Hanifatur
Rahmi
2846134017
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA
SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
FEBRUARI
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan
wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena
menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak
ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan
mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain
yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu
syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana
Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum
muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya
terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan
Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan
yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran
Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi
Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari
Al-qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya
agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah
yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih
dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal
pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka
dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.
B.
Batasan
Masalah
Pembahasan masalah pada makalah ini berbatas pada pembahasan
mengenai asal kemunculan Mu’tazilah, tokoh dan pemikirannya, doktrin-doktrinnya
serta peristiwa al-mihnah.
C.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
asal kemunculan aliran Mu’tazilah?
2.
Bagaimana
pemikiran para tokoh aliran Mu’tazilah?
3.
Apa
saja doktrin-doktrin Mu’tazilah?
4.
Bagaimana
asal kemunculan al-Mihnah?
5.
Bagaimana
masa berakhirnya peristiwa al-Mihnah?
D.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui asal kemunculan aliran Mu’tazilah.
2.
Untuk
mengetahui pemikiran para tokoh Mu’tazilah.
3.
Untuk
mengetahui doktrin-doktrin Mu’tazilah.
4.
Untuk
mengetahui asal kemunculan al-Mihnah.
5.
Untuk
mengetahui masa berakhirnya al-Mihnah.
E.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal
Usul Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti
berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, Mu’tazilah adalah nama yang diberikan
kepada suatu aliran teologi yang membangun dogmatik spekulatif dalam Islam.
Nama ini diberikan oleh lawan-lawannya dengan pengertian sebagai kaum yang
memisahkan atau mengasingkan diri. tetapi, lama kelamaan nama tersebut dapat diterima
oleh yang bersangkutan dengan pengertian “menjauhi yang salah”. Pengertian itu
mereka perkuat dengan firman Allah dalam Surat al-Muzammil ayat 10:[2]
÷É9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)t öNèdöàf÷d$#ur #\ôfyd WxÏHsd ÇÊÉÈ
“Dan
Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik.”[3]
Aliran Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka
adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha’ yang memisahkan diri dari
gurunya yang bernama Hasan al-Basri. Masalah pertama yang menjadikan mereka
berpisah dari Hasan al-Basri adalah masalah “murtakibil kabirah” yaitu
membincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul
pada saat seorang bernama Washil bin Atha’ berada di dalam majelis gurunya
bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua
keadaan, maksudnya orang itu bukan mukmin juga tidak kafir .[4]
Seperti yang dikutip oleh Abdul Rozak, Tasy Kubra Zadah menyatakan
bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung
dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri, ia
berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,”Ini kaum Mu’tazilah”, sejak
saat itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
Abdul Rozak juga mengutip pendapat dari Al-Mas’udi yang memberikan
keterangan tentang asal usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya
dengan peristiwa antara Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri. Mereka diberi
nama Mu’tazilah, karena berpendapat bahwa ornag yang berdosa bukanlah mukmin
dan bukannpul kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah
bain al-manzilatain). dalam artian, mereka memberikan status orang yang berbuat
dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.[6]
Manusia juga berselisih pendapat mengenai nama-nama dan
hokum-hukum, maksudnya nama-nama istilah dalam agama, seperti muslim, mukmin,
kafir, fasik, serta hokum-hukum yang berkaitan dengan mereka di dunia maupun di
akhirat. Mu’tazilah sependapat dengan Khawarij mengenai hokum mereka di
akhirat, tetapi tidak sependapat dengan Khawarij mengenai hokum mereka di
dunia, dimana Mu’tazilah tidak menghalalkan darah dan harta para pelaku dosa
besar, sebagaimana halnya Khawarij. Dalam masalah nama, Mu’tazilah membuat istilah baru
yaitu manzilah baina al-manzilatain.[7]
Menurut Mu’tazilah, manusia bebas berbuat dan segala amal manusia harus
diganjar Allah SWT. demi keadilan-Nya. Apabila manusia tiada bebas dalam
melakukan amalnya, ini berarti Allah SWT. tidak adil. Siapapun yang taat maupun
tidak taatmasing-masing akan memperoleh ganjaran atau balasan sesuai dengan
sikap yang dipilihnya.[8]
Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama “Ashhabul ‘adl wat
tauhid”, karena faham mereka ditujukan untuk mempertahankan keadilan Tuhan dan
Ke-Esaan Tuhan secara murni.[9] Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke
2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[10]
B.
Tokoh-tokoh
Mu’tazilah dan Pemikirannya
Secara geografis, aliran Mu’tazilah
dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Mu’tazilah basrah dan aliran Mu’tazilah
Baghdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dulu munculnya dibandingkan dengan aliran
Mu’tazilah Baghdad.[11]
1. Di Basrah
(Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan
murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini
berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah
Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin
Sayyar (211 H) kemudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2. Di Bagdad
(Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang
pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya,
yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar
(w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).[12]
Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah
Islam yang terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah:
1)
Yazid Bin Walid (Khalifah Bani
Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2)
Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah
Bani Abbasiah 198-218 H)
3)
Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid
(Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4)
Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim
(Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Pemikiran
Tokoh Mu’tazilah:
1)
Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M)
Wasil bin
Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Ada
tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain,
paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran
Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu
kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2)
Abu Huzail al-Allaf (135-226
H/752-840 M)
Abu Huzail
al-‘Allaf (w. 226 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan
sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran
Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang
rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran
teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah).
Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak
rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi
mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail
al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan
itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak
filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat.
Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula
menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3)
Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M)
Al-Jubba’I
adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang
masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia,
dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui,
berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan
dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua
kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4)
An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
An-Nazzam :
pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu
Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat
lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan
mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu
bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk
berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang
yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat
al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah
(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam
adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.
5)
Al- jahiz
Al- jahiz:
dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism
atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah
Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia
tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh
hukum alam.
6)
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin
Abbad: Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat
al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi.
Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu
adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7)
Bisyr
al-Mu’tamir
Bisyr
al-Mu’tamir: Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8)
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa
al-Mudrar: al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat
ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut
Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran.
Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata
kepala.
9)
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin
Amr al-Fuwati: Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan
neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan
adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum
waktunya orang memasuki surga dan neraka.[13]
C.
Al-Ushul
Al-Khamsah
Masalah-masalah yang menjadi pembahasan kaum Mu’tazilah terdiri
dari lima pokok, yakni: tauhid (ke-Esaan Tuhan); al-‘adl (keadilan Tuhan);
al-wa’dul wal wa’id (janji dan ancaman); manzilat antara dua manzilat; dan amar
ma’ruf nahi munkar.[14]
Faham dan ajaran Mu’tazilah disusun menurut urutan kedudukan dan
kepentingannya.[15]
1.
At-Tauhid
Dasar pokok yang utama dari ajaran Islam adalah tauhid, meng-Esakan
Allah. Untuk menjaga kemurnian tauhid itu Mu’tazilah mengajarkan; Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat yang qadim selain Dzat-Nya. Karena itu, sifat tidak dapat
dipisahkan daripada Dzat-Nya sendiri. Al-Quran adalah makhluk karena kalamullah
itu ada di luar Dzat Allah, segala sesuatu yang berada di luar Dzat Allah
adalah makhluk dan tidak qadim.[16]
Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin
(tauhid) ini. Namun, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan
harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemaha-esaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, takada satupun yang menyamai-Nya.[17]
Di dalam
bukunya, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar mengutip pendapat dari Abi Al-Fath
Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrasiani yang menyatakan bahwa untuk memurnikan
keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan
fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang
menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya.
Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat
adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu
berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip
oleh Asy-Syahrastani mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim,
berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan
perbuatan syirik.[18]
Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya.
Mu’tazilah berlandaskan pada pernyataan Al-Quran yang berbunyi;
...
}§øs9
¾ÏmÎ=÷WÏJx.
Öäïx«
(
...
“...tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ...” (QS. Asy-Syuuraa: 11)[19]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah
memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan.
Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah
kejisiman tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidakdilakukan secara
semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam
bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, kata-kata
tangan (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain
tangan (Q.S. Al Maidah [5]: 64) dapat diatikan nikmat. Kata wajah (Q.S.
ar-Rahmah [55]: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha
[20]: 5) diartikan kekuasaan.[20]
2.
Al-‘Adl
Ajaran
dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti tuhan maha adil. Adil
ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena
Tuhan maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin
menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam
senesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang
adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik(al-ashlah), dan
bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar
janjinya.[21]
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal,
antara lain berikut ini:
a.
Perbuatan
manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannta
sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau
tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik
atau buruk Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah
buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki
konsekuensi loggis dengan keadilan Tuhan, yaitu, apapun yang akan diterima
manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan
dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan.
Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b.
Berbuat
baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah
wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan
terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan
menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi
tuhan. Jika tuhan berlaku jahat pada seseorang dan berbuat baik kepada orang
lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya tuhan juga tidak maha sempurna.
Bahkan, menurut An-nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, tuhan tidak dapat
berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan
kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila Tuhan
tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak bijaksana,pelit,dan kasar/kejam.[22]
c.
Mengutus
Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan karena
alasan-alasan berikut ini,
1)
Tuhan
wajib berlaku bai kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)
Al-Qr’an
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia, (Q.S. Asy-Syu’ara [26]; 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut
adalah dengan pengutusan rasul.
3)
Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[23]
3.
Al-Wa’d
wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua
diatas. Al-Wa’ad wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil
dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya sendiri, yaitu memberi
pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi
pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik
akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan
siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain
menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang
yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak ada lagi
bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang
menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar,
sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhanmungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.[24]
4.
Al-Manzilah
bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah.
Aliran ini teerkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa
besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut
sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu
tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada tuhan. Bboleh jadi dosa
tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab
Mu’tazilah) lain lagi. Menurutnya, orang
tersebut, berada diantara dua posisi (al-manszilah bain al-manzilatain), karena
ajarn inilah, wasil bin ata dan sahabatnya amir bin Ubaid harus memisahkan diri
(i’tizal) dari majelis gurunya, hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran
itulah dia membangun mazhabnya.[25]
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan
belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip
Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut,
“ Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin
bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).” Mengomentari pendapat
tersebut, Izutsu menjelskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan
perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan
dihalalkannya binatang sembelihannya.[26]
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakn
sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini krena keimanan menuntut adanya kepatuhan
kepada tuhan, tidak cukup hanya pengakuanndan pembenaran. Berdosa besar
bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir
secara mutlak karena ia masih percayya kepada tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan
pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan
ke neraka dan bakal kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir
masuk neraka. Orang fasikpun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih
ringan dari pada orang kafir. Mengapa ia tiddak di masukkan ke surga dengan
“kelas” yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini Mu’tazilah ingin
mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.[27]
5.
Al-Amr
bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang
kemunkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar). Ajaran ini
menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan
konsekuensi dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan
perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya
dari kejahatan.[28]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar
ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang
tokohnya, Abd al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a.
Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang munkar.
b.
Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.
Ia
mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa
madarat yang lebih besar.
d.
Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.
Perbedaan
mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada
tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan
dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat
kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah berpusat
pada kelima prinsip ajaran tersebut. Adapun pandangan aliran Mu’tazilah yang
berkenaan dengan permasalahan dasar pemikiran alirannya antara lain:
a.
Pelaku
dosa besar, Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan
tidak kafir, melainkan ada diantara dua posisi yaitu kafir dan mukmin atau
al-manzilah bainal manzilataini, hukumnya sebagai orang yang fasik.
b.
Tentang
imamah menurut Mu’tazilah hanya merupakan soal politik saja, sehingga seorang
imam adalah penguasa politik bukan penguasa agama. Karena itu, untuk mengetahui
syarat agama tidak perlu lewat seorang imam melainkan melalui al-Quran,
al-sunnah, ijma’ dan qiyas.
c.
Terhadap
kalam Allah (al-Quran) berpendapat bahwa itu bukan qadim atau kekal, tetapi
hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Sebagaimana dinyatakan oleh
al-Nazzam bahwa kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Suara itu bersifat baharu, bukan bersifat kekal adalah ciptaan Tuhan.
Juga al-Syahrastani dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al-Quran tidak
bersifat qadim, tetapi diciptakan Tuhan dan memandang orang yang mengatakan
al-Quran qadim menjadi kafir. Maka menurut kaum Mu’tazilah al-Quran diciptakan
dan bukan kekal.
d.
Tentang
sifat-sifat Tuhan, kaum Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat
yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Hal ini bukan berarti Tuhan
tidak diberi sifat oleh Mu’tazilah, bagi mereka, Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha
Tahu, Maha Hidup, Maha Mendengar, dan sebagainya. Oleh karena itu, Mu’tazilah
membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Sifat-sifat
yang merupakan esensi Tuhan disebut sifat Zatiah.
2.
Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan disebut sifat fi’liyah.
e.
Mengingkari
bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan indera mata di akhirat.
f.
Mengingkari
pendapat yang mengatakan adanya arah bagi Tuhan dan mentakwilk ayat-ayat yang
mempunyai persamaan Tuhan dengan manusia.
g.
Mempercayai
dengan ke-Esa-an yang mutlak dnegan menolak konsepsi-konsepsi dualisme dan
trinitas tentang Tuhan.
D.
Awal
Kemunculan dan Perkembangan al-Mihnah
Kata Al-Mihnah diambil dari kata mahana,
yahmanu, mahnan yang berarti cobaan, menguji, memeriksa. Secara bahasa kata
Mihnah memiliki arti cobaan, ujian atau bala. Sedangkan secara istilah mihnah
adalah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis dan hukum
sehubungan dengan permasalahan penciptaan al-Quran, Di antaranya adalah Ahmad
bin Hambal (W.855M/240H), karena keteguhannya mempertahankan pendapat bahwa
al-Quran adalah qadim (tidak diciptakan).
Dalam konteks Mu’tazilah, al Mihnah
adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum
Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh
masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh
kaum Mu’tazilah. Bagi
qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah,
demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima
paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Adapun peristiwa mihnah terjadi pada
masa khalifah Abbasiyah yaitu khalifah al-Ma'mun (170H/785M – 218H/833M).
Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu
al-Makmun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-Watsiq (W 232 H).
Al-Mihnah muncul seiring dengan
adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai
khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik
terhadap kaum Mu’tazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah
berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi
negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya
dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah
al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka
dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam
masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar
mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu makhluk Tuhan.
Gerakan al Mihnah ini merupakan
implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar
Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini ke-qadim-an
al-Quran berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar
harus diberantas sampai keakar akarnya meski dengan kekerasan. Mereka
berkeyakinan bahwa satu satunya sifat Tuhan yang betul betul tidak mungkin ada
pada makhluknya adalah qadim, dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni
dari syirik.
Jadi dapat dipahami bahwa al-Mihnah
adalah suatu tuduhan atau introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah
terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Menurut riwayat, masalah al-Mihnah
sudah muncul sebelum masa khalifah al-Ma’mun berkuasa. Masalah ini pernah
dibicarakan oleh al-Ja’ad ibn Dirham, akan tetapi tidak berkembang karena ia
segera dibunuh oleh Khalid ibnu Abdullah, Gubernur Kufah. Hal yang sama dialami
oleh al-Jahm ibnu Safwan.
Dalam historis lainnya, paham
kemakhlukan al-Quran ini sudah ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khaalifah terakhir
dinasti Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al Ja’d bin
Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham ini. Dalam perkembangan
selanjutnya ketika Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara/pemerintah,
doktrin kemakhlukan al-Quran ini menjadi issu yang sangat dominan. Mu’tazilah
mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah al Makmun, Al
Mu’tashim dan al Watsiq sejak tahun 813 s/d 847 M, pada masa inilah gencar
gencarnya gerakan al Mihnah.
Gerakan al Mihnah ini diawali dengan
instruksi al Makmun kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun
218/833. Dalam suratnya ia menjelaskan hal hal yang mendorongnya mengeluarkan
instruksi itu. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada Gubernur Mesir,
Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki Abdullah al Zuhri qodli Mesir kala
itu.
Sasaran al Mihnah dalam instruksi
pertama ini adalah para qadli, para pejabat peradilan juga para saksi dalam
perkara yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat sahnya
putusan pengadilan. Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk
menguji tujuh ulama ahli hadits, yaitu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya
bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad
bin al Dauraqi. Dalam pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan
al-Quran. Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para pejabat
pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian tersebut kebanyakan mereka
memberikan jawaban yang tidak tegas menerima atau menolak, mungkin ini
dilakukan untuk menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah
Basyar bin al Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu al Baka’.
E. Masa
Berakhirnya al-Mihnah
Khalifah Makmun tidak puas dengan
jawaban para qadli dan muhadditsin yang tidak tegas menyatakan Al-Quran adalah
makhluk, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang terdiri dari qodli,
muhadditsin dan fuqaha’. Kebanyakan mereka mengakui kemakhlukan al-Quran
kecuali empat orang saja; Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin
Nuh. Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja yang
bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun,
pelaksanaan al-Mihnah dibagi kepada empat macam tingkatan:
Pertama, mereka
yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan.
Kedua, Mereka yang
bekerja sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan yang diperolehnya
dari Khalifah. Ketiga, Jika masih tetap menolak akan dicambuk dan
dirantai kemudian dimasukkan ke dalam penjara.
Keempat, Proses
terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung.
Tindak kekerasan yang ditempuh oleh
Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun
meninggal tahun 833 M. Pengganti al Makmun adalah al Mu’tashim (833 842 M). Ia
adalah tokoh yang kurang memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat. Ia
tetap menahan dan memenjarakan Ahmad ibn Hambal selama 18 bulan. Kemudian Ahmad
ibn Hambal dikeluarkan dan dibebaskan untuk menyampaikan fatwa sampai
al-Mu’tashim meninggal dunia.
Khalifah berikutnya al Watsiq (842
847 M). Di awal pemerintahannya ia menampakkan kekerasannya seperti al Makmun,
namun pada akhir pemerintahannya ia berbalik dan menyesali semua tindakannya,
bahkan ia berusaha menghapuskan gerakan al Mihnah dan paham kemakhlukan
al-Quran ini.
Berbeda dengan ayahnya, ia sangat
menaruh perhatian terhadap bidang ilmiah dan teologi, sehingga ada yang
mengindetikkannya dengan khalifah al-Ma’mun dan bahkan lebih besar dari
al-Ma’mun. Karena ia dalam melaksanakan tindakan al-Mihnah itu lebih ketat,
bahkan memperlakukan para penentangnya dengan sangat kasar. Ahli fiqh seperti
Yusuf ibn Yahya al-Buwaity, Ahmad ibn Nasir dan Naim ibn Hammad adalah termasuk
orang-orang yang mati dalam penganiayaan yang dilakukan oleh al-Watsiq. Namun
kepada ibn Hambal, ia agak lunak, karena hanya membatasinya untuk tidak bertemu
dengan siapapun serta tidak boleh tinggal di tempat al-Watsiq menetap.
Akibatnya, Hambal mengurung diri hingga ia meninggal dunia.
Namun pada perkembangan selanjutnya
al-Watsiq pun menyesali segala tindakan kekerasan yang berkaitan dengan
pemaksaan paham kemakhlukan Alquran, al-Watsiq pada akhir hayatnya berusaha
menghapuskan al-Mihnah, karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak
pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi
Thalib.
Dalam riwayat dijelaskan bahwa pada
masa pemerintahan al-Watsiq, para penguasa tidak lagi memberikan siksaan
terhadap pihak-pihak yang menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq
sendiri telah bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan
al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn
Muhammad ibn Ishak al-Azraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam
keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang
diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah dipraktekkan
oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mengapa melakukan sesuatu yang
tidak pernah dicontohkan Nabi? Mendengar keterangan seperti itu, al-Watsiq
terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang
diucapkan syekh tadi, lalu Syekh pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian
itu tidak ada lagi orang yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum
ia meninggal dunia tahun 847 M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi
diperlakukan, karena aliran Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara
di tahun 847 M. Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
al-Mihnah berkembang pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun,
al-Mu’tashim dan al-Watsiq, yang menggunakan tindakan pemeriksaan bahkan
penyiksaan untuk menyebarkan paham tentang kemakhlukan Alquran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Asal
Kemunculan Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka
adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha’ yang memisahkan diri dari
gurunya yang bernama Hasan al-Basri. Masalah pertama yang menjadikan mereka
berpisah dari Hasan al-Basri adalah masalah “murtakibil kabirah” yaitu
membincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul
pada saat seorang bernama Washil bin Atha’ berada di dalam majelis gurunya
bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang
melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua
keadaan, maksudnya orang itu bukan mukmin juga tidak kafir .
2.
Tokoh
Mu’tazilah
1)
Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M)
2)
Abu Huzail al-Allaf (135-226
H/752-840 M)
3)
Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M)
4)
An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
5)
Al- jahiz
6)
Mu’ammar bin Abbad
7)
Bisyr al-Mu’tamir
8)
Abu Musa al-Mudrar
9)
Hisyam bin Amr al-Fuwati
3.
Al-Ushul
al-Khomsah
a.
At-tauhid
b.
Al-‘adl
c.
Al-wa’d
wa al-wa’id
d.
Al-manzilah
bain al-manzilatain
e.
Al-amr
bi al-ma’ruf wa an-nahy an munkar
4.
Asal
Kemunculan al-Mihnah
Al Mihnah adalah suatu pemeriksaan,
penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para
qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham
kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah.
Al-Mihnah muncul seiring dengan
adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai
khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik
terhadap kaum Mu’tazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah
berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi
negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya
dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah
al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka
dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam
masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar
mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu makhluk Tuhan.
5.
Masa
Berakhirnya al-Mihnah
Pada masa pemerintahan al-Watsiq,
para penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang menolak
paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq sendiri telah bertaubat sebelum ia
meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama
Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad ibn Ishak al-Azraniy, ketika
dihadirkan di hadapan khalifah dalam keadaan terbelenggu karena al-Mihnah,
dikatakannya bahwa al-Mihnah yang diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran
Nabi dan tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan
Ali. Mendengar keterangan seperti itu, al-Watsiq terdiam. Dia bangkit dari
tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh
pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang yang
mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia tahun 847
M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena aliran
Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun 847 M. Dari sinilah
berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
B.
Kritik
Aliran
Mu’tazilah merupakan aliran yang tergolong ekstrim namun tingkatannya tidak
terlalu parah. Tentang peristiwa mihnah, seharusnya tidak terjadi karena salah
satu paham yakni mengenai Al-Quran adalah makhluk, tidak pantas dijadikan
alasan untuk menyebut orang-orang yang tidak mendukung mereka dengan sebutan
kafir apalagi menyiksa dan membunuh semua orang yang tidak mendukung paham
tersebut. Hal ini merupakan salah satu ciri aliran yang sesat.
DAFTAR
RUJUKAN
Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, Semarang: Karya Toha Putra,
2002.
Depdikbud, Ensiklopedi islam 3, Jakarta, 2002.
Gibb, H.A.R, dan Kramer, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ.
Brill, 1974.
Muhammad Syak’ah, Musthafa, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan
Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi, Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI. Press, 1986.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka
Setia, 2006.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan
Islam, Bandung: Angkasa, 1987.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Al-Furqon baina ‘L-Haq wa ‘L-Bathil (Membedah Firqoh-Firqoh Sesat Cet. I)
terj. Hawin Murtadlo, 2006.
Umary, Barmawy, Materia Akhlak, Solo: Ramadhani, 1991.
Pengertian dan Sejarah Mihnah dalam http://www.referensimakalah.com/2013/06/pengertian-dan-sejarah-mihnah.html diakses
pada tanggal 06/11/2013, 21:30 WIB
Mu’tazilah
dan Pengaruhnya terhadap Dunia Islam dalam http://abdain.wordpress.com/2010/04/28/mutazilah-dan-pengaruhnnya-terhadap-dunia-islam/ diakses pada 06/11/2013, 21:23 WIB
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............