CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Wednesday, 26 March 2014

MU'TAZILAH





“Asal Kemunculan Mu’tazilah, Tokoh & Pemikirannya, dan Mihnah”

MAKALAH
Revisi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah “Sejarah Pemikiran Islam”

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Mujamil, M.Ag.
NIP. 19650301 199303 1 003



3

 Disusun oleh :

              Lia Hanifatur Rahmi
              2846134017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA SARJANA
INSTITUT  AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
FEBRUARI 2014



BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari Al-qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan.


B.  Batasan Masalah
Pembahasan masalah pada makalah ini berbatas pada pembahasan mengenai asal kemunculan Mu’tazilah, tokoh dan pemikirannya, doktrin-doktrinnya serta peristiwa al-mihnah.

C.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana asal kemunculan aliran Mu’tazilah?
2.    Bagaimana pemikiran para tokoh aliran Mu’tazilah?
3.    Apa saja doktrin-doktrin Mu’tazilah?
4.    Bagaimana asal kemunculan al-Mihnah?
5.    Bagaimana masa berakhirnya peristiwa al-Mihnah?

D.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui asal kemunculan aliran Mu’tazilah.
2.    Untuk mengetahui pemikiran para tokoh Mu’tazilah.
3.    Untuk mengetahui doktrin-doktrin Mu’tazilah.
4.    Untuk mengetahui asal kemunculan al-Mihnah.
5.    Untuk mengetahui masa berakhirnya al-Mihnah.

E.  
BAB II
PEMBAHASAN


A.      Asal Usul Kemunculan Mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Menurut Soekarno dan Ahmad Supardi, Mu’tazilah adalah nama yang diberikan kepada suatu aliran teologi yang membangun dogmatik spekulatif dalam Islam. Nama ini diberikan oleh lawan-lawannya dengan pengertian sebagai kaum yang memisahkan atau mengasingkan diri. tetapi, lama kelamaan nama tersebut dapat diterima oleh yang bersangkutan dengan pengertian “menjauhi yang salah”. Pengertian itu mereka perkuat dengan firman Allah dalam Surat al-Muzammil ayat 10:[2]
÷ŽÉ9ô¹$#ur 4n?tã $tB tbqä9qà)tƒ öNèdöàf÷d$#ur #\ôfyd WxŠÏHsd ÇÊÉÈ
“Dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.”[3]
Aliran Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha’ yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan al-Basri. Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan al-Basri adalah masalah “murtakibil kabirah” yaitu membincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama Washil bin Atha’ berada di dalam majelis gurunya bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan, maksudnya orang itu bukan mukmin juga tidak kafir .[4]
Seperti yang dikutip oleh Abdul Rozak, Tasy Kubra Zadah menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata,”Ini kaum Mu’tazilah”, sejak saat itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.[5]
Abdul Rozak juga mengutip pendapat dari Al-Mas’udi yang memberikan keterangan tentang asal usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil bin Atha’ dengan Hasan al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, karena berpendapat bahwa ornag yang berdosa bukanlah mukmin dan bukannpul kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). dalam artian, mereka memberikan status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.[6]
Manusia juga berselisih pendapat mengenai nama-nama dan hokum-hukum, maksudnya nama-nama istilah dalam agama, seperti muslim, mukmin, kafir, fasik, serta hokum-hukum yang berkaitan dengan mereka di dunia maupun di akhirat. Mu’tazilah sependapat dengan Khawarij mengenai hokum mereka di akhirat, tetapi tidak sependapat dengan Khawarij mengenai hokum mereka di dunia, dimana Mu’tazilah tidak menghalalkan darah dan harta para pelaku dosa besar, sebagaimana halnya Khawarij. Dalam masalah nama, Mu’tazilah membuat istilah baru yaitu manzilah baina al-manzilatain.[7]
Menurut Mu’tazilah, manusia bebas berbuat dan segala amal manusia harus diganjar Allah SWT. demi keadilan-Nya. Apabila manusia tiada bebas dalam melakukan amalnya, ini berarti Allah SWT. tidak adil. Siapapun yang taat maupun tidak taatmasing-masing akan memperoleh ganjaran atau balasan sesuai dengan sikap yang dipilihnya.[8]
Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama “Ashhabul ‘adl wat tauhid”, karena faham mereka ditujukan untuk mempertahankan keadilan Tuhan dan Ke-Esaan Tuhan secara murni.[9] Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.[10]

B.       Tokoh-tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya
Secara geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Mu’tazilah basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Mu’tazilah Basrah lebih dulu munculnya dibandingkan dengan aliran Mu’tazilah Baghdad.[11]
1.    Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim, dll. Ini berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin Sayyar (211 H) kemudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
2.    Di Bagdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Murdan, Ahmad bin Abi Daud,(w.240 H), Ja’far bin Mubasysyar (w.234 H), dan Ja’far bin Harib al-Hamdani (w. 235 H).[12]
Di Basrah dan di Bagdad, khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah:
1)   Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2)   Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3)   Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4)    Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)




Pemikiran Tokoh Mu’tazilah:
1)   Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M)
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Qadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2)   Abu Huzail al-Allaf (135-226 H/752-840 M)
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 226 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3)   Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M)
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4)   An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak qadim.         
5)   Al- jahiz
Al- jahiz: dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6)   Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad: Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7)    Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir: Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8)   Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar: al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9)   Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati: Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[13]

C.      Al-Ushul Al-Khamsah
Masalah-masalah yang menjadi pembahasan kaum Mu’tazilah terdiri dari lima pokok, yakni: tauhid (ke-Esaan Tuhan); al-‘adl (keadilan Tuhan); al-wa’dul wal wa’id (janji dan ancaman); manzilat antara dua manzilat; dan amar ma’ruf nahi munkar.[14] Faham dan ajaran Mu’tazilah disusun menurut urutan kedudukan dan kepentingannya.[15]
1.    At-Tauhid
Dasar pokok yang utama dari ajaran Islam adalah tauhid, meng-Esakan Allah. Untuk menjaga kemurnian tauhid itu Mu’tazilah mengajarkan; Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang qadim selain Dzat-Nya. Karena itu, sifat tidak dapat dipisahkan daripada Dzat-Nya sendiri. Al-Quran adalah makhluk karena kalamullah itu ada di luar Dzat Allah, segala sesuatu yang berada di luar Dzat Allah adalah makhluk dan tidak qadim.[16]
Sebenarnya, setiap madzhab teologis dalam Islam memegang doktrin (tauhid) ini. Namun, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha-esaan-Nya. Tuhanlah satu-satunya yang Esa, takada satupun yang menyamai-Nya.[17]
Di dalam bukunya, Abdul Rozak dan Rosihon Anwar mengutip pendapat dari Abi Al-Fath Muhammad Abd Al-Karim Asy-Syahrasiani yang menyatakan bahwa untuk memurnikan keesaan tuhan (tazih), mu’tazilah menolak konsep tuhan memiliki sifat-sifat, menggambarkan fisik tuhan (antromorfisme tajassum), dan tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan itu esa, tak ada satupun yang menyamai-NYA. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya. Namun, itu semua bukanlah sifat Allah, malainkan dzatnya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat tuhan itu qodim, maka yang qodim itu berarti ada dua, yaitu dzat dan sifatnya. Wasil bin Atha’ seperti yang dikutip oleh Asy-Syahrastani  mengatakan “siapa yang mengatakan sifat yang qadim, berarti telah menduakan tuhan”. Ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik.[18]
Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Mu’tazilah berlandaskan pada pernyataan Al-Quran yang berbunyi;
... }§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( ...  
“...tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, ...” (QS. Asy-Syuuraa: 11)[19]
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman tuhan. Mereka memalingkan arti kata-kata tersebut pada arti lain sehingga hilanglah kejisiman tuhan. Tentu saja, pemindahan arti ini tidakdilakukan secara semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan dalam bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, kata-kata tangan (Q.S. shad [38]: 75) diartikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S. Al Maidah [5]: 64) dapat diatikan nikmat. Kata wajah (Q.S. ar-Rahmah [55]: 27) diartikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha [20]: 5) diartikan kekuasaan.[20]
2.    Al-‘Adl
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adalah al-adl, yang berarti tuhan maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, Dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam senesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik(al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.[21]


Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain berikut ini:
a.    Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannta sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah buruk. Tuhan berlepas diri dari perbuatan yang buruk. Konsep ini memiliki konsekuensi loggis dengan keadilan Tuhan, yaitu, apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b.    Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi tuhan. Jika tuhan berlaku jahat pada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya tuhan juga tidak maha sempurna. Bahkan, menurut An-nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak baginya. Artinya, bila Tuhan tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak bijaksana,pelit,dan kasar/kejam.[22]
c.    Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban tuhan karena alasan-alasan berikut ini,
1)   Tuhan wajib berlaku bai kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)   Al-Qr’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia, (Q.S. Asy-Syu’ara [26]; 29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
3)   Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[23]
3.    Al-Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ketiga ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-Wa’ad wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak ada lagi bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhanmungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.[24]
4.    Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Aliran ini teerkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada tuhan. Bboleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan. Adapun pendapat Wasil bin Ata (pendiri mazhab Mu’tazilah)  lain lagi. Menurutnya, orang tersebut, berada diantara dua posisi (al-manszilah bain al-manzilatain), karena ajarn inilah, wasil bin ata dan sahabatnya amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya, hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.[25]
Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik. Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan pandangan Mu’tazilah sebagai berikut,
“ Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir, bukan pula munafik (hipokrit).” Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.[26]
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakn sebagai mukmin secara mutlak. Hal ini krena keimanan menuntut adanya kepatuhan kepada tuhan, tidak cukup hanya pengakuanndan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak karena ia masih percayya kepada tuhan, rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya saja kalau meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan bakal kekal di dalamnya. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasikpun dimasukkan ke neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Mengapa ia tiddak di masukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih rendah dari mukmin sejati? Tampaknya disini Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.[27]


5.    Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar). Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.[28]
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a.    Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
b.    Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.    Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madarat yang lebih besar.
d.    Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarah pun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pokok-pokok ajaran aliran Mu’tazilah berpusat pada kelima prinsip ajaran tersebut. Adapun pandangan aliran Mu’tazilah yang berkenaan dengan permasalahan dasar pemikiran alirannya antara lain:
a.    Pelaku dosa besar, Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar itu tidak mukmin dan tidak kafir, melainkan ada diantara dua posisi yaitu kafir dan mukmin atau al-manzilah bainal manzilataini, hukumnya sebagai orang yang fasik.
b.    Tentang imamah menurut Mu’tazilah hanya merupakan soal politik saja, sehingga seorang imam adalah penguasa politik bukan penguasa agama. Karena itu, untuk mengetahui syarat agama tidak perlu lewat seorang imam melainkan melalui al-Quran, al-sunnah, ijma’ dan qiyas.
c.    Terhadap kalam Allah (al-Quran) berpendapat bahwa itu bukan qadim atau kekal, tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. Sebagaimana dinyatakan oleh al-Nazzam bahwa kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Suara itu bersifat baharu, bukan bersifat kekal adalah ciptaan Tuhan. Juga al-Syahrastani dengan kuat mempertahankan pendapat bahwa al-Quran tidak bersifat qadim, tetapi diciptakan Tuhan dan memandang orang yang mengatakan al-Quran qadim menjadi kafir. Maka menurut kaum Mu’tazilah al-Quran diciptakan dan bukan kekal.
d.    Tentang sifat-sifat Tuhan, kaum Mu’tazilah meniadakan sifat Tuhan, yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendiri di luar zat Tuhan. Hal ini bukan berarti Tuhan tidak diberi sifat oleh Mu’tazilah, bagi mereka, Tuhan tetap Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Hidup, Maha Mendengar, dan sebagainya. Oleh karena itu, Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan menjadi dua bagian, yaitu:
1.    Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan disebut sifat Zatiah.
2.    Sifat-sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Tuhan disebut sifat fi’liyah.
           e.     Mengingkari bahwa Tuhan itu dapat dilihat dengan indera mata di akhirat.
       f.   Mengingkari pendapat yang mengatakan adanya arah bagi Tuhan dan mentakwilk ayat-ayat yang mempunyai persamaan Tuhan dengan manusia.
         g.  Mempercayai dengan ke-Esa-an yang mutlak dnegan menolak konsepsi-konsepsi dualisme dan trinitas tentang Tuhan.
 
D.      Awal Kemunculan dan Perkembangan al-Mihnah
Kata Al-Mihnah diambil dari kata mahana, yahmanu, mahnan yang berarti cobaan, menguji, memeriksa. Secara bahasa kata Mihnah memiliki arti cobaan, ujian atau bala. Sedangkan secara istilah mihnah adalah ujian keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadis dan hukum sehubungan dengan permasalahan penciptaan al-Quran, Di antaranya adalah Ahmad bin Hambal (W.855M/240H), karena keteguhannya mempertahankan pendapat bahwa al-Quran adalah qadim (tidak diciptakan).
Dalam konteks Mu’tazilah, al Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah. Bagi qadli dan pejabat yang menerima paham ini maka putusannya dianggap sah, demikian halnya dengan kesaksian seorang saksi. Bagi mereka yang tidak menerima paham ini siksaanlah yang mereka terima.
Adapun peristiwa mihnah terjadi pada masa khalifah Abbasiyah yaitu khalifah al-Ma'mun (170H/785M – 218H/833M). Peristiwa mihnah tersebut terjadi selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Makmun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-Watsiq (W 232 H).
Al-Mihnah muncul seiring dengan adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik terhadap kaum Mu’tazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu makhluk Tuhan.
Gerakan al Mihnah ini merupakan implikasi doktrin ketauhidan Mu’tazilah di samping doktrin yang lain yaitu Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Logika yang mereka pakai adalah dengan meyakini ke-qadim-an al-Quran berarti telah berbuat syirik, syirik adalah dosa besar, dan dosa besar harus diberantas sampai keakar akarnya meski dengan kekerasan. Mereka berkeyakinan bahwa satu satunya sifat Tuhan yang betul betul tidak mungkin ada pada makhluknya adalah qadim, dengan keyakinan semacam ini tauhid akan murni dari syirik.
Jadi dapat dipahami bahwa al-Mihnah adalah suatu tuduhan atau introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Menurut riwayat, masalah al-Mihnah sudah muncul sebelum masa khalifah al-Ma’mun berkuasa. Masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Ja’ad ibn Dirham, akan tetapi tidak berkembang karena ia segera dibunuh oleh Khalid ibnu Abdullah, Gubernur Kufah. Hal yang sama dialami oleh al-Jahm ibnu Safwan.
Dalam historis lainnya, paham kemakhlukan al-Quran ini sudah ada sejak masa Marwan bin Muhammad (Khaalifah terakhir dinasti Umayah). Paham ini dimunculkan buat pertama kali oleh al Ja’d bin Dirham, dari dialah Jaham bin Shafwan mengambil paham ini. Dalam perkembangan selanjutnya ketika Mu’tazilah telah menjadi paham resmi negara/pemerintah, doktrin kemakhlukan al-Quran ini menjadi issu yang sangat dominan. Mu’tazilah mencapai masa kejayaannya pada masa tiga khalifah Abbasiyah al Makmun, Al Mu’tashim dan al Watsiq sejak tahun 813 s/d 847 M, pada masa inilah gencar gencarnya gerakan al Mihnah.
Gerakan al Mihnah ini diawali dengan instruksi al Makmun kepada gubernur Baghdad Emier Ishaq bin Ibrahim tahun 218/833. Dalam suratnya ia menjelaskan hal hal yang mendorongnya mengeluarkan instruksi itu. Surat yang sama juga beliau kirimkan kepada Gubernur Mesir, Kaidar, sehingga beliau menguji/menyelidiki Abdullah al Zuhri qodli Mesir kala itu.
Sasaran al Mihnah dalam instruksi pertama ini adalah para qadli, para pejabat peradilan juga para saksi dalam perkara yang dimajukan dalam pengadilan, karena ini merupakan syarat sahnya putusan pengadilan. Instruksi kedua dikirim lagi kepada Ishaq bin Ibrahim untuk menguji tujuh ulama ahli hadits, yaitu Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zuhair bin Harb, Ismail bin Dawud, Ismail bin Abi Mas’ud dan Ahmad bin al Dauraqi. Dalam pengujian itu mereka semua menerima paham kemakhlukan al-Quran. Instruksi ketiga dikirim kepada Ishaq untuk menguji para pejabat pemerintah, fuqaha dan muhadditsin. Dari pengujian tersebut kebanyakan mereka memberikan jawaban yang tidak tegas menerima atau menolak, mungkin ini dilakukan untuk menghindari siksaan. Diantara yang berbuat demikian adalah Basyar bin al Walid, Ali bin Abi Muqatal, Ahmad bin Hambal dan Ibnu al Baka’.
E.  Masa Berakhirnya al-Mihnah
Khalifah Makmun tidak puas dengan jawaban para qadli dan muhadditsin yang tidak tegas menyatakan Al-Quran adalah makhluk, sehingga Ishaq mengumpulkan lagi 30 orang terdiri dari qodli, muhadditsin dan fuqaha’. Kebanyakan mereka mengakui kemakhlukan al-Quran kecuali empat orang saja; Ahmad bin Hambal, Sajadah, Qawadiri dan Muhammad bin Nuh. Mereka dibelenggu dan disiksa, akhirnya tingal dua orang saja yang bertahan Ahmad bin Hambal dan Muhammad bin Nuh.
Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, pelaksanaan al-Mihnah dibagi kepada empat macam tingkatan:
Pertama, mereka yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan.
Kedua, Mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah. Ketiga, Jika masih tetap menolak akan dicambuk dan dirantai kemudian dimasukkan ke dalam penjara.
Keempat, Proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung.
Tindak kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M. Pengganti al Makmun adalah al Mu’tashim (833 842 M). Ia adalah tokoh yang kurang memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat. Ia tetap menahan dan memenjarakan Ahmad ibn Hambal selama 18 bulan. Kemudian Ahmad ibn Hambal dikeluarkan dan dibebaskan untuk menyampaikan fatwa sampai al-Mu’tashim meninggal dunia.
Khalifah berikutnya al Watsiq (842 847 M). Di awal pemerintahannya ia menampakkan kekerasannya seperti al Makmun, namun pada akhir pemerintahannya ia berbalik dan menyesali semua tindakannya, bahkan ia berusaha menghapuskan gerakan al Mihnah dan paham kemakhlukan al-Quran ini.
Berbeda dengan ayahnya, ia sangat menaruh perhatian terhadap bidang ilmiah dan teologi, sehingga ada yang mengindetikkannya dengan khalifah al-Ma’mun dan bahkan lebih besar dari al-Ma’mun. Karena ia dalam melaksanakan tindakan al-Mihnah itu lebih ketat, bahkan memperlakukan para penentangnya dengan sangat kasar. Ahli fiqh seperti Yusuf ibn Yahya al-Buwaity, Ahmad ibn Nasir dan Naim ibn Hammad adalah termasuk orang-orang yang mati dalam penganiayaan yang dilakukan oleh al-Watsiq. Namun kepada ibn Hambal, ia agak lunak, karena hanya membatasinya untuk tidak bertemu dengan siapapun serta tidak boleh tinggal di tempat al-Watsiq menetap. Akibatnya, Hambal mengurung diri hingga ia meninggal dunia.
Namun pada perkembangan selanjutnya al-Watsiq pun menyesali segala tindakan kekerasan yang berkaitan dengan pemaksaan paham kemakhlukan Alquran, al-Watsiq pada akhir hayatnya berusaha menghapuskan al-Mihnah, karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam riwayat dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan al-Watsiq, para penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq sendiri telah bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad ibn Ishak al-Azraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mengapa melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi? Mendengar keterangan seperti itu, al-Watsiq terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia tahun 847 M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena aliran Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun 847 M. Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Mihnah berkembang pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, yang menggunakan tindakan pemeriksaan bahkan penyiksaan untuk menyebarkan paham tentang kemakhlukan Alquran.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
1.    Asal Kemunculan Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Mereka adalah pengikut dari Abul Husail Washil bin Atha’ yang memisahkan diri dari gurunya yang bernama Hasan al-Basri. Masalah pertama yang menjadikan mereka berpisah dari Hasan al-Basri adalah masalah “murtakibil kabirah” yaitu membincangkan kedudukan orang yang melakukan dosa besar. Persoalan ini muncul pada saat seorang bernama Washil bin Atha’ berada di dalam majelis gurunya bernama Hasan. Di dalam kesempatan ini Washil berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar adalah fasik, yakni suatu posisi yang berada diantara dua keadaan, maksudnya orang itu bukan mukmin juga tidak kafir .
2.    Tokoh Mu’tazilah
1)   Wasil bin Atha (80-131 H/699-748 M)
2)   Abu Huzail al-Allaf (135-226 H/752-840 M)
3)   Al-Jubba’i (wafat 303 H/915 M)
4)   An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
5)   Al- jahiz
6)   Mu’ammar bin Abbad
7)   Bisyr al-Mu’tamir
8)   Abu Musa al-Mudrar
9)   Hisyam bin Amr al-Fuwati
3.    Al-Ushul al-Khomsah
a.    At-tauhid
b.    Al-‘adl
c.    Al-wa’d wa al-wa’id
d.    Al-manzilah bain al-manzilatain
e.    Al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy an munkar
4.    Asal Kemunculan al-Mihnah
Al Mihnah adalah suatu pemeriksaan, penyelidikan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadli dan para pejabat pemerintah serta tokoh masyarakat untuk mengakui paham kemakhlukan al-Quran sebagaimana dianut oleh kaum Mu’tazilah.
Al-Mihnah muncul seiring dengan adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik terhadap kaum Mu’tazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu makhluk Tuhan.
5.    Masa Berakhirnya al-Mihnah
Pada masa pemerintahan al-Watsiq, para penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq sendiri telah bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad ibn Ishak al-Azraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mendengar keterangan seperti itu, al-Watsiq terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia tahun 847 M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena aliran Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun 847 M. Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
B.     Kritik
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran yang tergolong ekstrim namun tingkatannya tidak terlalu parah. Tentang peristiwa mihnah, seharusnya tidak terjadi karena salah satu paham yakni mengenai Al-Quran adalah makhluk, tidak pantas dijadikan alasan untuk menyebut orang-orang yang tidak mendukung mereka dengan sebutan kafir apalagi menyiksa dan membunuh semua orang yang tidak mendukung paham tersebut. Hal ini merupakan salah satu ciri aliran yang sesat.


DAFTAR RUJUKAN


Depag RI, Al-Quran dan Terjemah, Semarang: Karya Toha Putra, 2002.
Depdikbud, Ensiklopedi islam 3, Jakarta, 2002.
Gibb, H.A.R, dan Kramer, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden: EJ. Brill, 1974.
Muhammad Syak’ah, Musthafa, Islam Tanpa Mazhab, Terj. Abu Zaidan Al-Yamani & Abu Zahrah Al-Jawi, Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI. Press, 1986.
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.
Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Angkasa, 1987.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Al-Furqon baina ‘L-Haq wa ‘L-Bathil (Membedah Firqoh-Firqoh Sesat Cet. I) terj. Hawin Murtadlo, 2006.
Umary, Barmawy, Materia Akhlak, Solo: Ramadhani, 1991.
Mu’tazilah dan Pengaruhnya terhadap Dunia Islam dalam http://abdain.wordpress.com/2010/04/28/mutazilah-dan-pengaruhnnya-terhadap-dunia-islam/ diakses pada 06/11/2013, 21:23 WIB



 

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............