CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sunday 8 June 2014

AL-KINDI DAN AR-RAZI



AL-KINDI DAN AR-RAZI



Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Sejarah Pemikiran Islam

 Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Mujamil, M.Ag





Oleh:

Maimunatun Habibah

NIM:2846134024




PROGRAM PASCA SARJANA

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG

2014

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Al-Kindi
1.    Biografi dan Karya-karya al-Kindi
Al-Kindi nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Al-Shabbah ibn ‘Imran ibn Muhammad ibn al-‘Ash’as ibn Qais Al-Kindi, dikenal sebagai filosuf  muslim keturunan Arab pertama. Nama Al-Kindi dinisbatkan kepada Kindah, kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Lahir di Kufah sekitar 185 H/801 M dari keluarga terhormat. Ayahnya, Ishaq ibn al-Shabbah merupakan gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rashid (786-809 M). Ayahnya wafat ketika ia masih  kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu  dengan baik di Bashrah dan Baghdad.
Al-Kindi mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani ‘Abbasiyyah. Pada masa kecilnya sempat merasakan masa pemerintahan khalifah  Harun Al-Rashid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim. Ketika Al-Rashid wafat pada tahun 193 H./809 M. Al-Kindi masih berumur 9 tahun.
Al-kindi memperoleh pendidikan di Basrah, mempelajari Al-Quran, membaca, menulis, dan berhitung. Kemudian melanjutkan ke Baghdad, Ibukota kerajaan Bani Abbas sekaligus menjadi jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Al-Kindi termasuk orang yang pandai dalam berbagai disiplin ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu kedokteran, filsafat, ilmu hitung, mantiq (logika), geometri, astronomi, dan lain-lain.Ilmu-ilmu yang berasar dari Yunani juga ia pelajari, dan salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan saat itu ia kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani.
Pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat, sehingga berhasil dipertemukan antara  ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani, dengan dilakukannya penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Ketika itu Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani. Karena alasan kejeniusan dan kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu’tazilah inilah, Al-Ma’mun mengajaknya bergabung dengan dengan kalangan cendikiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan karya Yunani.
Pada masa pemerintahan Al-Mu’tasim(menggantikan Al-Ma’mun pada tahun 218 H/833 M) Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tasim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Ma’mun menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
Al-Kindi merupakan seorang filosof islam yang produktif, menghasilkan berbagai karya yang ditulis dalam berbagai bidang ilmu, sekitar 270 buah. Sedangkan dalam bidang filsafat, diantaranya adalah:
1.    Al-Kindi ila Al-Mu’tasim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang filsafat pertama).
2.    Al-Falsafah al-Dakhilhah Wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah Wa Al-Muqtasah Wa Ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika).
3.    Fi Annahu La Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah (tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan matematika).
4.    Fi Qasd Aristhathalis fi al-Maqulah (tentang maksud-maksud Aristoteles dalam kategori-kategorinya).
5.    Fi Ma’iyyah Al-‘Ilm Wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu  pengetahuan dan klasifikasinya).
6.    Risalah fi Hudud al-Ashya’ Wa  Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya).
7.    Risalah fi Annahu Jawahir La Ajsam (tentang substansi-substansi tanpa badan).
8.    Fi ‘Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyyah (tentang ungkapan-ungkapan mengenai ide-ide komprehensif).
9.    Risalah al-Hikmiyyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual).
10.     Risalah fi al-Ibanah an al-‘illah al-Fa’ilah al-Qaribah li al-Kaun wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam dan kerusakan).
Dari sejumlah karya ini, merupakan bukti keluasan wawasan keilmuan Al-Kindi. Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin yang sangat mempengaruhi pemikiran eropa pada abad pertengahan.

2.    Pandangan al-Kindi tentang Filsafat
Karangan-karangan al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna isyilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat.
Al-Kindi meninjau filsafat secara internal dan eksternal. Secara internal, ia bermaksud mengikuti pendapat filosuf-filosuf besar tentang arti kata filsafat. Adapaun secara eksternal, ia bermaksud memberikan sendiri definisi filsafat. Berikut ini adalah definisi-definisi yang disajikan oleh al-Kindi dari para filsuf terdahulu:
a.         Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, philo (sahabat) dan sophia (kebijaksanaan). Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan.
b.         Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia.
c.         Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya banyak oranga bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan.
d.         Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan.
e.         Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya.
f.          Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya.
Dari beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) segala sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, ilmu tentang semua cara meraih maslahat dan menghindar dari madharat. Seorang filsuf tidak hanya memperoleh kebenaran tetapi juga mengamalkan yang diperolehnya.
Sebagai perintis filsafat murni dalam dunia Islam, al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Pemikiran filsafat al-Kindi dipengaruhi oleh:
a)    Pemikiran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah filsafat.
b)   Pemikiran Aristoteles dalam fisika dan metafisikanya dan berbeda pendapat mengenai qadimnya alam/kekekalan alam.
c)    Pemikiran Plato dan Aristoteles dalam etikanya
d)   Pemikiran Plato dalam kejiwaannya
e)    Wahyu dan iman dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
f)     Pemikiran Mu’tazilah dalam menekan rasio dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

 


3.    Filsafat dan Agama Menurut al-Kindi
Menurut al-Kindi filsafat dan al-Qur’an tidak bertentangan. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa filsafat. Mempelajari filsafat dan berfilsafat itu bukan hal yang dilarang. Justru filsafat itu yang dapat mengantarkan ke arah kemajuan. Selain itu, teologi adalah bagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi. Hal ini berarti bahwa belajar filsafat itu diwajibkan.
Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu. Dengan tegas al-Kindi mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat.
Lebih lanjut, menurut al-Kindi filsafat ialah pengetahuan tentang yang benar. Pada titik inilah terlihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Tujuan ini sama dengan tujuan filsafat. Agama-di samping wahyu-mempergunakan akal dan filsafat juga menggunakan akal. Yang Benar Pertama bagi al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat, dengan demikian, membahas soal Tuhan dan dengan ini pula agama mendasarkan argumentasinya.

4.    Filsafat Jiwa al-Kindi
Menurut al-Kindi, jiwa-jiwa manusia berasal dari jiwa-dunia. Al-Kindi merasa kesulitan menjelaskan persemayaman jiwa manusia yang bersifat spiritual dalam tubuh manusia yang sifatnya temporal-material. Bagi al-Kindi, jiwa (ruh) itu tidak tersusun, tetapi punya arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irasccible), dan daya berpikir (cognitive). Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya bernafsu dan pemarah dikaitkan dengan tubuh. Hal ini karena dalam pandangan al-Kindi, daya bernafsu dan pemarah ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian jiwa hewani yang berkaitan dengan badan, sementara yang pertama demi membantu penyempurnaanya. Sehingga tidak mengherankan ketika ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan adalah sebagai pengatur hawa nafsu. Bagi al-Kindi badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang jiwa menentangnya. Dengan perantara ruhlah manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Disini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa adalah merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
Selanjutnya al-Kindi membagi akal menjadi tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Akal yang bersifat potensial tidak bias mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu masih ada satu lagi macam akal, yaitu akal yang selamanya dalam aktualitas.

B.  Ar-Razi
1.    Biografi dan Karya-karya ar-Razi
Nama lengkap ar-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi. Ia dilahirkan di Rayy, dipropinsi Khurasan dekat Teheran, pada tahun 864 M, ini menurut Harun Nasution dalam bukunya filsafat dan mistisme dalam islam, akan tetapi berbeda dengan H.A Mustafa yang mengatakan bahwa tahun kelahiran ar-Razi pada tahun 865.  ar-Razi berguru kepada Ali bin Rabban ath-Thabari ia adalah seorang dokter dan filsuf. Guru inilah yang menumbuhkan dan membesarkan minat ar-Razi yang akhirnya ia menjadi filsuf besar sekaligus seorang dokter yang cukup ternama.
Tidak ada kepastian kapan ar-Razi meninggal. Tahun meninggalnya biasa ditulis 250 H/854 M - 313 H/925 M atau sekitar 323 H/935 M. Kematangan pemikirannya, dengan demikian, sejajar dengan periode dimana pemikiran Islam mencapai kematangan diberbagai bidang. Tahun-tahun yang sama menjadi saksi puncak perkembangan Mu’tazilah, berakhirnya putaran pertama “gerakan penerjemahan” kristalisasi filsafat, dan Neoplatonisme Isma’iliyah. Dalam konteks maraknya (perkembangan) intelektual inilah filsafat ar-Razi dan ide-ide heretiknya harus dilihat.
Ar-Razi banyak menulis buku-buku kedokteran Ath-Thibb al-Mansur dipersembahkan kepada gubernur al-Mansur; Al-Hawi, ensiklopedi ilmu kedokteran yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1279 dengan judul Contines dan dicetak ulang berkali-kali dan buku tersebut menjadi refrensi di eropa sampai abad ke-17. Karya ar-Razi lainnya yang masih dapat kita jumpai meskipun hanya terhimpun dalam kitab yang dikarang orang lain adalah al-Tibb al-Ruhani, al-Shirat al-Falsafiyah, Amarat Iqbal al-Daulah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-Ibn al-Ilahi, makalah fi Mabad al-Tabiah, al-Syukur ‘ala Proclas, dll.

2.    Filsafat Lima Kekal ar-Razi
Ar-Razi adalah filsuf muslim yang beraliran rasionalis murni. Ia sangat mempercayai dan mendewakan akal. Akal menurut ar-Razi mempunyai kedudukan yang kebih tinggi dan akal bergerak bebas. Dalam pandangannya dengan kekuatan akal manusia dapat melakukan dan mengetahui apa yang baik dan yang buruk bagi dirinya, dapat membuat hidupnya jauh lebih baik serta mengenal hal-hal sembunyi. Hal inilah ar-Razi memberikan kebebasan gerak akal dan tidak boleh dibatasi atau mengekang akal. Apapun keputusan yang diambil oleh manusia harus sesuai dengan akal.
Pemikiran filsafat ar-Razi sebenarnya bertumpu pada doktrin “lima kekal” yaitu Tuhan, jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut. Dari lima kekal tersebut, ada dua yang hidup dan bergerak yaitu  Tuhan dan ruh, sedangkan yang pasif dan hidup adalah materi pembentuk wujud, sedang yang tidak hidup, tidak bergerak, tidak pasif adalah kehampaan dan keberlangsungan.
Pokok-pokok pemikiran Ar-Razi metafisika
a)    Tuhan
Tuhan bersifat sempurna dan Maha Bijaksana. Ia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini keluar dari-Nya sebagai sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Ia mengetahui segala hal dengan sempurna. Pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia yang dibatasi pengalaman, Ia mengetahui segala sesuatu tanpa dibatasi oleh pengalaman.
Namun demikian, seperti yang dikatakan oleh Zainul Hamdi yang mengutip dari Madjid Fakhry bahwa ar-Razi tidak mengajukan pembuktian apa pun tentang kekekalan Pencipta dan jiwa. Oleh karena itu, keabadian jiwa dan pencipta harus dinyatakan telah diajukan oleh ar-Razi sebagai sebuah pernyataan aksiomatik.
b)   Roh atau jiwa
Tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apapun, tetapi ia memutuskan penciptaannya setelah pada mulanya tidak berkehendak untuk tidak menciptakannya. Siapakah yang membuatnya untuk melakukan yang demikian itu? Di sini mesti ada keabadian lain yang membuat ia memutuskan. Apakah keabadian lain itu? Keabadian lain itu adalah ruh yang hidup, tetapi ia bodoh.
Ketertarikan ruh pada materilah yang menandakan ia bodoh. Sekalipun ia asalnaya hidup dan bergerak, ia selalu berusaha untuk menyatu dengan materi dan tertarik dengan berbagai kesenangan jasmani. Sampai-sampai ia lupa bahwa kebahagiaan yang sebenarnya bukan terletak pada penyatuan dengan materi. Berkat cahaya akal, ia sadar nasibnya yang sejati dan terdorong untuk mencari tempatnya di dunia akali yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.
c)    Materi
Materi pertama menurut ar-Razi berbentuk atom-atom yang masing-masing mempunyai volume. Dunia ini tersusun dari atom-atom. Atom yang paling padat adalah tanah, yang agak jarang adalag atom air, yang semakin jarang adalah atom udara, dan yang palin jarang adalah atom api. Ketika dunia dihancurkan ia akan terpisah dalam bentuk atom-atom.
Paling tidak ada dua alasan bahwa materi pertama itu kekal. Pertama, penciptaan tidak hanya mensyaratkan seorang pencipta yang mendahuluinya, tetapi juga sebuah subtratum atau materi, dimana tindakan tersebut melekat karena creatio ex nibilio tidak dapat diterima secara logika. Kedua, jika tuhan telah menciptakan sesuatu dari ketiadaan, maka ia harus menciptakan sesuatu yang paling sederhana dan cepat. Penciptaan sesuatu dari ketiadaan lebih mudah daripada menyusunnya. Pencipta bijaksana tentu tidak akan melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuannya kecuali jika Dia tidak mampu melaksanakannya karena Tuhan teryata tidak melakukan hal yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa alam ini diciptakan  dari materi yang telah mendahuluinya sejak semula.

d)   Ruang
Ruang adalah sebuah locus atau tempat keberadaan materi. Dalam arti bahwa setiap materi membutuhkan ruang. Karena materi itu kekal tentu membutuhksn ruang yang kekal pula. Ruang disini adalah sebuah konsep yang abstrak yang berbeda dengan konsep “tempat” –Nya Aristoteles yang tidak bisa dipisahkan secara logis dengan tubuh.
Ar-Razi membedakan ruang menjadi dua, ruang universal  (absolut) dan ruang relatif (partikular). Ruang univeral tidak terbatas dan tidak tergantung pada dunia dan segala yang ada didalamnya, sedang ruang relatif terikat dengan wujud yang menempatinya. Ruang partikular tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi yang merupakan ensensi yang sejati.
Jika seseorang mengatkan bahwa ruang ini terbatas, maka batasnya adalah wujud yang berada diluar dan karena setiap wujud yang terbatas, dan yang tidak terbatas adalah kekal sehingga ruang itu kekal. Sebagai yang tidak tergantung pada tubuh dan kepada ukuran, maka ruang ini tidak dapat dipisahkan dari tubuh alam semesta dan karena itu  bersifat terbatas. Konsekuensinya adalah jika Aristoteles memustahilkan kekosongan, maka Ar-Razi justru sebaliknya.
e)    Waktu
Ar-Razi membedakan antara masa absolut (ad-dahr) dengan massa terbatas  (al-awaql). Yang pertama kekal, sedangkan yang kedua tidak kekal karena yang kedua terikat  dengan gerakan falak sehingga dapat dihitung dan disifati dengan angka. Sedangkan waktu absolut terlepas sama sekali dari alam semesta dan gerakan falak. Ia tidak bermula dan tidak berakhir. Yang pertama dibayangkan sebagai sesuatu yang tidak dapat diukur dan tak terbatas, yang merupakan perlangsungan dunia akali, yang berbeda dengan perlangsungan dunia inderawi, sedangkan yang kedua dapat diukur dan terbatas.
Untuk memahami masa absolut, kita harus meninggalkan gerak falak dan timbul-tenggelamnya matahari. Selanjutnya, kita memusatkan pikiran dan perhatian kepada konsep murni tentang gerak keabadian  sehingga terbayang masa absolut. Waktu absolut ini, sebagaiman kekosongan yang terbatas, hanya dapat dipahami secara intuitif terlepas dari ukuran dunia dan perlangsungan.
Inilah juga perbedaan Aristoteles dan ar-Razi. Yang terakhir mengatakan bahwa waktu semacam gerak atau deretan bilangan sehingga relativitas waktu tergantung secara logis pada gerak pada umumnya  dan gerak falak pada kususnya. Menurut ar-Razi gerak tidaklah menghasilkan waktu, tetapi hanya menyingkap atau memperlihatkan waktu sehingga secara esensial, kedua tetap berada.

3.    Teologi ar-Razi
Meskipun ar-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan. Hanya ia tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Berikut alasan ar-Razi membantah terhadap kenabian:
a)        Akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi?
b)        Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c)        Ajaran para nabi saling bertentangan. Mereka saling menjunjung tinggi ajaran nabinya masing-masing sehingga terjabak pada fanatisme buta dan menolak ajaran nabi yang lain sehingga menimbulkan pertentangan, bahkan pembunuhan yang berakibat pada kesengsaraan manusia.
d)        Penerimaan ajaran-ajaran yang dibawa nabi, tidak lebih dari sekedar tradisi dan akibat ari kekuasaan yang dimiliki oleh para pemuka agama atau karena terpengaruh oleh upacara keagamaan yang memikat perasaan orang yang traf pemikirannya masih sederhana.
Ar-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, dan bahkan menolak al-Qur’an sebagai mukjizat baik bahasa maupun kandungan isinya dan menegaskan adanya kemungkinan menulis yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik.
Ar-Razi lebih suka buku-buku ilmiah dibandingkan dengan kitab suci. Menurutnya, penulis-penulis buku ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi. Berdasarkan pikiran-pikirannya yang nakal tersebut, tidak mengherankan jika ia sampai dikecam sebagai kafir.




0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............