AL-KINDI DAN AR-RAZI
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Sejarah
Pemikiran Islam
Dosen Pengampu:
Prof.
Dr. H. Mujamil, M.Ag
Oleh:
Maimunatun
Habibah
NIM:2846134024
PROGRAM PASCA SARJANA
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
2014
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Al-Kindi
1.
Biografi dan
Karya-karya al-Kindi
Al-Kindi
nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Al-Shabbah ibn ‘Imran ibn
Muhammad ibn al-‘Ash’as ibn Qais Al-Kindi, dikenal sebagai filosuf muslim keturunan Arab pertama. Nama Al-Kindi
dinisbatkan kepada Kindah, kabilah terkemuka pra-Islam yang merupakan
cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.
Lahir di Kufah sekitar 185 H/801 M dari keluarga terhormat. Ayahnya, Ishaq ibn
al-Shabbah merupakan gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (775-785 M)
dan Al-Rashid (786-809 M). Ayahnya wafat ketika ia masih kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh
kesempatan untuk menuntut ilmu dengan
baik di Bashrah dan Baghdad.
Al-Kindi mengalami masa pemerintahan lima khalifah Bani
‘Abbasiyyah.
Pada masa kecilnya sempat merasakan masa pemerintahan khalifah Harun Al-Rashid yang terkenal sangat
memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim.
Ketika Al-Rashid wafat pada tahun 193 H./809 M. Al-Kindi masih berumur 9 tahun.
Al-kindi
memperoleh pendidikan di Basrah, mempelajari Al-Quran, membaca, menulis, dan
berhitung. Kemudian melanjutkan ke Baghdad, Ibukota kerajaan Bani Abbas
sekaligus menjadi jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Al-Kindi termasuk
orang yang pandai dalam berbagai disiplin ilmu yang ada pada waktu itu, seperti
ilmu kedokteran, filsafat, ilmu hitung, mantiq (logika), geometri,
astronomi, dan lain-lain.Ilmu-ilmu yang berasar dari Yunani juga ia pelajari,
dan salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan saat itu ia kuasai
dengan baik yaitu bahasa Suryani.
Pada
masa pemerintahan Al-Ma’mun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat
pesat, sehingga berhasil dipertemukan antara
ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani,
dengan dilakukannya penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam
bahasa Arab. Ketika itu Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang
mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa
Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.
Karena alasan kejeniusan dan kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu’tazilah
inilah, Al-Ma’mun mengajaknya bergabung dengan dengan kalangan cendikiawan yang
bergiat dalam usaha pengumpulan karya Yunani.
Pada masa pemerintahan Al-Mu’tasim(menggantikan Al-Ma’mun
pada tahun 218 H/833 M) Al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi guru pribadi
pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tasim. Pada masa inilah Al-Kindi
berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa Al-Ma’mun menerjemahkan
kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
Al-Kindi
merupakan seorang filosof islam yang produktif, menghasilkan berbagai karya
yang ditulis dalam berbagai bidang ilmu, sekitar 270 buah. Sedangkan dalam
bidang filsafat, diantaranya adalah:
1.
Al-Kindi ila Al-Mu’tasim Billah fi al-Falsafah al-Ula (tentang
filsafat pertama).
2.
Al-Falsafah al-Dakhilhah Wa al-Masa’il al-Manthiqiyyah Wa Al-Muqtasah
Wa Ma Fawqa al-Thabi’iyyah (tentang filsafat yang diperkenalkan dan
masalah-masalah logika dan muskil, serta metafisika).
3.
Fi Annahu La Tanalu al-Falsafah illa bi ‘ilm al-Riyadhiyyah
(tentang filsafat tidak dapat dicapai kecuali dengan ilmu pengetahuan dan
matematika).
4.
Fi Qasd Aristhathalis fi al-Maqulah (tentang maksud-maksud
Aristoteles dalam kategori-kategorinya).
5.
Fi Ma’iyyah Al-‘Ilm Wa Aqsamihi (tentang sifat ilmu pengetahuan dan klasifikasinya).
6.
Risalah fi Hudud al-Ashya’ Wa
Rusumiha (tentang definisi benda-benda dan uraiannya).
7.
Risalah fi Annahu Jawahir La Ajsam (tentang substansi-substansi
tanpa badan).
8.
Fi ‘Ibarah al-Jawami’ al-Fikriyyah (tentang ungkapan-ungkapan
mengenai ide-ide komprehensif).
9.
Risalah al-Hikmiyyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tilisan
filosofis tentang rahasia-rahasia spiritual).
10.
Risalah fi al-Ibanah an al-‘illah al-Fa’ilah al-Qaribah li al-Kaun
wa al-Fasad (tentang penjelasan mengenai sebab dekat yang aktif terhadap alam
dan kerusakan).
Dari sejumlah karya ini, merupakan bukti keluasan wawasan keilmuan
Al-Kindi. Bahkan beberapa karyanya telah diterjemahkan kedalam bahasa latin
yang sangat mempengaruhi pemikiran eropa pada abad pertengahan.
2.
Pandangan
al-Kindi tentang Filsafat
Karangan-karangan
al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam
memberikan batasan-batasan makna isyilah-istilah yang dipergunakan dalam
terminologi ilmu filsafat.
Al-Kindi
meninjau filsafat secara internal dan eksternal. Secara internal, ia bermaksud
mengikuti pendapat filosuf-filosuf besar tentang arti kata filsafat. Adapaun
secara eksternal, ia bermaksud memberikan sendiri definisi filsafat.
Berikut ini adalah definisi-definisi yang disajikan oleh al-Kindi dari para
filsuf terdahulu:
a.
Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, philo (sahabat) dan
sophia (kebijaksanaan). Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan.
b.
Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan tuhan
sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia.
c.
Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati
adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai
keutamaan. Oleh karenanya banyak oranga bijak terdahulu yang mengatakan bahwa
kenikmatan adalah suatu kejahatan.
d.
Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan
kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan.
e.
Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya.
f.
Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan
bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya.
Dari
beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan
pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu
sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan.
Menurut al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) segala
sesuatu menurut kesanggupan manusia, yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu
keesaan, ilmu keutamaan, ilmu tentang semua cara meraih maslahat dan menghindar
dari madharat. Seorang filsuf tidak hanya memperoleh kebenaran tetapi juga
mengamalkan yang diperolehnya.
Sebagai
perintis filsafat murni dalam dunia Islam, al-Kindi memandang filsafat sebagai
ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas
ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia
melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala
kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan agama dan merupakan
bagian dari kebudayaan Islam.
Pemikiran
filsafat al-Kindi dipengaruhi oleh:
a)
Pemikiran Pitagoras tentang matematika sebagai jalan ke arah
filsafat.
b)
Pemikiran Aristoteles dalam fisika dan metafisikanya dan berbeda
pendapat mengenai qadimnya alam/kekekalan alam.
c)
Pemikiran Plato dan Aristoteles dalam etikanya
d)
Pemikiran Plato dalam kejiwaannya
e)
Wahyu dan iman dalam hubungannya dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
f)
Pemikiran Mu’tazilah dalam menekan rasio dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an.
3.
Filsafat dan
Agama Menurut al-Kindi
Menurut
al-Kindi filsafat dan al-Qur’an tidak bertentangan. Kebenaran yang diberitakan
wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa filsafat. Mempelajari
filsafat dan berfilsafat itu bukan hal yang dilarang. Justru filsafat itu yang
dapat mengantarkan ke arah kemajuan. Selain itu, teologi adalah bagian dari
filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.
Hal ini berarti bahwa belajar filsafat itu diwajibkan.
Bagi
al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu
atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan
wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan
tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi
wahyu. Dengan tegas al-Kindi mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan
dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan
kehidupan akhirat.
Lebih
lanjut, menurut al-Kindi filsafat ialah pengetahuan tentang yang benar. Pada
titik inilah terlihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan agama ialah
menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Tujuan ini sama dengan tujuan
filsafat. Agama-di samping wahyu-mempergunakan akal dan filsafat juga
menggunakan akal. Yang Benar Pertama bagi al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat,
dengan demikian, membahas soal Tuhan dan dengan ini pula agama mendasarkan
argumentasinya.
4.
Filsafat Jiwa
al-Kindi
Menurut
al-Kindi, jiwa-jiwa manusia berasal dari jiwa-dunia. Al-Kindi merasa kesulitan
menjelaskan persemayaman jiwa manusia yang bersifat spiritual dalam tubuh
manusia yang sifatnya temporal-material. Bagi al-Kindi, jiwa (ruh) itu tidak
tersusun, tetapi punya arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya berasal
dari substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya
dengan matahari.
Al-Kindi
membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah
(irasccible), dan daya berpikir (cognitive). Sekalipun ketiga
daya tersebut merupakan daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi
sering hanya merujuk daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan
jiwa, sedang daya bernafsu dan pemarah dikaitkan dengan tubuh. Hal ini karena
dalam pandangan al-Kindi, daya bernafsu dan pemarah ada semata-mata untuk
pertumbuhan dan pelestarian jiwa hewani yang berkaitan dengan badan, sementara
yang pertama demi membantu penyempurnaanya. Sehingga tidak mengherankan ketika
ia menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan adalah sebagai pengatur
hawa nafsu. Bagi al-Kindi badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang jiwa
menentangnya. Dengan perantara ruhlah manusia memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya. Disini jelas bahwa yang dimaksud dengan jiwa adalah merujuk pada
daya berpikir atau rational faculty.
Selanjutnya
al-Kindi membagi akal menjadi tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial,
akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Akal yang bersifat potensial tidak bias
mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar.
Oleh karena itu masih ada satu lagi macam akal, yaitu akal yang selamanya dalam
aktualitas.
B.
Ar-Razi
1.
Biografi dan
Karya-karya ar-Razi
Nama
lengkap ar-Razi adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi. Ia dilahirkan
di Rayy, dipropinsi Khurasan dekat Teheran, pada tahun 864 M,
ini menurut Harun Nasution dalam bukunya filsafat dan mistisme dalam islam,
akan tetapi berbeda dengan H.A Mustafa yang mengatakan bahwa tahun kelahiran
ar-Razi pada tahun 865. ar-Razi berguru kepada Ali bin Rabban
ath-Thabari ia adalah seorang dokter dan filsuf.
Guru inilah yang menumbuhkan dan membesarkan minat ar-Razi yang akhirnya ia
menjadi filsuf besar sekaligus seorang dokter yang cukup ternama.
Tidak
ada kepastian kapan ar-Razi meninggal. Tahun meninggalnya biasa ditulis 250
H/854 M - 313 H/925 M atau sekitar 323 H/935 M. Kematangan pemikirannya, dengan
demikian, sejajar dengan periode dimana pemikiran Islam mencapai kematangan
diberbagai bidang. Tahun-tahun yang sama menjadi saksi puncak perkembangan
Mu’tazilah, berakhirnya putaran pertama “gerakan penerjemahan” kristalisasi
filsafat, dan Neoplatonisme Isma’iliyah. Dalam konteks maraknya (perkembangan)
intelektual inilah filsafat ar-Razi dan ide-ide heretiknya harus dilihat.
Ar-Razi
banyak menulis buku-buku kedokteran Ath-Thibb al-Mansur dipersembahkan
kepada gubernur al-Mansur; Al-Hawi, ensiklopedi ilmu kedokteran yang
telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin pada tahun 1279 dengan judul Contines
dan dicetak ulang berkali-kali dan buku tersebut menjadi refrensi di eropa
sampai abad ke-17.
Karya ar-Razi lainnya yang masih dapat kita jumpai meskipun hanya terhimpun
dalam kitab yang dikarang orang lain adalah al-Tibb al-Ruhani, al-Shirat
al-Falsafiyah, Amarat Iqbal al-Daulah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-Ibn
al-Ilahi, makalah fi Mabad al-Tabiah, al-Syukur ‘ala Proclas, dll.
2.
Filsafat Lima
Kekal ar-Razi
Ar-Razi
adalah filsuf muslim yang beraliran rasionalis murni. Ia sangat mempercayai dan
mendewakan akal. Akal menurut ar-Razi mempunyai kedudukan yang kebih tinggi dan
akal bergerak bebas. Dalam pandangannya dengan kekuatan akal manusia dapat
melakukan dan mengetahui apa yang baik dan yang buruk bagi dirinya, dapat
membuat hidupnya jauh lebih baik serta mengenal hal-hal sembunyi. Hal inilah
ar-Razi memberikan kebebasan gerak akal dan tidak boleh dibatasi atau mengekang
akal. Apapun keputusan yang diambil oleh manusia harus sesuai dengan akal.
Pemikiran
filsafat ar-Razi sebenarnya bertumpu pada doktrin “lima kekal” yaitu Tuhan,
jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut. Dari lima
kekal tersebut, ada dua yang hidup dan bergerak yaitu Tuhan dan ruh, sedangkan yang pasif dan hidup
adalah materi pembentuk wujud, sedang yang tidak hidup, tidak bergerak, tidak
pasif adalah kehampaan dan keberlangsungan.
Pokok-pokok pemikiran Ar-Razi metafisika
a)
Tuhan
Tuhan bersifat sempurna dan Maha
Bijaksana. Ia tidak mengenal istilah lupa. Hidup ini keluar dari-Nya sebagai
sinar terpancar dari sang surya. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Ia
mengetahui segala hal dengan sempurna. Pengetahuan Tuhan tidak seperti
pengetahuan manusia yang dibatasi pengalaman, Ia mengetahui segala sesuatu
tanpa dibatasi oleh pengalaman.
Namun demikian, seperti yang
dikatakan oleh Zainul Hamdi yang mengutip dari Madjid Fakhry bahwa ar-Razi
tidak mengajukan pembuktian apa pun tentang kekekalan Pencipta dan jiwa. Oleh
karena itu, keabadian jiwa dan pencipta harus dinyatakan telah diajukan oleh
ar-Razi sebagai sebuah pernyataan aksiomatik.
b)
Roh atau jiwa
Tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan apapun, tetapi ia
memutuskan penciptaannya setelah pada mulanya tidak berkehendak untuk tidak
menciptakannya. Siapakah yang membuatnya untuk melakukan yang demikian itu? Di
sini mesti ada keabadian lain yang membuat ia memutuskan. Apakah keabadian lain
itu? Keabadian lain itu adalah ruh yang hidup, tetapi ia bodoh.
Ketertarikan ruh pada materilah yang menandakan ia bodoh. Sekalipun
ia asalnaya hidup dan bergerak, ia selalu berusaha untuk menyatu dengan materi
dan tertarik dengan berbagai kesenangan jasmani. Sampai-sampai ia lupa bahwa
kebahagiaan yang sebenarnya bukan terletak pada penyatuan dengan materi. Berkat
cahaya akal, ia sadar nasibnya yang sejati dan terdorong untuk mencari
tempatnya di dunia akali yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.
c)
Materi
Materi pertama menurut ar-Razi berbentuk atom-atom yang masing-masing
mempunyai volume. Dunia ini tersusun dari atom-atom. Atom yang paling padat
adalah tanah, yang agak jarang adalag atom air, yang semakin jarang adalah atom
udara, dan yang palin jarang adalah atom api. Ketika dunia dihancurkan ia akan
terpisah dalam bentuk atom-atom.
Paling tidak ada dua alasan bahwa materi pertama itu kekal. Pertama,
penciptaan tidak hanya mensyaratkan seorang pencipta yang mendahuluinya, tetapi
juga sebuah subtratum atau materi, dimana tindakan tersebut melekat karena creatio
ex nibilio tidak dapat diterima secara logika. Kedua, jika tuhan
telah menciptakan sesuatu dari ketiadaan, maka ia harus menciptakan sesuatu
yang paling sederhana dan cepat.
Penciptaan sesuatu dari ketiadaan lebih mudah daripada menyusunnya. Pencipta
bijaksana tentu tidak akan melaksanakan apa yang lebih jauh dari tujuannya
kecuali jika Dia tidak mampu melaksanakannya karena Tuhan teryata tidak
melakukan hal yang demikian, maka dapat disimpulkan bahwa alam ini
diciptakan dari materi yang telah
mendahuluinya sejak semula.
d)
Ruang
Ruang
adalah sebuah locus atau tempat keberadaan materi. Dalam arti bahwa
setiap materi membutuhkan ruang. Karena materi itu kekal tentu membutuhksn
ruang yang kekal pula. Ruang disini adalah sebuah konsep yang abstrak yang
berbeda dengan konsep “tempat” –Nya Aristoteles yang tidak bisa dipisahkan
secara logis dengan tubuh.
Ar-Razi
membedakan ruang menjadi dua, ruang universal
(absolut) dan ruang relatif (partikular). Ruang univeral tidak terbatas
dan tidak tergantung pada dunia dan segala yang ada didalamnya, sedang ruang
relatif terikat dengan wujud yang menempatinya. Ruang partikular tidak dapat
dipahami secara terpisah dari materi yang merupakan ensensi yang sejati.
Jika
seseorang mengatkan bahwa ruang ini terbatas, maka batasnya adalah wujud yang
berada diluar dan karena setiap wujud yang terbatas, dan yang tidak terbatas
adalah kekal sehingga ruang itu kekal. Sebagai yang tidak tergantung pada tubuh
dan kepada ukuran, maka ruang ini tidak dapat dipisahkan dari tubuh alam
semesta dan karena itu bersifat
terbatas. Konsekuensinya adalah jika Aristoteles memustahilkan kekosongan, maka
Ar-Razi justru sebaliknya.
e)
Waktu
Ar-Razi
membedakan antara masa absolut (ad-dahr) dengan massa terbatas (al-awaql). Yang pertama kekal,
sedangkan yang kedua tidak kekal karena yang kedua terikat dengan gerakan falak sehingga dapat dihitung
dan disifati dengan angka. Sedangkan waktu absolut terlepas sama sekali dari
alam semesta dan gerakan falak. Ia tidak bermula dan tidak berakhir. Yang
pertama dibayangkan sebagai sesuatu yang tidak dapat diukur dan tak terbatas,
yang merupakan perlangsungan dunia akali, yang berbeda dengan perlangsungan
dunia inderawi, sedangkan yang kedua dapat diukur dan terbatas.
Untuk
memahami masa absolut, kita harus meninggalkan gerak falak dan
timbul-tenggelamnya matahari. Selanjutnya, kita memusatkan pikiran dan
perhatian kepada konsep murni tentang gerak keabadian sehingga terbayang masa absolut. Waktu
absolut ini, sebagaiman kekosongan yang terbatas, hanya dapat dipahami secara intuitif
terlepas dari ukuran dunia dan perlangsungan.
Inilah
juga perbedaan Aristoteles dan ar-Razi. Yang terakhir mengatakan bahwa waktu
semacam gerak atau deretan bilangan sehingga relativitas waktu tergantung
secara logis pada gerak pada umumnya dan
gerak falak pada kususnya. Menurut ar-Razi gerak tidaklah menghasilkan waktu,
tetapi hanya menyingkap atau memperlihatkan waktu sehingga secara esensial,
kedua tetap berada.
3.
Teologi ar-Razi
Meskipun
ar-Razi seorang rasionalis murni ia tetap bertuhan. Hanya ia tidak mengakui
adanya wahyu dan kenabian. Berikut alasan ar-Razi membantah terhadap kenabian:
a)
Akal sudah
memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat.
Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan
sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi?
b)
Tidak ada
keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab setiap
orang lahir dengan kecerdasan yang sama. Perbedaannya bukanlah karena pembawaan
alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan.
c)
Ajaran para
nabi saling bertentangan. Mereka saling menjunjung tinggi ajaran nabinya
masing-masing sehingga terjabak pada fanatisme buta dan menolak ajaran nabi
yang lain sehingga menimbulkan pertentangan, bahkan pembunuhan yang berakibat
pada kesengsaraan manusia.
d)
Penerimaan
ajaran-ajaran yang dibawa nabi, tidak lebih dari sekedar tradisi dan akibat ari
kekuasaan yang dimiliki oleh para pemuka agama atau karena terpengaruh oleh
upacara keagamaan yang memikat perasaan orang yang traf pemikirannya masih
sederhana.
Ar-Razi
juga mengkritik kitab-kitab suci, dan bahkan menolak al-Qur’an sebagai mukjizat
baik bahasa maupun kandungan isinya
dan menegaskan adanya kemungkinan menulis yang lebih baik dalam gaya yang lebih
baik.
Ar-Razi
lebih suka buku-buku ilmiah dibandingkan dengan kitab suci. Menurutnya,
penulis-penulis buku ilmiah ini telah menemukan kenyataan dan kebenaran melalui
kecerdasan mereka sendiri tanpa bantuan para nabi.
Berdasarkan pikiran-pikirannya yang nakal tersebut, tidak mengherankan jika ia
sampai dikecam sebagai kafir.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............