MAKALAH
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Imam
Fu’adi, M.Ag.
Disusun oleh :
Lia Hanifatur Rahmi
2846134017
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA
SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
DESEMBER
2013
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab,
menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad, sekitar tahun 599M. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah
binti Asad, dimana Asad merupakan keturunan dari Hasyim, sehingga menjadikan
Ali merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak
maupun ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi kesempatan baagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan fakirnya keluarga Ali memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya anak angkat. Hal ini juga untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi SAW sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil, Ali sudah bersama dengan Nabi SAW.
maupun ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi kesempatan baagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan fakirnya keluarga Ali memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya anak angkat. Hal ini juga untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi SAW sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil, Ali sudah bersama dengan Nabi SAW.
Ali adalah orang yang pertama menyatakan imannya dari kalangan anak-anak.
Sejak kecil, Ali dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, lidahnya amat fsih
berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam. Didikan langsung
dari Nabi SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir atau
syariah dan bathin atau tasawuf menjadikan Ali seorang pemuda yang sangat
cerdas, berani, dan bijak.
B. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
Pembunuhan Utsman
terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan dan rakyat. Peristiwa
itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Basrah
terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang
dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada
khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak
sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi
pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan
Utsman.
Khalifah Utsman
akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid
bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan
Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada
rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena
itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal
mereka.
Rombongan itu kembali
lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk
surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang berlari
kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut
memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang
khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah
menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang
saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam,
ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang
berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping
lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.
Peristiwa terbunuhnya
Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki
sejarah yang tak kunjung memuaskan. Sepeninggal Khalifah
Usman bin Affan dalam kondisi yang masih kacau, kaum muslimin meminta Ali bin
Abi Thalib untuk menjadi Khalifah . Akan tetapi ada bebarapa tokoh yang menolak
usulan tersebut diantaranya Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka menolak Ali
bin Abi Thalib pada umumnya adalah para gubernur atau pejabat yang berasal dari
keluarga besar Khalifah Usman bin Affan . Mereka menuntut pembunuh Khalifah
Usman bin Affan ditangkap terlebih dahulu. Setelah itu barulah masalah
pergantian pemimpin dibicarakan . Sebaliknya, pihak Ali bin Abi Thalib
berpendapat bahwa masalah kepemimpinan sebaiknya diselesaikan terlebih
dahulu. Seteleh itu, barulah pembunuh Khalifah Usman bin Affan dicari
bersama-sama. Perbedaan pendapat tersebut awal pecahnya persatuan kaum muslimin
saat itu. Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap diangkat sebagai khalifah
meskipun ada beberapa kalangan yang tidak tersedia mengakuinya.
Ali bin Abi Thalib
diangkat sebagai khalifah keempat di Masjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656
oleh Thalhah, Zubair, dan Sa’ad yang kemudian diikuti oleh banyak orang baik
dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, yang paling awal membaiat Ali adalah
Thalhah bin Ubaidillah. Secara
otomatis, mayoritas umat Islam mengakui kekhalifahannya. Ali bin Abi Thalib
merupakan saudara sepupu Nabi Muhammad SAW., suami anak perempuan nabi
(Fatimah) serta merupakan orang kedua atau ketiga yang beriman kepada Nabi. Ali
adalah sosok yang ramah, bersahabat, shaleh, dan pemberani.
Meskipun pembai’atan
Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan
kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah
terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan
Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di
antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid
bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan
diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin
Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terhadap Ali dan menyatakan menunggu
perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin
Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin
Raqis.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun
itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan,
sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan
situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu
‘anhaa.
C. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Meskipun keadaan
politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap
menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang
sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu
yang tersebar dan yang akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan. Ali
memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah kemudian melakukan beberapa kebijakankhalifah,
antara lain:
1. Mengganti pejabat yang kurang cakap
Khalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah
pemerintahan yang efektif dan bersih. Oleh karena itu, beliau kemudian
mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi,
pejabat-pejabat tersebut ternyata banyak yang berasal dari keluarga Khalifah
Usman bin Affan ( Bani Umayah ). Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah
yang tidak menyukai Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak
disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah
menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan
gubernur yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Syuriah, Muawiyah, juga diminta
meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan tidak mengakui
kekhalifahannya.
2. Membenahi keuangan negara (Baitul Mal)
Setelah mengganti para pejabat yang kurang cakap,
Khalifah Ali bin Abi Thalib kemudian menyita harta para pejabat tersebut yang
diperoleh secara tidak benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Baitul
Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Mengambil kembali tanah-tanah
yang dibagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang
syah, demikian juga hibah Utsman kepada siapapun yang tanpa alasan.
3. Memajukan Bidang Ilmu Bahasa
Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib memegang
pemerintahan , Wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu , penulisan
huruf hijaiyah belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah,
dhommah dan syaddah. hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Al-Qur'an
dan Hadits di daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan
Al-Qur'an dan Hadits. Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad
Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajarai
tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang
non Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu Al-Qur'an
dan Hadits.
4.
Bidang Pembangunan
Salah satu pembangunan yang mendapat
perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah pembangunan Kota
Kuffah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh
Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi , Kota Kufah kemudian berkembang
menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadits,ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan
lainya.
Banyak
pendukung dan kerabat Ali yang menasehatinya seupaya menangguhkan
tindakan-tindakan radikal sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang
mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayah.
Mereka membulatkan tantangan dan bangunlah Mu’awiyah melancarkan pemberontakan
memerangi Ali.
D. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian
penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga
kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan
Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
1. Perang Jamal
Aisyah, yang dikenal
mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang
sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman.
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah,
meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka
menunaikan umrah. Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah,
kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut
dan menghukum para pembunuh Utsman.
Penentangan yang
dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah
penuntasan hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk
diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan
mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah
pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam
salah satu bukunya, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan
bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali
dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia
menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan
harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Bagi
mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera
diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang
akan datang. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka
upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap
pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
Tentang penuntutan qishash
itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi
tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit.
Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat
di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan; “Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari
apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum
yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak
bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka sementara
mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas kalian.
Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana
yang kalian inginkan.
Khalifah Ali kelihatannya
ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama
dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk
mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan
lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala
situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu
pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak
keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman
bukanlah kriminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui
secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari
berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi
keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka
tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan
menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut
hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya
penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar
kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.
Karena perbedaan
pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari.
Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang
Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika
berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih
dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh
sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal
dunia.
Padahal saat itu,
Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali
sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali. Perang itu sendiri dimenangkan
oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban
dan menyolatkannya.
2. Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh
oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin
Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh
sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera
menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan
Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman
yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong. Barang
bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk
yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan
menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin
memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji
ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah.
Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan, bukan menolak pembaiatan
terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah,
ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama,
bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap
dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para
sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak
untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya,
lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.
Telah disinggung
sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap
pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus
menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan
pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang
para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang
menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini
semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para
pemberontak.
Dengan mengutip dari
al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka
pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh
Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat
itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan
Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Memang, Muhammad bin
Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan
Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur
Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk
mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman
meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan
meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan
mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar
mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan.
Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena
tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya
meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi
Bakar mendapatkan surat yang dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut
memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh
para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat
isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target
pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk
mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh. Mungkin
karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk
salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu
tersangka.
Kesaksian Nailah yang
menyatakan bahwa Muhammad bin Abi Bakar berada di rumah Utsman namun keluar
dari rumah sebelum terjadi pembunuhan Utsman, sudah menjadi bukti bahwa tuduhan
Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian,
sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah
mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah
untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu
tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu,
yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan,
sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat
sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut
tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak
ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian.
Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun
Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika
menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu
mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah
memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu.
Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya
selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin
Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat tersebut
sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang
diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya
mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil
tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di
Madinah waktu itu. Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang
antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah.
Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan
terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini
seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan
Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan
menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya
untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran
dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah
terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin
banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.
Singkatnya, peperangan
antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi.
Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak
menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima
puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah
itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga
seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di
Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan
Syiria. Perang pun terjadi. Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan
Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan
Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar
dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin
mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran
pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh
ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari
bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di
atas angina. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan
peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap
al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali
terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima
penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang
menyuruh Ali untuk menerimanya.
Kubu Ali yang berbeda
pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu
sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran,
namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais
al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang
nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij),
menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya.
Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah,
sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika
terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena
telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang
benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat
dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali
membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima
tahkim.
Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan
karena ingin mensucikan Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak
khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat
bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari
pihak Muawiyah.
Meskipun di kubu Ali
waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk
mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim).
Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya
sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak
Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari. Perundingan tersebut rencananya akan
dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang
menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
3. Gerakan kaum Khawarij
Setelah proses tahkim
berakhir dan kemenangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi
dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan
posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini
merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim
selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka
membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya
telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada
manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat
bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh
diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada
hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang
berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, “tidak
ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang
kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian
tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif
menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya
milik Allah.”
Ali mengajak mereka
berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang
tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan
ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari
kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi
sebagin dari mereka tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk
keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima
perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang
setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi.
Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru
dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra
seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil
menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan
Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan
sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali
maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang
amat militan, Abdurahman bin Mulzam.
Ada tiga hal mendasar
sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi
musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah
mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah
mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak
Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya
ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang
mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali
putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena
menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan
politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua
belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia.
Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak
berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah
berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu
ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal
memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan
anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar
karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta
bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas
untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke
tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar.
Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa
argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum
Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut
“Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali
tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya sebagai
Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi
Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah,
Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai
embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru
tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama
Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar
menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”.
Kemudian Ali membaca ayat,
“Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah” (QS. An-Nisa’: 21).
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena
menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi
persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah
tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang
menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari
pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah dan
mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang
dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi
dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang
justru diperintahkan Al Quran. Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar
dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing
mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan
keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah
dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan
tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta
bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu
kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan
lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan
menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.
DAFTAR
RUJUKAN
A. Syalabi, Sejarah
dan Kebuadayaan Islam 1, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997.
Amhazun, Muhammad, Fitnah
Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits
dan Imam al-Thabary Cet. I, terj. Dr. Daud Rasyid, Jakarta: LP2SI
al-Haramain, 1994.
Amin, Samsul
Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
Hitti,
Philip K., History of Arabs "From the Earliest Times to the Present”,
(Histori of Arab) terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah (Akar Konflik Umat Islam cet. I) terj. Jeje Zainudin
Abu Himam, Bandung: Persis Press, 2008.
Mahmud al-Aqqad, Abbas,
Kejeniusan Ali bin Abi Thalib cet. I, terj. Gazirah Abdi Ummah,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Nasution, Harun, Teologi
Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2002.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Muhammad Rahmatullah al-Muhyiddiny as-Salafy, Jas Merah: Jangan
Lupakan Sejarah dalam http://ra41039mail.blogspot.com/2011/11/800x600-normal-0-false-false-false-in-x.html?m=1 diakses tanggal 04/11/2013
Muhtar, Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam http://komed45.blogspot.com/2012/10/4-masa-khalifah-ali-bin-abi-thalib.html diakses pada tanggal
02/11/2013
Nizar A. Saputra, Analisis Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi Tahlib
dalam http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html diakses tanggal 02/22/2013
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............