CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sunday 8 June 2014

Ali bin Abi Thalib (Tantangan Aisyah, Thalhah dan Zubair bin Awwam)


MAKALAH


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam”


Dosen Pengampu:


Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag.


Disusun oleh :



Lia Hanifatur Rahmi

2846134017



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA SARJANA

INSTITUT  AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG

DESEMBER 2013


BAB II

PEMBAHASAN


A.  Biografi Ali bin Abi Thalib
Ali dilahirkan di Mekkah daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab, menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599M. Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan keturunan dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak
maupun ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi kesempatan baagi Nabi SAW karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan fakirnya keluarga Ali memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya anak angkat. Hal ini juga untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi SAW sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil, Ali sudah bersama dengan Nabi SAW.
Ali adalah orang yang pertama menyatakan imannya dari kalangan anak-anak. Sejak kecil, Ali dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, lidahnya amat fsih berbicara dan memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam. Didikan langsung dari Nabi SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir atau syariah dan bathin atau tasawuf menjadikan Ali seorang pemuda yang sangat cerdas, berani, dan bijak.

B.  Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
Pembunuhan Utsman terjadi akibat berbagai insiden yang mendera pemerintahan dan rakyat. Peristiwa itu diawali dengan pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Basrah terhadap kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai. Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.
Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Rombongan itu kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak  Utsman yang sedang berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.
Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu menyisakan banyak teka-teki sejarah  yang tak kunjung memuaskan. Sepeninggal Khalifah Usman bin Affan dalam kondisi yang masih kacau, kaum muslimin meminta Ali bin Abi Thalib untuk menjadi Khalifah . Akan tetapi ada bebarapa tokoh yang menolak usulan tersebut diantaranya Muawiyah bin Abi Sufyan. Mereka menolak Ali bin Abi Thalib pada umumnya adalah para gubernur atau pejabat yang berasal dari keluarga besar Khalifah Usman bin Affan . Mereka menuntut pembunuh Khalifah Usman bin Affan ditangkap terlebih dahulu. Setelah itu barulah masalah pergantian pemimpin dibicarakan . Sebaliknya, pihak Ali bin Abi Thalib  berpendapat bahwa masalah kepemimpinan sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu. Seteleh itu, barulah pembunuh  Khalifah Usman bin Affan dicari bersama-sama. Perbedaan pendapat tersebut awal pecahnya persatuan kaum muslimin saat itu. Akhirnya Ali bin Abi Thalib tetap diangkat sebagai  khalifah meskipun ada beberapa kalangan yang tidak tersedia mengakuinya.
Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai khalifah keempat di Masjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656 oleh Thalhah, Zubair, dan Sa’ad yang kemudian diikuti oleh banyak orang baik dari kalangan Anshar maupun Muhajirin, yang paling awal membaiat Ali adalah Thalhah bin Ubaidillah. Secara otomatis, mayoritas umat Islam mengakui kekhalifahannya. Ali bin Abi Thalib merupakan saudara sepupu Nabi Muhammad SAW., suami anak perempuan nabi (Fatimah) serta merupakan orang kedua atau ketiga yang beriman kepada Nabi. Ali adalah sosok yang ramah, bersahabat, shaleh, dan pemberani.
Meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un, Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan terhadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.

C.  Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Meskipun keadaan politik saat itu begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu yang tersebar dan yang akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan. Ali memindahkan pusat pemerintahan ke Kuffah kemudian melakukan beberapa kebijakankhalifah, antara lain:
1.    Mengganti pejabat yang kurang cakap
Khalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang efektif dan bersih. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata banyak yang berasal dari keluarga Khalifah Usman bin Affan ( Bani Umayah ). Akibatnya, makin banyak kalangan Bani Umayah yang tidak  menyukai Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Ali juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif diangkat menjadi penguasa Basrah menggantikan Ibnu Amir, dan Qais bin Sa’ad dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur yang dijabat oleh Abdullah. Gubernur Syuriah, Muawiyah, juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia menolak perintah Ali, bahkan tidak mengakui kekhalifahannya.
2.    Membenahi keuangan negara (Baitul Mal)
Setelah mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin Abi Thalib kemudian menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara tidak  benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagikan Usman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang syah, demikian juga hibah Utsman kepada siapapun yang tanpa alasan.
3.    Memajukan Bidang Ilmu Bahasa
Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan , Wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu , penulisan huruf hijaiyah belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dhommah dan syaddah. hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Al-Qur'an dan Hadits di daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Al-Qur'an dan Hadits. Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad Duali untuk mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilmu yang mempelajarai tata bahasa Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non  Arab dalam mempelajari sumber utama ajaran islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits.


4.    Bidang Pembangunan
Salah satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah pembangunan Kota Kuffah. Pada awalnya kota Kufah disiapkan sebagai pusat pertahanan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi , Kota Kufah kemudian berkembang  menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadits,ilmu nahwu dan ilmu pengetahuan lainya.
Banyak pendukung dan kerabat Ali yang menasehatinya seupaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayah. Mereka membulatkan tantangan dan bangunlah Mu’awiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.

D.  Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
1.    Perang Jamal
Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah, kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut dan menghukum para pembunuh Utsman.
Penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor utamanya adalah penuntasan hokum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam salah satu bukunya, Badri Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan terulang kembali di masa yang akan datang. Jika para pembunuh Utsman itu dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang bisa sering terjadi.
Tentang penuntutan qishash itu, menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah. Saat itu, Ali mengatakan; “Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka sementara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan  keburukan atas kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu sebagaimana yang kalian inginkan.
Khalifah Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka kekuatan hukum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat dilaksanakan dengan lancar. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan Khalifah Utsman bukanlah kriminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya datang dari berbagai kabilah dan suku yang berbeda.  Sangat rawan bagi Ali dan bagi keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.
Karena perbedaan pandangan antara kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia.
Padahal saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali. Perang itu sendiri dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi para korban dan menyolatkannya.
2.    Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya, Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah yang terpotong. Barang bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin memanas, tatkala datang utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah. Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan, bukan menolak pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama, bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim (para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk membaiatnya.
Telah disinggung sebelumnya, bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.
Dengan mengutip dari al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir, salah satunya mengangkat  Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran, Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan, Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh. Mungkin karena Muhammad bin Abi Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
Kesaksian Nailah yang menyatakan bahwa Muhammad bin Abi Bakar berada di rumah Utsman namun keluar dari rumah sebelum terjadi pembunuhan Utsman, sudah menjadi bukti bahwa tuduhan Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat. Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika menghadapi penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan, pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah. Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat tersebut sebenarnya memberi indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.  Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali, seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. Ibnu Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin, dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena pengaruh Muawiyah.
Singkatnya, peperangan antara kubu Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang pun terjadi.  Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun 36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37 H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka korban fisik tidak terhitung.
Pada minggu kedua dari bulan Safar, pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushap al-Quran sebagai isyarat untuk menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya (khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah. Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim. Kemungkinan cerita-cerita yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan Ali  dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab, perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.
Meskipun di kubu Ali waktu itu terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari. Perundingan tersebut rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.


3.    Gerakan kaum Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemenangan berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij. Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000 orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura. Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali itulah yang benar. Tetapi sebagin dari mereka  tetap bersikukuh pada pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah. Hingga akhirnya Ali tewas ditangan salah seorang Khawarij yang amat militan, Abdurahman bin Mulzam.
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan: Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai. Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib. Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia. Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”. Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”. Kemudian Ali membaca ayat,
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. An-Nisa’: 21).
Kedua, tuduhan bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah  dan mencari keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang justru diperintahkan Al Quran. Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir, dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir juga”.
  
DAFTAR RUJUKAN



A. Syalabi, Sejarah dan Kebuadayaan Islam 1, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997.
Amhazun, Muhammad, Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary Cet. I, terj. Dr. Daud Rasyid, Jakarta: LP2SI al-Haramain, 1994.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
Hitti, Philip K., History of Arabs "From the Earliest Times to the Present”, (Histori of Arab) terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah (Akar Konflik Umat Islam cet. I) terj. Jeje Zainudin Abu Himam, Bandung: Persis Press, 2008.
Mahmud al-Aqqad, Abbas, Kejeniusan Ali bin Abi Thalib cet. I, terj. Gazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2002.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2007.
Muhammad Rahmatullah al-Muhyiddiny as-Salafy, Jas Merah: Jangan Lupakan Sejarah dalam http://ra41039mail.blogspot.com/2011/11/800x600-normal-0-false-false-false-in-x.html?m=1  diakses tanggal 04/11/2013
Muhtar, Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam http://komed45.blogspot.com/2012/10/4-masa-khalifah-ali-bin-abi-thalib.html     diakses pada tanggal 02/11/2013
Nizar A. Saputra, Analisis Sejarah Pemerintahan Ali bin Abi Tahlib dalam http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/05/analisis-sejarah-pemerintahan-ali-bin.html   diakses tanggal 02/22/2013
 

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............