CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, 12 June 2014

Pemikiran Pendidikan Ibnu Rusyd


“Pemikiran Pendidikan Ibnu Rusyd”

MAKALAH
Revisi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah “Pemikiran Pendidikan Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. As’aril Muhajir, M.Ag.
Prof. Dr. H. Achmad Patoni, M.Ag.
      
              

   Disusun oleh :

                Lia Hanifatur Rahmi
               2846134017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA SARJANA

INSTITUT  AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG

FEBRUARI 2014


1.    Biografi dan Pendidikan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd lahir di Cordova, Spanyol pada tahun 520H dan wafat di Marrakesh, Maroko pada tahun 595H. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rushyd dan dikenal dengan nama Averroes di Barat. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang perintis ilmu jaringan tubuh. Karya-karyanya dalam bahasa Arab, kira-kira berjumlah 78 buah, masih tersimpan rapi di perpustakaan Escorial, Madrid, Spanyol.
Di masa Ibnu Rusyd, banyak karya Aristoteles yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan tulisan-tulisan Pseudo-Aristotelian telah dikenali. Perbedaan utama antara Ibnu Sina dengan Ibnu Rusyd adalah bahwa yang terakhir lebih memiliki pemahaman yang jelas dan luas tentang Aritstoteles. Aristoteles, bagi Ibnu Rusyd adalah pemikir yang sangat besar, filsuf terbesar yang pernah lahir, yang sama sekali tidak memiliki kesalahan dalam pikiran-pikirannya. Temuan-temuan baru dalam filsafat dan ilmu pengetahuan tidak ada perubahan yang signifikan dan substansial dari apa yang telah dielaborasi oleh Aristoteles. Ibnu Rusyd sangat mengagumi logika Aristoteles. Ia menyatakan, “Tanpanya, orang tidak bisa bahagia dan sungguh kasihan bahwa Plato dan Socrates telah menyia-nyiakannya”.[2]

2.    Karya-karya Ibnu Rusyd
Sejarah mencatat bahwa Ibn Rusyd adalah seorang sarjana yang sangat produktif. Ia rajin menimba ilmu dan mengamalkannya, membaca dan mengarang, sehingga tak satu malam pun berlalu tanpa guna, kecuali hanya dua malam saja, yaitu hari meninggal ayahnya dan malam perkawinannya.  Ia menulis sejak usia 34 tahun (usia paling pruduktif, tak menafikan bahwa beliau sudah menulis sebelum usia itu—pen.)dan tak pernah berhenti hingga menjelang wafatnya. Adalah Ernest Renan, setelah menjelajah ke berbagai perpustakaan Eropa, menemukan daftar karya-karya Ibn Rusyd di perpustakaan Escurial, Madrid yang berjumlah 78 buku yang terperinci sebagai berikut :
a.    28 buah dalam ilmu falfafat
b.    20 buah dalam ilmu kedokteran
c.    8 buah dalam ilmu hukum (fiqih)
d.    5 buah dalam ilmu teologi (kalam)
e.    4 buah dalam ilmu perbintangan (astronomi)
f.     2 buah dalam ilmu sastra Arab
g.    11 buah dalam berbagai ilmu.
Karya-karya tersebut hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, sebagian lagi sudah diterjemahkan ke bahasa Latin dan Yahudi.
Di antara karangan-karangan dalam soal filsafat yang tercatat adalah :
a.    Tahafut Al-Tahafut
b.    Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi an ‘Adami Ta’alluqihi bi Al-Juz’iyyat
c.    Tafsir Ma ba’da al-Thabiat
d.    Fasl Al-Maqal fi Ma baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min Al-Ittishal
e.    Al-Kasyfu an Manahij Al-Adillah fi Aqaid Ahli Al-Millah
f.      Naqdu Nadzariyat Ibn Sina an Al-Mumkin
g.    Risalah fi Al-Wujud Azali wa Al-Wujud Muaqqat
h.    Risalah fi Al-Aqli wa Al-Ma’qul.
Bidang Kedokteran
a.    Kitab Al-Kulliyat fi ath-Thibb (Culliyat Generalis). Ensiklopedi tersebut terdiri dari tujuh buku yang berhubungan dengan anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia medika, kesehatan, dan terapi umum.
b.    Syarh Urjuzat Ibn Sina fi Al-Thib (Comentary sur le Poeme Medical d’Ibn Sina Appele Ajuza)
c.    Al-Tiryaq (De la Theriaque)
d.    Risalah Al-Mufradat (De Simplicibus)
e.    Fi Al-Mijazi Al-Mu’tadil (De Temperamenst Equx un Traite)
dan lain-lain.
Bidang Fiqh
a.    Bidayat Al-Mujtahid wa Al-Nihayat Al-Muqtashid
b.    Mukhtashar Mustashfa bi Ushul Al-Fiqh
c.    Al-Da’awi
d.    Durus fi Al-Fiqh
e.    Kitab Al-Kharaj
dan lain-lain
Bidang Politik
a.    Jawami’ Siyasiyat Aflathun
b.    Talkhis Kitab Al-Ahlaq ila Niqumakhus
c.    Al-Kharaj
d.    Syarkh Aqidat Al-Imam Mahdi
e.    Makasib Al-Muluk wa Murabina Al-Muharram, dan lain-lain.[3]
Ibnu Rusyd juga menyusun satu karya tentang gerakan benda-benda langit dengan judul Kitab fi al-Harakah al-Aflak. Memperhatikan buku-buku di atas, maka karya-karya Ibn Rusyd dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan; komentar, kritik dan pendapat. Adapun komentar terbagi ke dalam tiga kategori; singkat (summary, jami’), sederhana (resume, talkhis), dan luas (comentary, syarh, tafsir).[4]
Dalam filsafat cara berfikir Ibnu Sina disempurnaka oleh Ibnu Rusyd. Sehingga pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Di dunia Islam sendiri Ibnu rusyd lebih terkenal sebagai seorang filusuf yang manentang Al ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat Al-ghazali adalah; tahafut-tahafut (reaksi atas buku Al ghazali), Tahafut fatasilah..Tetapi dalam dunia islam sendiri filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh besar. Malah karena isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama islam yang umum, Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Karena pendapatnya itu juga pernah dibuang oleh khalifah Abu yusuf dan diasingkan ke Lucena (Alisana).[5]
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa arab yang sampai kepada kita sekarang hanya sedikit. Sebagian adanya adalah buku-buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.

3.    Pemikiran Pendidikan Ibnu Rusyd
Konsep pendidikan Islam yang ditawarkan oleh Ibn Rusyd adalah sebuah pergulatan pemikiran pendidikan dalam perspektif teori pengetahuan, yaitu mewakili epistemologi burhani, bayani, dan Irfani. Hal itu telah terjadi sejak masa keemasan hingga sekarang. Teori  pengetahuan dalam perspektif burhani dikemukakan oleh Ibn Rusyd. Sementara perspektif bayani dipresentasikan oleh para fuqaha, yang terlembaga dalam diri Al-Ghazali. Epistemologi irfani dihadirkan oleh para pemikir tasawuf falsafi semacam Al-Shuhrawardi. Banyak yang berkesimpulan bahwa pemikiran Islam dan rasional pasca Ibn Rusyd terasa mati, disebabkan pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang dan terus mengalami kemunduran.[6]
a)    Konsep Pengetahuan Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1)   Epistemologi ini menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak.
2)   Teks yang dikaji pada epistemologi bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3)   Kajian dalam model epistemologi bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah  lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a)    Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b)   Mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.[7]
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan:
1)   Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiyas al-bayani; baik al-fiqh, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
2)   Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
3)   Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
4)   Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki  kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemologi bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap.
c)    Konsep Pengetahuan Burhani
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan).
Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.[8]
Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Jika dibandingkan dengan kedua epistemologi yang lain; bayani dan irfani, dimana bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untuk meembangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani  lebih bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.
Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan berbeda. Aristoteles menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya sekaligus komentator utamanya yang bernama Alexander Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika masuk ke dunia Arab Islam berganti nama menjadi burhani.[9]
Karakteristik Epistemologi Burhani
Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat di mana hakikat sebenarnya adalah  universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal  ini nampak sejalan dengan penjelasan Ibnu Rusyd bahwa “makna/’ datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Ibnu Rusyd memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai sibol pernyataan makna.
Mayor (al-hadd al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan dan darinya ditarik kesimpulan logis.
     Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.[10]
Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah) yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya dengan bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling popular di kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.[11]
Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran. Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selalu merujuk pada sepuluh kategori yaitu satu substansi (jauhar) yang menopang berdirinya Sembilan aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi, tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan  pernyataan  adalah dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini haruslah memuat unsure subyek (maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya, yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiadanya keragu-raguan dan persangkaan.
Untuk mendapatkan satu pengertian dan tiadanya keraguan dan persangkaan, maka pembuatan pernyataan harus mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis (genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal yang mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl (differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas (propirum) atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau sifat khusus yang tidak bisa  diterapkan pada semua benda.[12]
Tahapan penalaran; ini dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premismenjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat pasti (dlaruriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang  tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu daripada kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara putusan baru dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling berhubungan secara sistematis.[13]
d)   Konsep Pengetahuan Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.[14]
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi.
Analogi dalam manhaj ini mencakup :
a) Analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst;
b) Tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan
c) Surah dan ashkal.
Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi:
1)   Siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah, aql kully dan nafs al-kulliyah.
2)   Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.[15]
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

C.  ANALISIS TEMA DALAM PENGEMBANGAN PAI
Pemikiran para filsuf memiliki peran yang penting dalam pendidikan Islam. Setiap pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh para filsuf menjadi tolak ukur tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan dan dalam pengembangan pembelajaran yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pola pikir dari para filsuf diadaptasi oleh masyarakat khususnya para siswa untuk memperoleh pengetahuan. Dalam konteks pemikiran pendidikan Ibnu Rusyd, mengadopsi dari pemikiran Aristoteles.  Dalam pemikiran pendidikan Aristoteles, ia mengemukakan pengetahuan yang didapat dari rasional. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan teori perspektif Burhani yang bersifat rasionalis. Karena epistemologi burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, maka dalam pengembangan pembelajaran PAI sangat diperlukan hal yang semacam ini. Dengan adanya kesesuaian antara penalaran dengan pengalaman siswa, akan dapat meningkatkan pemahaman siswa. Setelah mendapat pengetahuan dari materi pelajaran dengan cara penalaran, siswa mengaplikasikannya dalam pengalaman. Apabila antara penalaran dan pengalaman tersebut terdapat kesesuaian, maka tujuan dari pengembangan pembelajaran PAI dapat dikatakan tercapai dengan baik. 

DAFTAR RUJUKAN

Abidin, Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2005.
Praja, Juhaya S., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, Bandung: Yayasan PIARA, 1997.
Wahyu, 99 Ilmuwan Muslim Perintis Sains Modern, Jogjakarta: Diva Press, 2010.
Muhammad Khofifi dan Lilis Chusnul Chotimah, Pola Pemikiran Ibnu Ruysd tentang Pendidikan Agama Islam dalam http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/ diakses tanggal 24/11/2013
Konsep Pendidikan Islam Menurut Empat Madzhab oleh Mustatir Inges dalam http://alfa-lover.blogspot.com/2012/09/konsep-pendidikan-islam-menurut-empat.html#!/2012/09/konsep-pendidikan-islam-menurut-empat.html diakses tanggal 21/11/2013
Burhani dalam http://citrariski.blogspot.com/2010/12/burhani.html diakses tanggal 24/11/2013



0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............