“Pemikiran Pendidikan Ibnu Rusyd”
MAKALAH
Revisi
Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
Lia Hanifatur
Rahmi
2846134017
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) PASCA
SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) TULUNGAGUNG
FEBRUARI
2014
1.
Biografi
dan Pendidikan Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd lahir di Cordova, Spanyol pada tahun 520H dan wafat di
Marrakesh, Maroko pada tahun 595H. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad
ibn Ahmad ibn Rushyd dan dikenal dengan nama Averroes di Barat. Dalam dunia
ilmu pengetahuan, Ibnu Rusyd dikenal sebagai seorang perintis ilmu jaringan
tubuh. Karya-karyanya dalam bahasa Arab, kira-kira berjumlah 78 buah, masih
tersimpan rapi di perpustakaan Escorial, Madrid, Spanyol.
2.
Karya-karya
Ibnu Rusyd
Sejarah mencatat bahwa
Ibn Rusyd adalah seorang sarjana yang sangat produktif. Ia rajin menimba ilmu
dan mengamalkannya, membaca dan mengarang, sehingga tak satu malam pun berlalu
tanpa guna, kecuali hanya dua malam saja, yaitu hari meninggal ayahnya dan
malam perkawinannya. Ia menulis sejak
usia 34 tahun (usia paling pruduktif, tak menafikan bahwa beliau sudah menulis
sebelum usia itu—pen.)dan tak pernah berhenti hingga menjelang wafatnya.
Adalah Ernest Renan, setelah menjelajah ke berbagai perpustakaan Eropa, menemukan
daftar karya-karya Ibn Rusyd di perpustakaan Escurial, Madrid yang berjumlah 78
buku yang terperinci sebagai berikut :
a. 28 buah dalam ilmu falfafat
b. 20 buah dalam ilmu kedokteran
c. 8 buah dalam ilmu hukum (fiqih)
d. 5 buah dalam ilmu teologi (kalam)
e. 4 buah dalam ilmu perbintangan (astronomi)
f. 2 buah dalam ilmu sastra Arab
g. 11 buah dalam berbagai ilmu.
Karya-karya tersebut
hanya sedikit yang sampai ke tangan kita, sebagian lagi sudah diterjemahkan ke
bahasa Latin dan Yahudi.
Di antara
karangan-karangan dalam soal filsafat yang tercatat adalah :
a. Tahafut Al-Tahafut
b. Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi an ‘Adami Ta’alluqihi bi Al-Juz’iyyat
c. Tafsir Ma ba’da al-Thabiat
d. Fasl Al-Maqal fi Ma baina Al-Hikmah wa Al-Syari’ah min Al-Ittishal
e. Al-Kasyfu an Manahij Al-Adillah fi Aqaid Ahli Al-Millah
f. Naqdu Nadzariyat Ibn Sina an Al-Mumkin
g. Risalah fi Al-Wujud Azali wa Al-Wujud Muaqqat
h. Risalah fi Al-Aqli wa Al-Ma’qul.
Bidang Kedokteran
a. Kitab Al-Kulliyat fi ath-Thibb (Culliyat Generalis). Ensiklopedi tersebut terdiri dari tujuh buku yang berhubungan dengan
anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, materia medika, kesehatan, dan
terapi umum.
b. Syarh Urjuzat Ibn Sina fi Al-Thib (Comentary sur le Poeme Medical d’Ibn
Sina Appele Ajuza)
c. Al-Tiryaq (De la Theriaque)
d. Risalah Al-Mufradat (De Simplicibus)
e. Fi Al-Mijazi Al-Mu’tadil (De Temperamenst Equx un Traite)
dan lain-lain.
Bidang Fiqh
a. Bidayat Al-Mujtahid wa Al-Nihayat Al-Muqtashid
b. Mukhtashar Mustashfa bi Ushul Al-Fiqh
c. Al-Da’awi
d. Durus fi Al-Fiqh
e. Kitab Al-Kharaj
dan lain-lain
Bidang Politik
a. Jawami’ Siyasiyat Aflathun
b. Talkhis Kitab Al-Ahlaq ila Niqumakhus
c. Al-Kharaj
d. Syarkh Aqidat Al-Imam Mahdi
e. Makasib Al-Muluk wa Murabina Al-Muharram, dan lain-lain.[3]
Ibnu Rusyd juga
menyusun satu karya tentang gerakan benda-benda langit dengan judul Kitab fi
al-Harakah al-Aflak. Memperhatikan buku-buku di atas, maka karya-karya Ibn
Rusyd dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan; komentar, kritik dan pendapat.
Adapun komentar terbagi ke dalam tiga kategori; singkat (summary, jami’),
sederhana (resume, talkhis), dan luas (comentary, syarh, tafsir).[4]
Dalam
filsafat cara berfikir Ibnu Sina disempurnaka oleh Ibnu Rusyd. Sehingga
pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Di dunia
Islam sendiri Ibnu rusyd lebih terkenal sebagai seorang filusuf yang manentang
Al ghazali. Bukunya yang khusus menentang filsafat Al-ghazali adalah; tahafut-tahafut
(reaksi atas buku Al ghazali), Tahafut fatasilah..Tetapi dalam dunia islam
sendiri filsafat Ibnu Rusyd tidak berpengaruh besar. Malah karena isi
filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama islam yang
umum, Ibnu Rusyd dianggap orang zindik. Karena pendapatnya itu juga pernah
dibuang oleh khalifah Abu yusuf dan diasingkan ke Lucena (Alisana).[5]
Ibnu
Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa arab yang sampai kepada
kita sekarang hanya sedikit. Sebagian adanya adalah buku-buku yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.
3.
Pemikiran
Pendidikan Ibnu Rusyd
Konsep pendidikan Islam yang ditawarkan oleh
Ibn Rusyd adalah sebuah pergulatan pemikiran pendidikan dalam perspektif teori
pengetahuan, yaitu mewakili epistemologi burhani, bayani, dan Irfani. Hal itu
telah terjadi sejak masa keemasan hingga sekarang. Teori pengetahuan
dalam perspektif burhani dikemukakan oleh Ibn Rusyd. Sementara perspektif
bayani dipresentasikan oleh para fuqaha, yang terlembaga dalam diri
Al-Ghazali. Epistemologi irfani dihadirkan oleh para pemikir tasawuf
falsafi semacam Al-Shuhrawardi. Banyak yang berkesimpulan bahwa pemikiran Islam
dan rasional pasca Ibn Rusyd terasa mati, disebabkan pintu ijtihad dan
rasionalisme tidak berkembang dan terus mengalami kemunduran.[6]
a) Konsep Pengetahuan Bayani
Epistimologi bayani adalah
pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah
teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni :
teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa
karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini
cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada
beberapa kritik yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi
titik kelemahan dari epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1) Epistemologi ini menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang
mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh
diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak.
2) Teks yang dikaji pada epistemologi bayani tidak
didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda
dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika,
meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk
diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3) Kajian dalam model epistemologi bayani ini tidak
diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya model berpikir
semacam ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan
ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang
dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini
dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir
pula; dan
b) Mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus
al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.[7]
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat
diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam
hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran
sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di
dalamnya.
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam
bayan:
1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan
mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi: a) al-qiyas
al-bayani; baik al-fiqh, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang
bersifat yaqin maupun tasdiq;
2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan
mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan
makna bathil;
3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang
tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan
tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
4) Bayan al-kitab, maksudnya media untuk
menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib
'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi
teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran
atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam
aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih,
lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang
semacam ini tidak memiliki kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik
kelemahan dari epistemologi bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan
mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang
berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada
pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah
teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar
Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik,
sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap.
c) Konsep Pengetahuan Burhani
Dalam bahasa Arab, al-burhan
berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear)
dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration,
yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member
isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan).
Dalam perspektif logika
(al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan
kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan
menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar
dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam
pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan
kebenaran suatu premis.[8]
Istilah burhani yang
mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan oleh
al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam
ma’rifi) yang menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki
pandangan dunia tertentu, tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.
Jika dibandingkan
dengan kedua epistemologi yang lain; bayani dan irfani, dimana
bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar
dan bertujuan untuk meembangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah
agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf
sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus
bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani lebih
bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di
dalam mencapai pengetahuan.
Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam
pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara
sistematis dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan
berbeda. Aristoteles menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni
metode yang menguraikan pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya,
sedangkan muridnya sekaligus komentator utamanya yang bernama Alexander
Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika masuk ke dunia
Arab Islam berganti nama menjadi burhani.[9]
Karakteristik
Epistemologi Burhani
Dalam memandang proses
keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat di mana hakikat
sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari
realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular
hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal ini nampak sejalan dengan
penjelasan Ibnu Rusyd bahwa “makna/’ datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab
makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran
pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Ibnu Rusyd
memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam
kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan
pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Jadi setiap ilmu burhani
berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain,
kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai
sibol pernyataan makna.
Mayor (al-hadd
al-akbar) untuk premis yang pertama dan premis minor (al-hadd
al-ashghar) untuk premis yang kedua, yang kedua-duanya saling berhubungan
dan darinya ditarik kesimpulan logis.
Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani
pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme
yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti
yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas)
dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua
proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam
pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.[10]
Berkaitan dengan cara
ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan tentang
silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan.
Silogisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan
bentukan dari kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan
pada kelompok, penghitungan dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas atau tepatnya adalah qiyas
jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi (qadliyah)
yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya
dengan bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada
sebuah konklusi yang meyakinkan. Metode ini paling popular di kalangan filsuf
Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan
dari satu argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang
diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga
pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh fakta akali. Jadi
silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme
yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan,
sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.[11]
Aplikasi dari bentukan
silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian (ma’qulat),
tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di sinilah
sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas
realitas hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu
gambaran. Sebagaimana Aristoteles, pengertian ini selalu merujuk pada sepuluh
kategori yaitu satu substansi (jauhar) yang menopang berdirinya Sembilan
aksidensi (‘ard) yang meliputi kuantitas, kualitas, aksi, passi, relasi,
tempat, waktu, sikap dan keadaan.
Tahapan pernyataan adalah
dalam rangka mengekspresikan pengertian tersebut dalam kalimat yang disebut
proposisi (qadliyah). Dalam proposisi ini haruslah memuat unsure subyek
(maudlu’) dan predikat (muhmal) serta adanya relasi antara keduanya,
yang darinya harus hanya mempunyai satu pengertian dan mengandung kebenaran
yaitu adanya kesesuaian dengan realitas dan tiadanya keragu-raguan dan
persangkaan.
Untuk mendapatkan satu
pengertian dan tiadanya keraguan dan persangkaan, maka pembuatan pernyataan
harus mempertimbangan al-alfadz al-khamsah yang ada dalam isagoge Aristoteles
atau yang biasa disebut dengan lima konsep universal yang terdiri dari jenis
(genus) yakni konsep universal yang mengandung suatu pengertian yang
masing-masing sama hakikatnya, nau’ (spises) yaitu konsep universal yang
mengandung satu pengertian tetapi masing-masing hakikatnya berbeda, fasl
(differentia) yaitu sifat yang membedakan secara mutlak, khas (propirum)
atau sifat khusus yang dimiliki oleh suatu benda tetapi hilangnya sifat ini
tidak akan menghilangkan eksistensi benda tersebut dan ard (aksidensi) atau
sifat khusus yang tidak bisa diterapkan pada semua benda.[12]
Tahapan penalaran; ini
dilakukan dengan perangkat silogisme. Sebuah silogisme harus terdiri dari dua
proposisi (al-muqaddimatani) yang kemudian disebut premismenjadi alasan
dalam penyusunan premis; kedua, adanya hubungan yang logis antara sebab
dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan harus bersifat
pasti (dlaruriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu.
Syarat pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas).
Sedang syarat ketiga merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana
kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang tak mungkin menimbulkan
kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika premis-premis
tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu daripada
kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).
Dalam perspektif tiga
teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola pikir burhani
tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi.
Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling
berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren
dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau
koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas hubungan antara putusan dengan
sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Dengan perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan antara
putusan baru dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan
kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan
saling berhubungan secara sistematis.[13]
d) Konsep Pengetahuan Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah;
metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan
al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan
mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; al-naql dan al-tawzif;
dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk
memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang
dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun
untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan
istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.[14]
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen
pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang
dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut
juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi
kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah
(analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan
melalui analogi-analogi.
Analogi dalam manhaj ini mencakup :
a) Analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2
= 2/4 = 4/8, dst;
b) Tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan
c) Surah dan ashkal.
Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan
bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari
mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan
justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula
mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah,
dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang
zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di
atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup
ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi
tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin
terbagi menjadi 3 segi:
1) Siyasi mubashar, yaitu memalingkan
makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu;
ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab
atau ideologi tertentu; dan metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada
gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah, aql
kully dan nafs al-kulliyah.
2) Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam
ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan
ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz
Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan
'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna
batinnya.
Contoh konkrit dari
pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan
diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan
pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan
yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.[15]
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan
contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita
pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam
kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua
orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan
dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya
bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat
intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut.
Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan
hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman".
Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir
ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk
uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang
diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
C.
ANALISIS
TEMA DALAM PENGEMBANGAN PAI
Pemikiran para filsuf memiliki peran yang penting dalam pendidikan Islam.
Setiap pemikiran pendidikan yang dikemukakan oleh para filsuf menjadi tolak
ukur tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan dan dalam pengembangan
pembelajaran yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pola pikir dari para
filsuf diadaptasi oleh masyarakat khususnya para siswa untuk memperoleh
pengetahuan. Dalam konteks pemikiran pendidikan Ibnu Rusyd, mengadopsi dari
pemikiran Aristoteles. Dalam pemikiran
pendidikan Aristoteles, ia mengemukakan pengetahuan yang didapat dari rasional.
Oleh karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan teori perspektif Burhani yang
bersifat rasionalis. Karena epistemologi burhani menuntut penalaran yang
sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya,
juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, maka dalam pengembangan
pembelajaran PAI sangat diperlukan hal yang semacam ini. Dengan adanya kesesuaian
antara penalaran dengan pengalaman siswa, akan dapat meningkatkan pemahaman
siswa. Setelah mendapat pengetahuan dari materi pelajaran dengan cara
penalaran, siswa mengaplikasikannya dalam pengalaman. Apabila antara penalaran
dan pengalaman tersebut terdapat kesesuaian, maka tujuan dari pengembangan
pembelajaran PAI dapat dikatakan tercapai dengan baik.
DAFTAR
RUJUKAN
Abidin,
Zainal, Ahmad, Riwayat Hidup Ibnu Rusyd, Filosuf Islam terbesar di Barat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hamdi,
Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004.
Muslih, Muhammad, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2005.
Praja,
Juhaya S., Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Suatu Pengantar, Bandung:
Yayasan PIARA, 1997.
Wahyu,
99 Ilmuwan Muslim Perintis Sains Modern, Jogjakarta: Diva Press, 2010.
Muhammad
Khofifi dan Lilis Chusnul Chotimah, Pola Pemikiran Ibnu Ruysd tentang
Pendidikan Agama Islam dalam http://khofif.wordpress.com/2010/04/29/pola-pemikiran-ibnu-rusyd-tentang-pendidikan-agama-islam-2/ diakses
tanggal 24/11/2013
Konsep
Pendidikan Islam Menurut Empat Madzhab oleh Mustatir Inges dalam http://alfa-lover.blogspot.com/2012/09/konsep-pendidikan-islam-menurut-empat.html#!/2012/09/konsep-pendidikan-islam-menurut-empat.html diakses tanggal 21/11/2013
Burhani
dalam http://citrariski.blogspot.com/2010/12/burhani.html diakses tanggal 24/11/2013
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............