A. LAHIRNYA ORGANISASI ISLAM MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi sosial islam yang terpenting di Indonesia sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai saat ini. Organisasi ini berdiri di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid – muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga yang bersifat permanen. Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Dalam pandangan Kiai Ahmad Dahlan, pemahaman keislaman di Tanah Air saat itu yang masih bersifat kolot akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Alquran dan hadis. Namun, ia menyadari bahwa upaya itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara saksama. Kerja sama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
B. PERAN ORGANISASI MUHAMMADIYAH DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Organisasi ini mempunyai maksud menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera,dan memajukan hal agama Islam kepada anggota – anggotanya. Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan :
1. Mengadakan dakwah Islam
2. Memajukan pendidikan dan pengajaran
3. Menghidup suburkan masyarakat yang tolong – menolong
4. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf
5. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda, supaya kelak menjadi orang Islam yang berarti
6. Berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.
7. Berusaha dengan sgala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
Dalam mengarahkan kegiatan – kegiatannya organisasi ini dalam tahun pertama tidak mengadakan pembagian tugas yang jelas di antara pengurus. Hal ini disebabkan karena ruang gerak yang masih sangat terbatas. KHA sendiri aktif bertabligh,aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah. Yakni aktif dalam memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti shalat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka. Sifat sosial dan pendidikan Muhammadiyah telah diletakkan pada masa-masa ini.
Daerah Operasi Muhammadiyah mulai diluaskan setelah tahun 1917. Pada tahun itu BU mengadakan konggresnya di Yogyakarta (malahan rumah KHA Dahlan dijadikan sebagai pusat dari konggres tersebut) ketika mana KHA Dahlan telah dapat mempesona kongres itu melalui tabligh yang dilakukannya sehingga pengurus Muhammadiyah menerima permintaan dari berbagai tempat di Jawa untuk mendirikan cabang-cabangnya. Untuk maksud ini anggaran dasar dari organisasi itu yang membatais diri pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja, haruslah terlebih dahulu diubah. Ini dilakukan pada tahun 1920 ketika mana bidang kagiatan Muhammadiyah diluaskan meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya (1921) seluruh Indonesia.
Perluasan ini dipermudah oleh beberapa faktor. Pribadi KHA Dahlan dan caranya ia berpropaganda dengan memperlihatkan toleransi dan pengertian kepada pendengarnya sangat memberikan bantuan untuk memperoleh sambutan yang memuaskan. Mereka yang mengenal pembaharuan di Mesir melihat pula pada Muhammadiyah jalan untuk menyebarkan pemikiran – pemikiran pembaharuan tersebut di Indonesia, dan oleh sebab itu memberikan bantuannya kepada organisasi ini. KHA Dahlan sendiri, sebenarnya telah mengetahui tentang pemikiran-pemikiran Abduh pada tahun 1912. Keputusan Ahmad Dahlan remaja untuk pergi berhaji dan tinggal di Makkah selama lima tahun, telah membawanya berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran tokoh pembaru Islam, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Ahmad Dahlan. Jiwa dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh aliran pembaharuan yang dibawa oleh para tokoh ini yang kelak kemudian hari melalui lembaga yang didirikannya, Muhammadiyah, ia mencoba melakukan pembaharuan terhadap pemahaman keagamaan (keislaman) di tanah air. Pembaharuan yang mula-mula ia lakukan, yaitu tentang praktek-praktek seperti kiblat dan kebersihan, kemudian dirangsang oleh pemikiran dari pembaru Mesir itu dan diperluas secara lambat laun kepada masalah-masalah fundamental misalnya tentang sudah tertutup atau masih terbuka saja pintu ijtihad.
Sekitar tahun 1920, tahun perluasan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta, manfaat dari persatuan dan dari organisasi pada umumnya telah diakui oleh sebagian besar kalangan Muslim di Indonesia. Dalam beberapa tempat kehadiran pedagang-pedagang Minangkabau yang merupakan hasil dari gerakan pembaharuan di Minangkabau sendiri, merupakan bantuan yang sangat berharga bagi Muhammadiyah. Jadi Nurul Islam di Pekalongan yang didirikan oleh para pedagang ini diubah menjadi sebuah cabang Muhammadiyah. Daerah Surabayapun telah mengenal dan tertarik kepada pemikiran-pemikiran itu sebagai hasil usaha seorang pedagang bernama Pakih Hasyim, yang dikenal sebagai Ulama Padang. Ia adalah salah seorang murid Haji Abdul Karim Amrullah. Dalam kota Surabaya berdiri Muhammadiyah, atas inisiatif ulama-ulama setempat, seperti Kiyai Haji Mas Mansur yang kemudian menjadi ketua umum dari organisasi ini, mendapatkan tanah yang subur di kalangan pengikut Pakih Hasyim.
Mudah dimengerti bahwa cabang utama yang pertama di luar Jawa didirikan di Minangkabau. Haji Rasul, yang sangat tertarik pada kegiatan Muhammadiyah itu pada kunjungannya ke Jawa pada tahun 1925 dan yang menyadari perlunya organisasi semacam itu untuk daerah asalnya, mengembangkan organisasi ini dengan mengubah sebuah organisasi lokal di tempat kelahirannya (Sendi Aman Tiang Selamat) menjadi cabang Muhammadiyah pada tahun yang sama. Dari sinilah Muhammadiyah itu menyebar ke seluruh daerah Minangkabau dengan bantuan dari bekas murid-muridnya.
Mulanya usaha memperkenalkan Muhammadiyah ke daerah Minangkabau memperoleh banyak tantangan dari pihak Sumatera Thawalib Padang Panjang yang dipengaruhi oleh orang-orang komunis. Memang seperti yang dikemukakan di atas, mulai tahun 1922 sampai masa penghancuran komunisme di daerah tersebut oleh pihak Belanda pada tahun 1927, Sumatera Thawalib di Padang Panjang berada di bawah pengaruh komunisme, dalam pengertian sikap yang radikal terhadap Belanda tetapi bukan merupakan suatu ideologi yang berdasar historis materialisme.
Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya dua golongan dalam Thuwalib, yaitu yang pro dan bergabung dengan pihak komunis dalam berjuang melawan Belanda, serta yng mengakui diri mereka yang sebagai termasuk dalam lingkungan gerakan Komunis di satu pihak, dan golongan lain yang anti komunis. Golongan anti komunis ini membatasi kegiatan mereka pada perjuangan pembaharuan pendidikan tanpa mempersoalkan kedudukan Belanda di Indonesia, sekurang-kurangnya tidak terlalu terbuka.
Sampai pada tahun 1927 golongan pro komunis mempunyai pengaruh besar di Sumatera Thawalib, sehingga Haji Rasul, salah seorang pendiri Sumatera Thawalib menolak untuk mengajar si lembaga tersebut, walaupun kemudian lembaga itu telah bersih dari unsur-unsur pro Komunis. Mungkin sekali usaha Haji Rasul memperkenalkan Muhammadiyah di daerah kelahirannya pada tahun 1925 didasarkan pada keyakinannya bahwa Thawalib sebagai suatu organisasi telah tidak dapat ditolong lagi. Mungkin pula karena alasan inilah hubungan antara Muhammadiyah dan Thawalib di Minangkabau tetap dingin sampai tahun 1927, walaupun dalam masalah-masalah agama kedua organisasi tersebut sebenarnya sepaham. Alasan lain mungkin terletak pada kenyataan bahwa Thawalib lebih banyak merupakan tempat. Sekurang-kurangnya sampai pada penumpasan Permi oleh Belanda pada tahun 1934, untuk kegiatan-kegiatan politik. Memang lembaga ini demikian halnya setelah berada di bawah pengawasan dan pembinaan Permi. Hubungan yang dingin antara kedua organisasi itu akhirnya pecah menjadi kecaman terbuka antara yang satu terhadap yang lain. Ini tercermin dalam pidato-pidato tokoh mereka masing-masing yang pada umumnya berkisar pada persoalan Islam dan Kebangsaan. Intinya, Thawalib (permi) sangat mengecam kalangan muhammadiyah yang tidak mempedulikan bidang politik, sedang di pihak lain Muhammadiyah menyesalkan golongan Thawalib (Permi) yang dirasakan tidak puas semata-mata dengan islam saja.
Pada tahun 1927, Muhammadiyah mendirikan cabang-cabang di Bengkulu, Banjarmasin, dan Amuntai, sedang pada tahun 1929 pengaruhnya tersebar ke Aceh dan Makassar. Muballigh-muballigh dikirim ke daerah-daerah tersebut dari Jawa atau dari Minangkabau untuk menyebarkan cita-cita Muhammadiyah. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa cabang-cabamg itu tidaklah hanya merupakan tempat berkumpul orang-orang yang mempunyai cita-cita yang sama. Memang hal ini terdapat juga, tetapi juga agar dapat diakui sebagai cabang gerakan muhammadiyah. Untuk itu, haruslah diadakan kegiatan yang bersifat permanen, yaitu dengan mendirikan sekolah, kursus-kursus yang teratur ataupun memlihara anak yatim piatu.
Kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah; (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha mambantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam, dan mendirikan klinik-klinik kesehatan.; (2) Aisyiyah, organisasi wanita Muhammadiyah, menitik beratkan perhatiannya pada kedudukan wanita sebagai ibu dan pendidik yang mempunyai tanggung jawab besar untuk memajukan masyarakat melalui asuhan dan didikan anak, dan mengkoordinir kegiatan remaja putri di dalam nasyiyatul aisyiyah; (3) hisbul wathan, berupa gerakan kepanduan muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1918 oleh KHA Dahlan; (4) Majlis Tarjih, yang didirikan atas dasar keputusan kongrres Muhammadiyah di Pekalongan pada tahun 1927. Fungsi dari majelis ini adalah mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah-masalah tertentu yang dipertikaikan oleh masyarakat muslim.
Pada tahun 1925 organisasi ini telah mempunyai 29 cabang-cabang dengan 4000 orang anggota, sedangkan kegiatan-kegiatannya dalam bidang pendidikan meliputi delapan Hollands Inlands School, sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah sekolah dasar lima tahun, sebuah schakelschool, 14 madrasah, seluruhnya dengan 119 ornag guru dan 4000 murid. Dalam bidang sosial, ia mencatat dua buah klinik di Yogyakarta dan Surabaya diman 12.000 pasien memperoleh pengobatan; sebuah rumah sakit miskin dan dua buah rumah yatim piatu. Pada tahun 1929 peserta-peserta dari kongres tahunannya berasal dari hampir pulau-pulau besar di Indonesia kecuali Kalimantan. Kongres ini mencatat 19.000 anggota Muhaamdiyah, sedangkan bagian publikasi dari Muhammadiyah telah menerbitkan sejumlah 700.000 buah buku dan brosur. Cabang organisasi ini di Solo telah membuka sebuah klinik mata dan di Malang sebuah klinik lain.
Diantara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya adalah :
1) Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta.
2) Mu’allimin Muhammadiyah, Solo Yogyakarta
3) Mu’allimat Muhammadiyah, Yogyakarta
4) Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta
5) Kulliyah Muballighin/Muballighat, Padang Panjang (Sumatera Tengah)
6) Tablighschool, Yogyakarta
7) HIK Muhammadiyah Yogyakarta.
Tiga hal pokok
Pada waktu itu Ahmad Dahlan dihadapkan pada tiga persoalan pokok masyarakat, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.
Persoalan modernisme telah dijawab oleh Kiai Dahlan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam yang mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Sektor pendidikan memang sejak awal berdiri dijadikan sasaran prioritas Muhammadiyah. Karena Kiai Dahlan beranggapan, melalui lembaga pendidikan sangat dimungkinkan terjadinya proses transformasi kebudayaan kepada anak didik.
Strategi yang dipilihnya adalah dengan mendidik para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta dan para calon pamongpra-ja (pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang. Melalui kedua cara ini diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi, karena para calon guru ini nantinya akan mempunyai murid yang banyak.
Selain itu, Kiai Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Muallimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Muallimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Ia mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuanriya.
Sebagai jawaban atas persoalan tradisionalisme masyarakat, Kiai Dahlan melakukan tabligh. Jika di masa sekarang, kegiatan tabligh merupakan suatu hal yang biasa, namun pada zaman dahulu kegiatan itu sangat luar biasa. Mengingat kegiatan tabligh yang dilakukan Kiai Dahlan waktu itu telah melawan arus besar mainstream budaya tabligh pada umumnya.
Dengan mengedepankan motif pembaruan dan semangat berkemajuan, tabligh Kia. Dahlan justru dilakukan dengan mendatangi murid-muridnya. Padahal, tindakan demikian (guru mendatangi murid) merupakan suatu aib sosial dalam pandangan yang berkembang di masyarakat. Strategi tabligh semacam itu merupakan langkah cerdas yang dilakukan Kiai Dahlan dalam membangun budaya baru di tengah paradigma tradisionalisme masyarakat.
Selain itu, budaya tabligh yang diubah oleh Kiai Dahlan adalah kecendrungan umum para ulama yang memiliki tradisi oral (lisan) dalam menyampaikan dakwah. Dalam hal ini, Kiai Dahlan mengubah tradisi lisan menjadi budaya tulis-menulis. Langkah peruba-han ini dapat diihat melalui usaha Kiai Dahlan saat mendirikan majalah berbahasa Jawa, Suwara Muhammadiyah. Adapun dalam rangka menghadapi Jawaisme, menurut Kuntowijoyo, Kiai Dahlan justru menggunakan metode positive action (dengan selalu mengedepankan amar makruf), dan bukannya menyerang tradisi serta kepercayaan Jawaisme (nahi mungkar). Sebagai contoh, mengenai persoalan arah kiblat.
Penjajahan yang berlangsung pada masa Kiai Dahlan menyebabkan kehidupan beragama di kalangan umat Islam mengalami kemerosotan. Praktik-parktik ibadah yang dijalankan umat Islam pada saat itu bercampur dengan tradisi masyarakat setempat. Salah satu contohnya adalah banyaknya bangunan masjid di Tanah Jawa yang pembangunannya tidak didasarkan untuk kepentingan agama, tetapi didasarkan untuk kerapian pembangunan negara. Akibatnya, banyak masjid yang kiblatnya tidak tepat ke arah Masjidil Haram di Makkah.
Hal ini dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, karena kepakarannya dalam bidang ilmu falak. Kiai Ahmad Dahlan pun berusaha untuk membenarkan arah kiblat Masjid yang menjadi tempat ibadah kaum Muslimin Indonesia, terutama di Yogyakarta.
C. LAHIRNYA ORGANISASI ISLAM PERSIS
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam) di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Mula-mula pada saat ia berdiri sampai pada akhir masa pembicaraan gerakan Islam di Indonesia ini, Persis umumnya kurang memberika tekanan bagi kegiatan organisasi sendiri. Ia tidak terlalu berminat membentuk banyak cabang-cabang atau menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan sebuah cabang tergantung semata-mat pada inisiatif peminat dan tidak didasarkan pada suatu rencana yang dilakukan oleh pemimpin pusat. Tapi pengaruh dari organisasi persis ini jauh lebih besar daripada jumlah cabang ataupun anggotanya. Pada tahun 1923 hanya kira-kira selusin anggota yang berpartisipasi dalam sembahyang berjamaah pada hari Jum’at yang diselenggarakan oleh Persis di Bandung. Tetapi pada tahun 1942, pada saat invasi Jepang ke Indonesia sembahyang berjamaah seperti ini dilakukan tidak kurang daripada di enam buah masjid yang didikuti oleh 500 orang.
D. PERAN ORGANISASI PERSIS DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Memang perhatian Persis terutama ialah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tabligh, khotbah-khotbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Penerbitannya ini yang terutama menyebabkan luasnya daerah penyebaran pemikiran. Lagipula penerbitan ini pula yang dijadikan referensi oleh guru-guru dan propagandis-propagandis organisasi lain. Dalam kegiatan ini Persis beruntung memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua orang tokoh yang penting, yaitu Ahmad Hassan dan Muhammad Natsir.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tabligh serta publikasi. Dlam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimaksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain.Kursus-kursus agama untuk orang-orang dewasa pada mulanya juga dibatasi pada anggota-anggotanya saja.Hasan dan Zam-zam mengajar pada kursus-kursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang sangat menarik masyarakat pada waktu itu, seperti poligami dan rasionalisme juga dibicarakan.
Sekitar tahun 1927 sebuah kelas khusus atau lebih tepat kelompok diskusi diorganisir untuk anak-anak muda yang telah menjalani masa studinya di sekolah-sekolah menengah pemerintah dan yang ingin islam secara sunguh-sungguh.
Sebuah kegiatan lain yang penting dalam rangka kegiatan pendidikan Persis ini adalah lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang dilancarkan oleh Natsir, dan yang terdiri dari beberapa buah sekolah: Taman Kanak-kanak, HIS (keduanya pada tahun 1930), Sekolah MULO (1931), dan sebuah sekolah guru (1932).
Di samping pendidikan Islam, Persis mendirikan sebuah pesantren di Bandung pada bulan Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Kemudian pesantren ini di pindahkah ke Bangil, Jawa Timur. Pada bulan Pebruari 1941 dibuka pesantren bagi perempuan dengan 12 orang murid, semuanya dari luar Bangil.
Pada bulan Desember 1941 terjadi perang Dunia yang ke dua. Sebagian murid pulang ke kampung masing-masing. Ketika tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, di Pesantren tinggal beberapa orang laki-laki yang tak dapat pulang. Dalam masa pendudukan Jepang, pesantren tersebut terpaksa tertutup. Tetapi pada 1 Muharram 1371 (3 Oktober 1951) dibuka kembali dengan resmi sesudah berhenti beberapa tahun lamanya sampai sekarang dikunjungi para santri dari berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu pengetahuan agama dan umum.
Pendidikan Islam Zaman Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa:
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.
Kenyataan tersebut timbul karena kesadaran umat Islam yang dalam setelah sekian lama terpuruk di bawah kekuasaan penjajah. Pada zaman penjajahan Belanda pintu masuk pendidikan modern bagi umat Islam sangat sempit
Meskipun Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaannya dan sedang menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah diri, terutama memperhatika masalah pendidikan yang dianggap cukup vital dan menentukan. Untuk itu, dibentuklah Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Dengan terbentuknya Kementerian Pendidikan tersebut maka diadakan berbagai usaha, terutama mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan yang terbaru.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebagaimana dikemukakan terdahulu, terjadi perubahan di berbagai aspek, tidak hanya terjadi di bidang pemerintahan, tetapi juga dalam pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan yang bersifat mendasar, yaitu perubahan yang menyangkut penyesuaian kebijakan pendidikan dengan dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka yang sesuai dengan idiilnya tujuan pendidikan, sistem persekolahan dan keempatan belajar yang diberikan kepada rakyat jelata.
oleh sebab itu, tidak dikenal lagi pembatasan pembinaan pendidikan, yang disebabkan perbedaan agama, sosial, ekonomi dan golongan. Dengan demikian, setiap anak Indonesia dapat memilih tempat belajar, sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya.
Keberadaan Pendidikan Islam
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah R.I. tetap membina pendidikan agama. Pembinaan Pendidikan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua sekolah umum baik negeri maupun swasta.
Untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan di sekolah-sekolah umum tersebut, maka pada bulan Desember 1946, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama, yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum (negeri atau swasta), yang berada di bawah Kementerian PP dan K.
Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu Pendidikan agama dan Pendidikan Umum. Di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama. Dan di pihak lain Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mengelola pendidikan pada umumnya dan mendapatkan kepercayaan untuk melaksanakan sistem Pendidikan Nasional.
Begitulah keadaan pendidikan silam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi umat Islam, dengan timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat umat Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan.
Pendidikan Islam Masa Orde Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G 30 S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965, bangsa Indonesia telah memasuki fase baru yang diberi nama Orde Baru.
Orde baru bukanlah merupakan golongan tertentu, sebab Orde Baru berupa pengelompokan fisik. Perubahan Orde Lama (sebelum 30 September 1965) menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerja sama erat antara pihak ABRI atau Tentara dan Gerakan-gerakan Pemuda, yang disebut Angkatan 1966. Para pemuda itu bergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia). Dalam KAMI yang memegang peran penting adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang sangat kuat serta mempunyai hubungan yang tidak resmi dengan Masyumi dan organisasi Islam lainnya. Sejak tahun 1966, para mahasiswa ini mulai melakukan demonstrasi di jalan-jalan, sebagian secara spontan, sebagian lagi atas perencanaan pihak lain.
1. Kebijaksanaan Pendidikan secara Umum
Pada ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966, Bab II Pasal 3 disebutkan tentang tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang dimaksudkan membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan, seperti yang dikehendaki oleh Pembuatan UUD 1945. Dalam pasal 4 TAP MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, yaitu :
1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama.
2. Mempertinggi kecerdasan dan keterampilan.
3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
MPRS hasil Pemilu 1973 mengeluarkan ketetapan Nomor IV/MPR/1973 yang juga dikenal dengan nama GBHN yang merumuskan pula tujuan Pendidikan Nasional.
Rumusan-rumusan selanjutnya mengenai Pendidikan Nasional termuat dan ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui Ketetapan MPR, tahun 1978, 1983, 1988 dan 1993.
Rumusan tersebut semakin sempurna dengan lahirnya UU RI Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan dilengkapi beberapa peraturan Pemerintah dalam kerangka pelaksanaannya.
Dengan landasan pemikiran tersebut, pendidikan nasional disusun sebagai usaha untuk memungkinkan bangsa Indonesia mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengembangkan dirinya secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2.Keberadaan Pendidikan Agama Islam
Sejak tahun 1966 telah terjadi perubahan besar pada bangsa Indonesia, baik menyangkut kehidupan sosial, agama maupun politik. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut, kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya, makin memperoleh tempat yang kuat dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya.
Ringkasnya bahwa ditinjau dari segi falsafah negara Pancasila, dari konstitusi UUD 1945, dan dari Keputusan-keputusan MPR tentang GBHN, maka kehidupan beragama dalam pendidikan agama di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 sampai berakhirnya pelaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I dan memasuki PJP II semakin mantap.
Begitu juga teknik pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum mengalami perubahan-perubahan tertentu, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahahan sistem proses belajar mengajar, misalnya tentang materi pendidikan agama diadakan pengintegrasian dan pengelompokan, yang tampaknya lebih terpadu dan diadakan pengurangan alokasi waktu.
2. Pendidikan Islam pada Masa Pembangunan Dewasa Ini
Kaitan antara pendidikan Islam dengan pendidikan nasional semakin nampak dalam rumusan pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional ialah usaha dasar untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, nilai budaya, pengetahuan, keterampilan, daya estetik dan jasmaninya, sehingga dia dapat mengembangkan dirinya dan bersama-sama dengan sesama manusia membangun masyarakatnya serta membudayakan alam sekitarnya.
Dari uraian diatas, pendidikan Islam menempati kedudukan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini mudah dimengerti karena bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama tidak dapat melaksanakan agamanya dari setiap aktivitas pendidikan yang dilakukannya. Secara kompehensip agama bagi bangsa Indonesia adalah “generator” pembangkit listrik bagi pengisian aspirasi dan inspirasi bangsa. Agama juga merupakan alat pengembangan dan pengendalian bagi bangsa Indonesia yang sedang giat melaksanakan pembangunan di segala sektor.
3. Pendidikan Islam di Indonesia dan Prospeknya di Masa Depan
Melihat kendala yang dihadapi oleh pendidikan nasional, minimal telah terpantul sinar yang juga menggambarkan tentang kondisi pendidikan Islam di Indonesia pada masa kini.
Dari kendala yang ada pada masa kini, prospek pendidikan Islam di Indonesia pun tidak banyak melangkah jauh. Artinya, pendidikan Islam di Indonesia untuk beberapa tahun mendatang masih harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh pendidikan Islam di Indonesia masa kini.
Hal tersebut perlu diingatkan kepada para pengelola pendidikan Islam yang ada pada saat ini, khususnya pendidikan tinggi yang masih belum strategis. Pendidikan Islam masih berperan sebagai pelestari dan transmisi dari kitab-kitab kuning yang mewakili pemikiran Islam pada masa imam mazhab beberapa abad yang lalu. Kasarnya, pendidikan Islam pada masa kini terutama di Indonesia yang mayoritas Islam belum mampu mengadakan eksplorasi.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam Indonesia pada masa yang akan datang memerlukan satu orientasi baru sebagai upaya terhadap perubahan ke arah pengembangan teknologi atau merombak pola pikir pendidikan Islam dari pola konvensional ke pola keilmuan.
Problem lain yang harus dilihat untuk mengantisipasi pendidikan Islam pada masa mendatang adalah belum terlaksananya pemakanan dari keseluruhan sistem yang dikehendaki oleh Undang-Undang sistem pendidikan Nasional.
Adapun lembaga pendidikan secara struktual internal masa yang akan datang masih sama seperti yang ada pada saat sekarang ini,yaitu:
1. Pendidkan model ponok pesantren
2. Pendidikan madrasah
3. Pendidikan umum yang bernafaskan islam
4. Pendidikan umum yang mengajarkan mata pelajaran/mata kuliah agama islam.
A. Pondok Pesantren
a Asal Usul Pondok Pesantren dan Perkembangannya
Pesantren yang merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini dilihat dari perkembangan sejarah, dimana bila dirunut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiah, yakni menyabarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama’ atau da’i.
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah “tempat belajar para santri”. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata “pondok” mungkin juga berasala dari bahasa arab “funduq” yang berarti “hotel” atau “asrama”
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adanya pendidikan lanjutan. Namun demikian, factor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan akan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keungulan akan ketinngian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar. Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana, di sekitar tempat tinggal guru tersebut. Semakin tinggi ilmu seorang guru, semakin banyak pula orang dari luar daerah yang datang untuk menuntut ilmu kepadanya dan berarti semakin besar pula pondok dan pesantrennya.
Kelangsungan hidup suatu pesantren amat tergantung kepada tokoh sentral (kiai atau guru yang memimpin), meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan mungkin hilang, jika pewaris atau keturunan kiai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi Seorang figure pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan.
Biasanya santri yang telah menyelesaikandan diakui telah tamat, diberi izin oleh kiai untuk membuka danmendirikan pesantren baru di daerah asalnya. Dengan cara demikian pesantren-pesantren berkembnag di berbagai daerah terutama pedesaan dan pesantren asal dianngap sebagai pesantren induknya. Sebagaimana dikemukakan di atas lama tidaknya eksistensi pesantern sangat banyak ditentukan oleh kiai yang merupakan factor figure. Ada sementara pesantren yang tumbuh dan berkembang kemudian mundur dan menghilang bersama dengan meninggalnya sang kiai yang mendirikannya, karena tidak ada pewaris yang melanjutkannya. Ada pesantren yang mampu bertahan sampai beberapa generasi, dan telah menghasilkan alumni-alumni yang berkemampuan mendirikan dan mengembangkan pesantren-pesantren baru, sehingga walaupun kemudian pesantern induknya mundur dan menghilang, maka pesantern-pesantren baru tersebut mampu meneruskan pesantren induk tersebut.
Pesantren di Indonesia memang tumbuh dan berkembang secara pesat. Berdasarkan laporan pemerintah colonial Belanda, pada abad ke 19 untuk di Jawa saja terdapat tidak kurang dari 1853 buah, dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 orang. Dari jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren yang berkembnag di luar Jawa terutama Sumatra dan Kalimantan yang suasana keagamaannya sangat kuat.
Kemudian pada zaman penjajahan Jepang dari hasil survei yang diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama pemerintah Militer Jepang didapatkan data tentang jumlah pesantren dan madrasah di Jawa, yaitu:
Daerah | Jumlah Pesantren dan Madrasah | Jumlah santri |
Jakarta | 167 buah | 14.513 orang |
Jawa Barat | 1.046 buah | 69.954 orang |
Jawa Tengah | 351 buah | 21.957 orang |
Jawa Timur | 307 buah | 32.831 orang |
jumlah | 1.871 buah | 199.415 orang |
Dari jumlah tersebur sebenarnya masih belum termasuk pesantren-pesantren kecil yang hanya memberikan pengajian alqur’an dan pengajian alqur’an tingkat dasar di langgar-langgar dan mesjid. Padahal pada sensus tahun 1885 lembaga pengajian alqur’an tingkat dasar tersebut masuk ke dalam kriteria pesantren.
Pada perkembangan berikutnya, yaitu berdasarkan laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978, tentang keadaan pesantren yang ada di Jawa tidak termasuk madrasah dan sekolah-sekolah lainnya, adalah:
Propinsi Daerah | Jumlah Pesantren | Jumlah santri |
Jakarta | 27 buah | 15.767 orang |
Jawa Barat | 2.237 buah | 305.747 orang |
Jawa Tengah | 430 buah | 65.070 orang |
Jawa Timur | 1.051 buah | 290.790 orang |
Jumlah | 3.745 buah | 675.364 orang |
Meskipun data-data yang diungkapkan di atas hanya untuk Jawa tidak berarti pengenyampingan perkembangan pesantren di luar Jawa yang juga dari waktu ke waktu terus tumbuh dan berkembang. Data-data tersebut dimaksudka hanya sebagai sampel bagaimana pesantren telah secara kuantitatif dan sekaligus menunjukkan bahwa pola-pola perubahannya. Yang jelas data demikian menunjukkan bahwa perkembangan pesantren di Indonesia sangat cepat.
b Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Dalam mekanisme kerjanya, system yang ditampilkan pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan system yang diterapkan pada umumnya, yaitu:
1. Memakai system tradisional yang mempunyai kebebasan penuh dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua arah antara santri dan kiai.
2. Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka
3. Para santri tidak mengidap penyakit simbolis, yaitu perolehan gelar dan ijazah, karena sebagian besar pesantren tidak mengeluarkan ijazah, sedangkan santri dengan ketulusan hatinya masuk pesantren tanpa adanya ijazah tersebut. Hal itu karena tujuan jutama mereka karena ingin mencari keridlaan Allah SWT semata.
4. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealism, persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian hidup.
5. Alumni pondok pesantren tidak ingin menduduki jabatan pemerintahan, sehingga mereka hamper tidak dapat dikuasai.
Sementara itu yang menjadi cirri khas pesantren sekaligus menunjukkan unsure-unsur pokoknya, yang membedakannya denga pendidikan lainnya, yaitu:
1. Pondok
Merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya. Adanya pondok sebagai temapt tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda denga lembaga pendidikan yang berlangsung di mesjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembangannya, pondok tersebut bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri, untuk mengikuti dengan baik pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi juga sebagai tempat training atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santtri di bawah bimbingan para kiai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan bergotong-royong sesama warga pesantren. Tetapi dalam perkembangan berikutnya terutama pada masa sekarang, nampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
2. Adanya mesjid
Sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar. Mesjid yang merupakan unsure pokok kedua dari pesantren, disamping berfungsi sebagai tempat melakukan shalat berjama’ah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat belajar mengajar. Biasanya waktu belajar mengajar dalam ;pesantren berkaitan dengan waktuu shalat berjama’ah, baik sebelum dan sesudahnya. Dalam perkembangannya, sesuai dengan perkembangan jumlah santri dan tingkatan pelajaran, dibangun tempat atau ruangan-ruangan khusus untuk khalaqah-khalaqah. Perkembangan terakhir menunjukkan adanya ruangan yang berupa kelas-kelas sebagaimana yang terdapat pada madrasah-madrasah. Namun demikian, mesjid masih tetap digunankan sebagai tempat belajar mengajar. Pada sebagin pesantren mesjid juga berfungsi sebagai tempat i’tikaf dan melaksanakan latihan-latihan, atau suluk dan dzikir, maupun amalan-amalan lainnya dalam kehidupan tarekat dan sufi.
3. Santri
Merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu:
a) Santri mukim
Ialah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b) Santri kalong
Ialah santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya mereka tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.
Yang membedakan antar pesantren besar dan pesantren kecil biasanya terletak pada komposisi atau perbandingan antaar kedua kelompok santri tersebut. Pesantren-pesantren besar (seperti Gontor Ponorogo, Tebuireng Jombang, Darussalam Martapura dan sebagainya) mempunyai jumlah santri mukim yangb lebih besar dibandingkan dengan jumlah santri kalong. Sedangkan pondok pesantren yang tergolong kecil, mempunyai lebih banyak santri kalong. Menjadi santri mukim pada pesantreen-pesantren besar, biasanya merupakan suatn-pesantren besar, biasanya merupakan suatu kebanggaan tersendiir, karena disamping dipimpim oleh kiai-kiai termasyhur, luas dan dalam ilmunya, juga menjadi tempat bermpat bermukim putra-putri kiai dari berbagai pesantren lainnya.
4. Kiai
Merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu kiai adalah salah satu unsure yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik dan wibawa, serta ketrampila kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dalam konteks ini, pribadi kiai sangat menentukan sebab ia adalah tokoh sentral dalam pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri. Dalam perkembangannya kadang-kadang sebutan kiai ini juga diberikan kepada mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam di bidang agama Islam, dan tokoh masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di pesantren. Umumnya tokoh-tokoh tersebut adalah alumni dari pesantren.
5. Kitab-kitab Islam Klasik
Unsur pokok lainnya yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Dan tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahuoi dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.
c Sistem Pendidikan dan Pengajaran Pesantren.
Sejarah perkembanagn pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model system pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan dan wetonan atau bendungan (menurut istilah dari Jawa Barat).
Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar per kepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang disebut “badal”. Mula-mula bedal tersebut membacakan matan kitab yang tertulis dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah, dan menerangnkan maksudnya, setelah itu santri disuruh membaca dan mengulangi pelajaran tersebut satu persatu, sehingga setiap santri menguasainya. Cara sorogan ini memerlukan banyak badal dan mereka adalah santri-santri yang sudah menguasai pelajaran tingkat lanjut di pesantren tersebut.
Dengan metode bendungan atau halaqah dan sering juga disebut wetonan, para santri duduk di sekitar kiai dengan membentuk lingkaran.
Dengan cara bendungan ini, kiai mengajarkan kitab tertentu kepada sekelompok santri. Karena itu metode ini bisa juga dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. Dimana baik kiai maupun dalam santri halaqah tersebut memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab, kemjudian menerjemahkannya kata demi kata, dan menerangkan maksudnya. Santri.menyimak kitab-masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan-penjelasan kiai. Kemudian santri mengulang dan mempelajari kembali secara sendiri-sendiri.
Pada sebagian pondok, system penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran makin lama makin berubah karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di tanah air serta tuntutan dari mashyarakat di lingkungan pondok pesantren itu sendiri dan sebagian pondok lagi tetap mempertahankan system pendidikan yang lama.
Dalalm realitasnya, penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dewasa ini dapat diholongkan kepada 3 bentuk, yaitu:
a. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara nonklasial (sistem bandungan sorogan) di mana seorang kiai mengajar santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang dituliskan dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam pesantren tersebut.
b. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya sama dengan pondok pesantren tersebut di atas, tetapi para santrinya tidak disediakan pondokan di kompleks pesantren, namun tinggal tersebar di seluruh penjuru sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), dimana cara dan metode pendidikan dan pengajaran agama Islam diberikan dengan system weton. Yaitu cara santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu tertentu.
c. Pondok pesantren dewasa ini merupakan lembaga gabungan antara system pondok fdanpesantren yang memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan system Bandongan, sorogan atau wetonan dengan p[ara santrio disediakan poondokan ataupun merupakan santri kalongan, yang dalam istilah pendidikan pondok modern memenuhi criteria pendidikan nonformal, serta menyelenggarakan pula pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam berbagai banyak tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan masyarakat masing-masing.
d. Keadaan Pesantren pada Zaman Penjajahan
Di kalangan pemerintah colonial, timbul dua alternative untuk memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia, yaitu memberikan lembaga pendidikan yang berdasarkan lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren, atau mendirikan lembaga pendidikan dengan system yang berlaku di Barat pada waktu itu.
Dengan diselenggarakannya pendidikan oleh pemerintah colonial belanda ini, justru tidak lebih memberikan keleluasaan pendidikan pesantrenyang dikelola orang-orang pribumi atau umat islam, pemerintah colonial berusaha menghalang-halanginya, terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan yang dirasakan cukup menekan kegiatan pendidikan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu antara kedua system pendidikan tersebut mendapat perbedaan yang cukup mencolok, dan bahkan bisa dikatakan kontradiksi atau bertentangan.
Perbedaan-perbedaan yang dimaksud yaitu:
a. Pendidikan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah Belanda bersifat netral.
b. Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren tidak terlalu memikirkan bagaimana hidup harmonis di dunia, tetapi menekan kepada bagaimana memperoleh penghidupan.
c. Sekolah-sekolah yang di kelola Belanda di selenggarakant perbedaan kelompok etnis dalam masyarakat dan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang Jawa.
d. Sebagian besar sekolah colonial di arahkan pada perbedaan pembetukan kelompok masyarakat elit yang bisa di pergunakan untuk mampertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian sekolah-sekolah ini benar-benar mencermikan kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda
Dengan didirikan lembaga pendidikan atau sekolah yang di peruntukkan sebagian bangsa Indonesia tersebut terutama bagi golongan priyayi dan pejabat oleh pemeritahan colonial, maka semejak itulah telah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintahan.
Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintahan Belanda, lembaga pendidikan pesantren terus berkembang jumlahnya. Jika pada awal abad ke-19, waktu Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah sejumlah pesantren untuk di Jawa hanya sebanyak 1853 buah, dengan jumlah santri 16.556 orang. Akan tetapi menjelang akhir abad ke-19 sejumlah pesantren mencapai 14.929 buah dan dengan jumlah santri sebanyak 222.663 orang.
Persaingan yang terjadi tersebut bukan hanya segi-segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hamper semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintahan colonial Belanda pada abad ke-19, bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan dari pesantren. Peperangan-peperangan besar, seperti perang Diponegoro, perang Paderi, perang banjar, sampai kepada perlawanan-perlawanan rakyat yang bersifat local yang terbesar dimana-mana, tokoh-tokoh pesantren atau alumni-alumninya memegang peranan utama
Menyaksikan kenyataan yang demikian menyebabkan pemerinytahan Belanda di akhir abad ke 19 mencurugai eksistensi pesantren yang mereka anggap sebagai sumber terhadap pemerintahan colonial. Oleh karena iut pemerintahan kolonial mulai mengadakan pengawasan dancampurtangan terhadap pendidikan pesantren.
Pada tahun 1882, didirikan Prieaterreden (pengadilan agama) oleh pemerintahan kolonial, yang diantara tugas-tugasnya adalah mengadakan pengawasan terhadap pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi ketentuan-ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintahan setempat.
Kesadaran akan kelemahan dana ketertinggalan kaum muslimin dari bangsa-bangsa barat, aetelah mulai timbul awal abad ke 18 masehi. Yaitu sejak kekalahan-kekalahan yang diderita oleh kerajaan Ustmani dalam berbagai peperangan melawan bangsa-bangsa Eropa masa itu. Namun pendidikan Mesir oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798 M dianggap sebagai tonggak sejarah bagi umat Islam untuk mendapatkan kesadaran akan kelemahan dan ketertinggalan mereka berhadapan dengan budaya dan peradaban modern barat. Dengan kesadaran tersebut, kemudian timbukl berbagai usaha pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial budaya dan peradaban umat Islam, termasuk usaha pembaharuanm pendidikan Islam.
Pada garis besarnya ide pembaharuan dalam daalm bidan pendidikan yang berkembanmg di dunia Islam dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan. Pada dasarnya mereka berpandang bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan serta kemakmuran yang dialami Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga mempunyai visi bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat, merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Oleh karena itu untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, maka sumber kekuatan dan kekuasaan tersebut harus dikuasai kembali dan untuk itu perlu memilih system pendidikan modern yang berkembang di dunia Barat.
b. Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada pemurnian kembali ajaran Islam.
Mereka berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber dan pendorong bagi perkembanagnm ilmu pengetahuan dan kemajuan-kemajuan serta peradaban modern. Ini sebagaimana dibuktikan oleh sejarah pada zaman keemasan Islam di masa lalu.
c. Pola pembaharuan yang berorientasi kepada kekuatan-kekuatan dan latar belakang historis atau pengembangan sumber daya nasioanal atau bangsa masing-masing.
Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern dan mulai dari dunia Barat. Dengan lahirnya rasa nasionalisme ini, bangsa-bangsa Barat mencapai kemajuan-kemajuan dan membnagun kekuatan politik yang mamdiri secara sendiri-sendiri. Mereka mengembangkank system pendidikan nasionalnya masing-masing.
Sementara itu dibeberapa pesantren mulai memperkenalkan sistem madrasah, sebagaimana system yang belau di sekolah-sekolah umum, tetapi mata pelajarannya dirtekankan kepada pelajaran agama saja. Kemudian pada perkembangan berikutnya, madrasah-madrasah yang mengajarkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan umum.
e. Pertumbuhan dan Pekembangan Pesantren di Zaman Kemerdekaan dan Pembangunan.
Dalam sejarahnya tentang peran pesantren, dimana sejak masa Kebangkitan Nasional sampai dengan perjuangan mempertahankan RI, pesantren senantiasa tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif, dan tentu saja untuk ini secara jujur kita perlu angkat topi dengan pesantren. Oleh karena itulah, setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, pesantren masih mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Ki Hajar Dewantara saja yang dikenal sebagai tokoh pendidikan nasional dan sekaligus sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Begitu pula halnya dengan pemerintahan RI mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena itu harus di kembangkan, diberi bimbingan dan bantuan. Wewenang dan pengembangan tersebut berada di bawah wewenang Kementeriaan Agama.
Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang lenturaa(flexible) ternyata mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat serta memenuhi tuntutan masyarakat. Begitu juga pada era kemerdekaan dan pembanguna sekarang, pesantren telah mampu menampilkan dirinya aktifmengisi kemerdekaan dan pambangunan terutama dalam rangka pengebangam sumber daya manusia yang berkualitas.
Meskipun demikian, pesantren tidak luput dari berbagai kritik terhadap kelemahan pesantren, dimana kondisi pondok pesantren telah mencapai titik kritis sebagai lembaga pedidikan tradisional yang tertutup dan statis. Islam yang diajarkan oleh pondok pesantren pada umumnya adalah islam yang mengalami terror dan intimidasi musuh islam, yakni islam yang ritualistic sufistik, bahkan mengarah kepada feodalisme.
Berbagai inovasi telah dilakukan untuk mengembangkan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam pesantren adalah sebagai upaya untuk memberikan bekal tambahan agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam masyarakat.
Karena itu akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap system yang selama ini dipergunakan, yaitu:
a Mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern.
b Semakin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, arti-nya terbuka atas perkembangan di luar dirinya.
c Diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kini, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan kerja.
Secara garis besar, pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a Pesantren Tradisional
Yaitu pesantren yang masih mempertahankan system pengajaran tradisional, dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik yang sering disebut kitab kuning.
b Pesantren Modern
Merupakan pesantren yang berusaha mengintegrasikan secara penuh system klasikal dan sekolah ke dalam pondok pesantren. Semua santri yang masuk pondok terbagi dalam tingkatan kelas. Pengajian kitab-kitab klasik tidak lagi menonjol, bahkan ada yang cuma sekedar pelengkap, tetap berubah menjadi mata pelajaran atau bidang studi.
Demikian pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia yang tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya , juga tentunya tidak akan dapat terhindar dari segala kritik dan kekurangannya.
B. Madrasah
1. Sekitar Kelahiran Madrasah di Dunia Islam
Madrasah merupakan isim makan darai darasa yang berarti “tempat duduk untuk belajar”. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, mulai didirikan dan berkembang di dunia Islam sekitar abad ke-5 H atau abad ke 10-11 M. Ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islam model madrasah tersebut pertama kalinya. Akan tetapi tersiarnya justru melalui menteri dari Kerajaan Bani Saljuk yang bernama “Nizham al Mulk” yang mendirikan madrasah “Nizhamiyah” tahun 1065 M yang oleh Gibb dan Kramers disebutkan, bahwa setelah madrasahnya Nizham al Mulk ini didirikan madrasah terbesar oleh Salahuddin Al Ayyubi.
Pada saat itu Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam aliran atau madzab dan pemikirannya. Pembidangan ilmu pengetahuan tersebut, bukan hanya meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan alquran dan hadist seperti ilmu-ilmu alquran, hadist, fiqh, ilmu kalam, maupun ilmu tasawuf, tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmju-ilmu alam dan kemasyarakatan.
2. Lahir dan Berkembangnya Madrasah di Indonesia
Tampaknya kelahiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidak-tidaknya mempunyai beberapa latar belakang, diantaranya:
a. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
b. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusan-nya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.
c. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.
d. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan system pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Sementara itu madrasah yang dikatakan boleh sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20, tampaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakanginya, dan secara garis besar dikelompokkan kepada dua hal, yaitu:
a. Keadaan Bangsa Indonesia Itu sendiri
1. Dari segi ajaran Islam
Kita ketahui bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sekitar abad ke 7-8 M. kondisi ummat dan ajaran Islam yang ada di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara-negara Islam lain-nya. Sebelum Islam datang, di Indonesia sudah terbentuk pola-pola kebudayaan non-Islam, terutama Hindu dan Budha, termasuk Animisme dan Dinamisme. Jadi islam masuk ke Nusantara tidak dalam suatu kondisi vacuum cultural atau vacuum peradaban.
Di lain pihak diakui pula bahwa ajaran Islam yang datang ke Indonesia sebagiannya sudah bercampur dengan budaya lokal dimana ia dibawa oleh penyebar Islam itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah “sinkretisme”. Tapi hal ini ternyata justru menambah mudah tersiarnya agama Islam di kalangan masyarakat Indonesia, terlebih-lebih masyarakat Jawa yang begitu kuat memegang adat dan tradisi.
2. Aktivitas lembaga pendidikan Islam
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri pada waktu itu adalah bahwa system pendidikan dan pengajaran Islam, terutama pesantren, masih bersifat tradisional, yang di sana-sini masih terdapat banyak kelemahan, terutama menyangkut sistem yang terdapat di dalamnya.
Meskipun demikian. Diakuui bahwa peran pesantren dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tidaklah diragukan. Bagaimanapun juga pesantrenlah satu-satunya lembaga pendidikan yang ada pada waktu itu (sebelum abad ke-20). Di sinilah ummat Islam dan bangsa Indonesia dapat menikmati pendidikan, disamping juga ia sangat berjasa dalam menumbuhkan semangat patriotism dan nasionalisme yang pada gilirannya percapainya kemerdekaan yang sudah sekian lama diidam-idamkan.
3. Aktivitas lembaga pendidikan kolonial
Antara pendidikan pesantren dengan pendidikan colonial memang sangat berbeda dan boleh dikatakan kontradiksi, baik menyangkut system maupun materi yang diberikan. Kondisi yang demikian tidak akan ayal lagi akan melahirkan jenjang pemisah yang cukup dalam, dan tampak sekali dalam aktivitas sosial intelektual, seperti: cara kedua golongan tersebut bergaul, berpakaian, berbicara, berpikir dan sebagainya.
Kondisi yang demikian menyebabkan lahirnya pemikiran baru di kalangan ummat Islam khususnya bagi mereka yang terpelajar, mereka berusaha untuk menetralisir dan dan menghilangkan jurang pemisah yang ada, disamping itu juga untuk menjadikan ajaran Islam sesuai sesuai dengan ajaran alquran dan sunnah Rasul.
b. Faktor Kondisi Luar Negeri
Adalah bagaimana keberadaan dunia Islam terutama abad ke-19 di mana sebagian besar berada di bawah kekuasaan penjajah Barat. Menghadapi keadaan yang demikian, tampakya ummat Islam terbagi dalam tiga kelompok dengan sikap yang berbeda pula. Ketiga kelompok atau golongan tersebut adalah: pertama, mereka yang menutup diri dari pengaruh modernisasi Barat. Kedua, mereka yang membuka diri terhadap modernisasi Barat dengan penuh selektif. Ketiga, mereka yang membuka modernisasi Barat dengan penuh selektif. Rupunya ketiga bentuk pembaharuan tersebut merambat masuk ke dalam dunia pendidikan Islam. Akibatnya lahirlah pola-pola pembaharuan pendidikan Islam, yaitu:
1. Pola yang berorientasi kepada pendidikan modern di Eropa
Menurut golongan ini, kemajuan dunia Barat sekarang adalah karena mereka mewarisi kemajuan yang dimiliki oleh ummat Islam di masa jayanya. Oleh sebab itu tidaklah salah kalau kita juga bersikap sebagaimana orang Barat dulu bersikap terhadap kemajuan dunia Islam.
2. Pola yang berorientasi kepada pemurnian kembali ajaran Islam
Menurut golongan ini, kelemahan ummat Islam adalah akibat ummat Islam sendiri meninggalkan Islam ynag sebenarnya, ajaran Islam yang ada sekarang tidak murni sebagaimana yang ada di zaman Rasulullah SAW di mana Islam yang ada sudah bercampur dengan paham-paham atau kepercayaan luar.
3. Pola yang berorientasi kepada nasionalisme dan kekayaan budaya bangsa masing-masing
Timbulnya pola sebagai akibat munculnya rasa dan sifat nasionalisme yang mendalam di dalam diri tiap muslim. Ummat Islam yang berada di seluruh dunia terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya. Kanyataan ini mengakibatkan timbulnya negara-negara yang berdasarkan nasionalisme masing-masing. Kenyataan lain, adannya pemahaman bahwa ajaran Islam dapat dan bisa diterapkan sesuai dengan kondisi waktu dan tempat. Hal ini malahirkan pemikiran untuk berupaya memperbaiki ummat Islam dengan memperhatikan kondisi waktu dan tempat. Hal ini melahirkan pemikiran untuk berupaya memperbaiki ummat Islam dengan memperhatikan kondisi obyektif ummat Islam itu sendiri-sendiri di mana ia berada. Sehingga pada gilirannya melahirkan sintesa antara unsur-unsur ajaran Islam, kondisi budaya masing-masing dan kadang-kadang budaya Barat.
3. Sistem Pembinaan dan Pengajaran di Madrasah
Perpaduan antara system pada pondok pesantren atau pendidikan langgar dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern, merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di madrasah. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dan mengikuti sistem klasikal. System pengajian kitab yang selama ini dilakukan, diganti dengan bidang bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih mengguanakan kirab-kitab yang lama. Sementara itu kenaikan tingkat pun ditentukan oleh penguasaan bterhadap sejumlah bidang pelajaran.
Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti system perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern.
4. Pembinaan dan Pengembangan Madrasah
Pendidikan dan pengajaran merupakan suatu kewajiban yang tegas-tegas menjadi ketentuan dalam Islam bagi pemeluknya, sehingga karenanya sebagai condition a sine qua non yang harus dilaksanakan oleh ummat Islam tanpa terkecualinya. Maju mundur-nya, rebah dan bangunnya, besar kecilnya peran Islam sangat tergantung pada berhasil tidaknya pendidikan dan pengajaran yang dilancarkan.
Lembaga pendidikan Islam madrasah, sejak tumbuhnya merupakan lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bantuan dan bimbingan pemerintah colonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan permbinaan dari pemerintah Republik Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu system pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional. (UUD 1945 pasal 31:2).
Jumlah madrasah-madrasah yang memenuhi persyaratan pada tahun 1945:
Tingkat Madrasah | Jumlah Madrasah | Jumlah Murid |
Madrasah Ibtidaiyah | 1.057 buah | 1.927.777 |
Madrasah Tsanawiyah | 776 buah | 87.932 |
Madrasah Aliyah | 16 buah | 1.881 |
Jumlah | 1.849 buah | 2.017.590 |
5. Madrasah Wajib Belajar (MWB)
Dilaksanakannya Madrsasah Wajib Belajar adalah dengan tujuan:
a. Sesuai dengan namanya, Madrasah Wajib Belajar turut berusaha dalam rangka pelaksanaan undang-undang kewajiban belajar di indonesia. Dalam hubungan ini Madrasah Wajib Belajar (MWB) akan diperlakukan mempunyai hak dan kewajiban sebagai sekolah negeri atau skolah partikelir yang melaksankan wajib belajar.
b. Pendidikan terutama sekali diarahkan kepada pembangunan jiwa bangsa untuk mencapai kemajuan di lapangan ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi.
Umumnya masyarakat berpendapat bahwa MWB kurang memenuhi fungsinya sebagai lembaga pendidikan agama Islam, karena kurangnya presentase pendidikan dan pelajaran agama yang diberikan yaitu hanya 25% dari seluruh mata pelajaran yang diajarkan.
C. Sekolah Islam
Sekolah Islam, selain madrasah hampir bisa dipastikan merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang mengalami kemajuan fenomenal dalam tiga dasawarsa terakhir. Dan, kemajuan itu tidak hanya mengubah lanskap perkembangan Islam di negeri ini, bahkan memengaruhi dinamika Islam di Indonesia secara keseluruhan,
Fenomena sekolah Islam, bukan sekedar gejala 1980-an atau 1990-an. Sekolah Islam telah ada muncul jauh sebelumnya; persisnya pada awala abad ke-20 ketika gelombang modernisasi Islam menemukan momenrumnya di negeri ini. Pengkaji sejarah pendidikan Islam di Indonesia pastilah tidak lupa misalnya pas Sekolah Adabiyah di Padang yang didirikan haji Abdullah Ahmad, salh seorang modernis awal di kawasan ini. Selanjutnya semacam sekolah-sekolah Islam yang pada dasarnya mengadopsi kurikulum pemerintaj Hindia Belanda. Bedanya, sekolah-sekolah Islam ini memperkenalkan pendidikan agama.
Tetapi, harus diakui sekolah Islam tidak berhasil meningkatkan kualitas dan daya tariknya sampai akhir kekuasaan Belanda dan Jepang, dan bahkan sampai masa tiga dasawarsa setelah kemerdekaan negeri ini. Faktor utamanya sudah jelas; pertama, tidak ada dukungan financial memadai, yang memungkinkan terjadinya upaya peningkatan kualitas; kedua; belum tersedianya sumber datya yang mampu mengelola dan mengembangkan sekolah-seklah Islam tersebut. Keadaan yang hamper sama hanya sedikit lebihi bvaik dialami juga oleh sekolah-sekolah negeri.
Akibatnya, banyak orang tua yang kaya atau pejabat enggan mengim anak-anak mereka ke sekolah Islam dan bahkan ke sekolah negeri. Hanya kalangan bawah saja yang mengirim anaknya ke sekolah Islam atau sekolah negeri. Sekolah yang menjadi favorit mereka adalalh sekolah katolik yang memang menjanjikan mutu dan disiplin, yang masih menerapkan disiplin model Belanda. Sampai akhir dasawarsa 1970-an, bagi orang kaya dan pejabat, mengirim anak-anak ke sekolah seperti ini sangat bergengsi dank arena itu ia juga menjadi salah satu simbol status.
Keadaannya mulai berubah sejak 1070-an. Perintis perubahan itu, tidak lain adalah sekolah Islam Al-Azar yang terletak di lingkungan Masjid agung Al-Azar, Kebayoran baru yang merupaka kawasa elit di Jakarta. Terkait erat dengan visi kemoderenan dan keIndonesiaan ulama besar, prof. Dr. Buya Hamka, sekolah Al-azar menjadi modal bagi sekolah-sekolah Islam yang berkecambah tidak hanya di Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di Indonesia sejak 1980-an. Al-Azar sendiri membuka cabang di berbagai kota lalu ada Al-Izhar, Madiniyyah (Parung), As-Salam (solo), SMU Insan Cendekia (Serpong dan Gorontalo), SMU atthiroh (Makassar), internat al-Kautsar (Sukabumi), dan banyak lagi untuk didaftar satu persatu.
Sekolah-sekolah ini dikelola secara professional, dengan sumber daya mmanusia yang baik, dan tidak kurang pentingnya, dengan dukungan financial yang amat baik. Karena itu, tidak heran kalau sekolah-seklah ini berhasil meninmgkatkan kualitas pendidikannya. Tidak heran pula kalau sekolah-sekolah ini menjadi favorit dan sekaligus menjadi sekolah ‘elite’. Perlahan tapi pasti pula, kian banyak kalangan menengah ke atas mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah seperti ini. Dan, terelakkan lagi, sekolah-sekolah menjadi symbol status baru khususnya bagi keluarga kelas menengah Muslim yang sedang dan terus bangkir sejak 1980-an.
Pada spectrum lain, sekolah negeri juga terus berkembang dan meningkatkan kualitasnya. Perlahan tapi pasti muncul sekolah negeri yang menjajnjikan mutu pndidikan yang baik. Hasilnya, tidak heran, kalau muncul SMA-SMA favorit di berbagai kota. Dan, mengikuti jejak sekolah swasta, sekolah-sekolah negeri ini juga memungut dana unutk melengkapi fasilitas yang tidak selalu tersedia dalam anggaran resmi dari negara.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana mereplikasi contoh-contoh keberhasilan ini demi peningkatan kualitas pendidikan bangsa secara keseluruhan. Karena itu, perlu pemikiran tentang filantropisme pendidikan,agar biaya yang relative mahal pada sekolah-sekolah berkualitas dan favorit ini untuk dipikul bersama-sama guna memberikan kesempatan kepada anak-anak cerdas tapi miskin untuk juga bias menggapai keunggulan.Dengan begitu pendidikan yang berkualitas juga dapat dinikmati anak-anak yang kurang beruntung ini,yang seyogianya juga dapat diberikan peluang.
D. Perguruan Tinggi Agama Islam
Ummat Islam yang merupakan mayoritas dari penduduk Indonesia, selalu mencari berbagai cara unutk membangun system pendidikan Islam yang lengkap, mulai dari pesantren yang sederhana sampai tingkat perguruan tinggi.
Menurut Mahmud Yunus, Islamic College pertama setelah didirikan dan dibuka di bawah pimpinannya sendiri pada tanggal 9 Desember 1940 di Padang Sumatera Barat. Lembaga tersebut terdiri dari dua fakultas, yaitu syari’at/ agama dan Pendidikan serta Bahasa Arab. Tujuan ingin dicapai lembaga ini adalah untuk mendidik ulama-ulama.
Pada tahun 1945 tepatnya 8 Juli 1945 denagn bantuan pemerintah pendudukan jepang, di saat penringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW didirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta.
Studi di lembaga ini berlangsung salama suta tahun sampai mencapai gelar Sarjana Muda, ditambah dua tahun lagi untuk mencapai gelar semacam Sarjana, dan setelah menulis Tesis berhak mendapatkan gelar Doktor
Untuk belajar pada lembaga pendidikan ini diberikan untuk persiapan (matrikulasi). Pada tingkat matrikulasi ini terbuka bagi pemengang ijazah Sekolah Menengah Hindia Belanda dahulu, dan juga bagi mereka yang telah lulus dari suatu madrasah Aliyah. Kedua jenis lulusan ini pada umumnya memerlukan kursus pendahuluan selama satua atau dua tahun. Bagi lulusan Sekolah Menengah Hindia Belanda, dimaksudkan untuk menambah pengetahuan Bahasa Arab dan pengetahuan agama, sedangkan bagi alumnus Madrasah Aliyah untuk memperoleh mutu yang lebih tinggi dalam pengetahuan umum. Sedanngkan mengenai karier di masa depan para lulusan, disebutkan jabatan-jabatan:
1. Sebagai guru agama pada berbagai macam sekolah.
2. Pejabat pada Peradilan Agama.
3. Sebagai Pegawai Negeri dan Dinas Keagamaan.
Namun pada bulan Desember 1945, tatkala Jakarta diduduki dan dikuasai oleh Pasukan sekutu di bawah pimpinan Jenderal Christianson, maka untuk sementara perguruan tinggi ini terpaksa ditutup. Dan baru pada tanggal 10 april 1946 perguruan tinggi ini dibuka kembali dengan mengambil tempat di Yogyakarta, yang dihadiri oleh Presiden Soekarno, dengan sebuah pidato oleh Hatta sebagai Ketua Dewan Penyantun.
Kemudian pada tanggal 22 Maret 1948 Sekolah Tinggi islam (STI) diubah University Islam Indonesia dengan beberapa fakultas, yaitu:
1. Fakultas Agama
2. Fakultas Hukum
3. Fakultas Ekonomi
4. Fakultas Pendidikan.
Pada tanggal 22 Januari 1950 sejumlah pemimpin Islam dan para ulama juga mendiirkan Universitas Islam di Solo. Dan pada tahun 1950 itu juga Fakultas Agama yang semula ada di University Islam Indonesia Yogyakarta diserahkan ke pemerintah yakni Kementrian Agama yang kemudian dijadikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dengan PP Nomor 34 Tahun 1950, yang kemudiannya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Antara Universitas Islam Solo denagn UII Yogyakarta pada tanggal 20 februari 1951 disatukan dengan nama Universitas (dulu University) Islam Indonesia atau UII yang sejak saat itu mempunyai cabang pada kedua kota tersebut.
Begitulah perkembangannya, di mana UII terus berjalan, sementara PTAIN pun kian berkembang, apalagi di Jakarta juga telah diselenggarakan lembaga pendidiAgakan tinngi agama dengan nama Akademisi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Dan pada tahun 1960 merupakan bentuk final, di mana antara ADIA Jakarta dan PTAIN Yogyakarta disatukan menjadi Institut Agama Islam (IAIN). Perpaduan ini tampaknya merupakan perkembangan yang amat penting bagi masa depan Islam di Indonesia.
IAIN ini bermula dengan dua bagian yaitu dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta. Di kedua tempat ini, IAIN dengan cepat berkembang menjadi sebuah Institut dengan 4 fakultas, yang pada tiap fakultasnya kuliah selam 3 tahun, dan dapat dilengkapi dengan spesialisasi selama dua tahun.
Keempat fakultas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fakultas Ushuluddin, yeng terdiri dari segi-segi ilmu agama Islam yang bersifat spekulatif, seperti filsafat, tasawuf, perbandingan agama dan dakwah.
2. Fakultas Syari’ah yang menekankan aspek-aspek praktis dan agama yurisprudensi, taksir, pengetahuan hadits dan sebagainya.
3. Fakultas Tarbiyah, yaitu yang bergerak di bidang pendidikan dan keguruan, yang mempersiapkan guru agama.
4. Fakultyas Adab atau Ilmu Kemanusiaan, untuk spesialisai sejarah Islam serta Bahasa Arab secara khusus.
Setelah itu, IAIN terus berkembang dan menyebar ke berbagai daerah Indonesia. Sampai sekarang IAIN untuk seluruh Indonesia sudah berjumlah 14 buah, yaitu:
1. IAIN Sunan kalijaga Yogjakarta
2. IAIN Syarif Hidayatulllah Jakarta
3. IAIN Ar Raniry Banda Aceh
4. IAIN Sunan Ampel Surabaya
5. IAIN Alauddin Ujung Pandang
6. IAIN Raden Fatah Palembang
7. IAIN Antasari Banjarmasin
8. IAIN Imam Bonjol Padang
9. IAIN Sunan gunung Jati Bandung
10. IAIN Walosongo Semarang
11. IAIN Sumatera Utara Medan
12. IAIN Sultan Thaha Syarifuddin Jambi
13. IAIN Raden Intan Lampung
14. IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru
Disamping lembaga pendidikan tinggi negeri (IAIN) di l;ain pihak perguruan tinggi Islam swasta pun juga berkembang pesat, terlebih lagi dengan diresmikannya lembaga pendidikan Islam swasta ini dengan nama Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) yang tersebar di berbagai daerah Indonesia.
A. Lahirnya organisai NU
Nahdatul Ulama’ didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H. (33 Januari 1926 M) di Surabaya. Pembangunannya ialah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur. Di antaranya ialah :
1) K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng.
2) K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
3) K.H. Bisri Jombang.
4) K.H. Ridwan Semarang.
5) K.H. Nawawi Pasuruan.
6) K.H.R. Asnawi Kudus.
7) K.H.R. Hambali Kudus.
8) K. Nakhrawi Malang.
9) K.H. Doromuntaha Bangkalan.
10) K.H.M. Alwi Abdul Aziz.
11) Dan lain-lain.
Latar belakang didirikannya organisasi ini semula adalah sebagai perluasan dari suatu Komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan, yaitu :
- Pertama : untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharuan;
- Kedua : untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa orang Islam di Indonesia telah tertarik pada masalah khilafat ini semenjak Perang Dunia I berakhir. Daulat Usmaniyah goncang, sedangkan kekuasaan Sultan Turki yang juga dipandang sebagai khalifah, termasuk kaum muslimin di Indonesia, diperebutkan oleh nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kamal. Dalam tahun 1922 Majelis Raya Turki menghapuskan kekuasaan sutan dengan menjadikan negeri itu satu republic, tetapi pada tahun itu majelis tersebut menjadikan Abdul Majid Khilafat tanpa kekuasaan duniawi. Dua tahun kemudian majelis itu menghapuskan khilafat sama sekali.
Perkembangan ini menimbulkan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesainnya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah. Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam) Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta K.H.J Wahab dari kalangan tradisi.
Tetapi kongres di Kairo itu ditunda, sedangkan minat orang-orang Islam di Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil mengusir Syarif Husein dari Makkah tahun 1924. Segera setelah kemenangan ini pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran madzhab di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud ini, baik Makkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indonesia untuk menghadiri kongres di Makkah dibicarakan di Kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didomonasi oleh golongan pembagaru Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi pembaharuan di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk mengirim Cokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kyai Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Makkah untuk mengikuti kongres. Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, K.H.J. Abdul Wahab atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran madzhab, dihormayi oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah.
Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama kaum tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaraan utama.
Susuran pengurus NU yang pertama adalah sebagai berikut :
Ra’isul Akbar K.H.Hasyim Asy’ari Tebuireng.
Wakil Ra’isul Akbar K.H.Dahlan Surabaya
Katib Awal K.H.Abdul Wahab Hasbullah Surabay.
Katib Tsani K.H.Abdul Halim Cirebon.
A’wan K.H.M.Alwi Abdul Aziz Surabaya.
A’wan K.H.Ridwan, Surabaya.
A’wan Dan lain-lain.
Mustasyar K.H.R.Asnawi Kudus.
Mustasyar Dan lain-lain.
Maksud perkumpulan NU adalah memegang teguh salah satu madzhab dari madzhab Imam yang berempat, yaitu : (1) Syafi’I (2) Maliki (3) Hanafi dan (4) Hanbali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar :
1) Mengadakan perhubungan di antara ulama-ulama yang bermadzhab tersebut di atas.
2) Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Wal Jama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah.
3) Menyiarkan agama Islam berasaakan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik.
4) Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam.
5) Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan mesjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
6) Mendirikan badan-badan untuk memajukan uerusan pertanian, perniagaan dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.
Demikianlah maksud dan tujuan NU sebagai tersebut dalam Anggaran Dasar tahun 1926 (yaitu sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan social yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang dan ranting untuk mempertinggi nilai kecerdasan masyarakat Islam dan mempertinggi budi pekerti mereka. Sejak masa pemerintah Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, dan mengadakan tabligh-tabligh dan pengajian-pengajian di samping urusan social yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu.
B. Peran Organisasi NU dalam Pendidikan Islam
Pada akhir tahun 1356 H (1938 M) komisi Perguruan NU telah dapat mengeluarkan reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Susunan madrasah-madrasah umum NU itu sebagai berikut :
1) Madrasah Awaliyah, lama belajar 2 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun
3) Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun
4) Madrasah Mu’allimin Wustha, lama belajar 2 tahun
5) Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, lama belajar 3 tahun.
Tentang kurikulum madrasah-madrasah tersebut harus menurut ketentuan PB NU bagian Pendidikan (PP AI Ma’arif).
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka NU tampil ke mukadengan resolusi jihadnya, tanggal 22 Oktober 1945. Isinya mengajak umat Islam untuk mempertahankan tanah air Indonesia yang telah merdeka. Dalam resolusi itu ditetapkan, bahwa hokum jihad untuk mempertahankan tanah air Indonesia, adalah fardlu ‘ain, yakni tiap-tiap muslim wajib berjihad di mana saja mereka berada. Resolusi itu disambut oleh umat Islam dengan patuh.
Untuk memperkuat perjuangan umat Islam, maka dalam kongres umat Islam di Yogyakarta tanggal 7 Nopember 1945 diambil keputusan, bahwa Masyumi dijelmakan menjadi Partai Politik Islam di Indonesia. Sedangkan organisasi-organisasi Islam NU, Muhammadiyah, POI, dan POII menjadi anggota istimewa dalam Masyumi.
Dalam kongres NU tahun 1946, NU mengajarkan kepada anggota-anggotanya supaya memasuki Masyumi, sehingga NU merupakan tulang punggung Masyumi itu. Keadaan itu berjalan beberapa tahun lamanya, sehingga Masyumi merupakan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang berjuang untuk kejayaan Islam di samping partai-partai yang lain.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, karena beberapa waktu kemudian pemimpin-pemimpin PSII Mengundurkan diri dari Masyumi dan membangkitkan kembali PSII sebagai partai politik Islam. Dan karena beberapa hal, maka NU dalam kongresnya di Palembang tanggal 26 April 1952 memutuskan untuk memisahkan diri dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik dengan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
Dengan demikian NU menjelma menjadi partai politik di samping Masyumi, PSII dan Perti. Sejak saat itu usaha Nahdlatul Ulama bukan hanya memelihara madrasah-madrasah, mengadakan pengajian-pengajian dan tabligh-tabligh, melainkan juga memperjuangkan cita-cita politiknya dengan cara turut serta dalam pemerintahan dan dewan-dewan perwakilan rakyat, dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Anggaran Dasar NU yang baru (sesudah menjadi partai politik) adalah sebagai berikut :
NU berasaskan agama Islam dan bertujuan :
1) Menegakkan syari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari pada empat madzhab : Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hanbali.
2) Melaksanakan berlakunya hokum-hukum Islam dalam masyarakat (Pasal 2). Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan ikhtiar dengan jalan :
a) Menyiarkan agama Islam dengan jalan tabligh-tabligh, kursus-kursus dan penerbitan-penerbiatan;
b) Mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam;
c) Menggiatkan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan jalan yang seaik-sebaiknya;
d) Menggiatkan usaha-usaha kebajikan (social);
e) Mempererat perhubungan di antara umat Islam, terutama ulamanya;
f) Memperhatikan tentang perekonomian umat Islam;
g) Meanyadarkan umat Islam dalam ketata negaraan;
h) Mengadakan kerja sama dengan lain-lain organisasi dan golongan dalam usaha mewujudkan masyarakat Islam;
i) Memperjuangkan tujuan NU dalam badan-badan pemerintahan, dewan-dewan perwakilan rakyat dan dalam segala lapangan masyarakat. (Pasal 3).
Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlatul Ulama membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan nama Al-Ma’arif yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan/sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan NU. Dalam salah satu keputusan dari suatu Konferensi Besar Al-Ma’arif NU seluruh Indonesia yang berlangsung pada tanggal23-26 Pebruari 1954, ditetapkan susunan sekolah/madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut :
1. raudlatul-Athfal (Taman Kanak-kanak) lamanya 3 tahun.
2. SR (Sekolah Rendah)/SD-sekarang lamanya 6 tahun.
3. SMP NU Lamanya 3 tahun.
4. SMA NU lamanya 3 tahun.
5. SGB NU lamanya 4 tahun.
6. SGA NU (SPG-sekarang) lamanya 3 tahun.
7. MMP NU (Madrasah Menengah Pertama) lamanya 3 tahun.
8. MMA NU (Madrasah Menengah Atas) lamanya 3 tahun.
9. Mu’allimin/Mu’allimat NU lamanya 5 tahun.
C. Lahirnya organisasi PUI
Persyerikatan Ulama Indonesia merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat, yang dimulai pada tahun 1991 atas inisiatif Kyai Haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Cibereleng Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama (ayahnya seorang penghulu di Jatiwangi), sedangkan saudara-saudaranya mempunyai hubungan yang erat secara kekeluargaan dengan orang-orang dari kalangan pemerintah.
KHA Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun di berbagai pesantren di daerah Majalengka. Kemudian ia pergi Makkah untuk menunaikan ibadah haji dn melanjutkan pelajarannya. Selama tiga tahun berada di Makkah, ia mengenal tulisan-tulisan Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani, yangmerupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari dari daerah Sumatera. Di Makkah inilah ia pertama kali mengenal Kyai Haji Mas Mansyur yang kemudian menjadi ketua umum Muhammadiyah. Tetapi KHA Halim tidak merasa bahwa ia banyak dipengaruhi ole Abduh ataupun oleh Al-Afghani. Dan memang sampai ia meninggal tahun 1962, tetap berpegang pada madzhab Syafi’i.
Yang lebih memberikan kesan baginya adalah dua lembaga pendidikan, yaitu Bab al-Salam dekat Makkah dan yang lainnya di Jeddah. Menurut ceritanya kedua lembaga ini telah menghapuskan sistem halakah dan sebagai gantinya mengorganisir kelas-kelas serta menyusun kurikulum dengan mempergunakan bangku dan meja. Lembaga-lembaga ini ini merupakan contoh baginya kelak untuk mengubah sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembali ia ke tanah air. Pada tahun-tahun kemudian kegiatannya lebih dirangsang oleh pandangan rendah dari pihak familinya yang masuk golongan priyayi terhadap keluarganya, termasuk ayahnya sendiri. Ia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa seorang bukan priyayi dapat pula melayani masyarakat dengan baik.
Enam bulan setelah kembali dari Makkah pada tahun 1911, KHA Halim mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Hayatul Qulub, yang bergerak, baik bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Anggota-anggotanya mulanya enampuluh orang, umumnya terdiri dari pedagang dan petani. Mereka membayar iuran masuk sepuluh sen dan iuran mingguan lima sen, untuk dana mendirikan sebuah perusahaan tenun. Organisasi ini juga bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang Cina.
D. Peranan Organisasi PUI dalam Pendidikan Islam
Dalam bidang pendidikan KHA Halim mulanya menyelenggarakan palajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa, yang diikuti empat puluh orang. Umumnya pelajaran yang ia berikan adalah pelajaran-pelajaran fiqh dan hadits. Ketika itu Halim tidak semata-mata mengajar saja tetapi juga bergerak di bidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidupnya.
Hayatul Qutub tidaklah berlangsung lama. Persaingan dengan para pedagang Cina yang kadang-kadang menyebabkan perkelahian (perang mulut serta juga secara fisik), dianggap oleh pemerintah sebagai penyebab kerusuhan. Sekitar tahun 1915 organisasi tersebut dilarang setelah tiga atau empat tahun bergerak. Tetapi kegiatan-kegiatannya terus dilanjutkan walau tidak diberi nama resmi, termasuk kegiatan di bidang ekonomi. Sedang kegiatan pendidikan dilanjutkan oleh sebuah organisasi baru yang disebut Majlisul Ilmi.
Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat modern. Demikianlah sebuah sekolah dengan nama Jami’iyat I’anat al-Muta’alimin didirikan dengan mendapat sambutan yang amat baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi sistem berkelas dan sistem koedukasi yang diintrodusir oleh KHA Halim dalam lembaga lima tahunnya itu tidak disukai. Sungguhpun demikian KHA Halim dengan bantuan yang diperolehnya dari penghulu dan juga oleh karena mundurnya pesantren di daerahnya, dapat mengubah ketidaksenangan ini. Usahanya mulai disambut baik. Untuk memperbaiki mutu sekolahnya KHA Halim berhubungan dengan Jam’iat Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajubkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi tersebut yang kemudian diganti menjadi Persyerikatan Ulama Indonesia, diakui sah secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan H.O.S. Cokroaminoto (Pemimpin Serikat Islam). Ia disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi Islam lainnya Al-Iittihadiyatul Islamiyah (AII), menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Pada tahun 1924, Persyerikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 ke seluruh Indonesia. Dalam kenyataannya Persyerikatan Ulama tetap merupakan sebuah organisasi daerah Majalengka. Ia tidak semata-mata membatasi diri pada bidang pendidikan. Ia juga membuka sebuah rumah anak yatim yang diselenggarakan oleh Fathimiyah, bagian wanita dari organisasi tersebut (nama yang diambil dari nama anak Nabi Muhammad SAW) yang didirikan pada tahun 1930.
Beberapa buah perusahaan juga berada di bawah pengawasan organisasi itu. Dua setengah hektar tanah dibeli pada tahun 1927 untuk pertanian, sebuah percetakan dan sebuah perusahaan tenun didirikan, masing-masing tahun 1930 dan 1939. untuk segala keperluan di bidang perusahaan ini semua guru-guru Perserikatan Ulama di Majalengka diwajibkan membeli saham. Perhatian di bidang ekonomi ini juga dicerminkan dalam kurikulum dari lembaga pendidikan yang didirikan oleh Persyerikatan Ulama yang bernama Santi Asrama. Lembaga ini didirikan tahun 1932 di samping madrasah-madrasah biasa yang telah didirikan di banyak tempat di daerah tersebut.
Pada tahun 1932, dalam suatu kongres Persyerikatan Ulama di Majalengka, KHA Halim mengusulkan agar sebuah lembaga didirikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja denga berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, bergantung pada bakat masing-masing.
KHA Halim rupanya telah sampai pada pemikiran ini setelah melihat bahwa kebanyakan dari lulusan sekolah yang didirikan oleh pemerintah menggantungkan diri kepada lapangan kerja yang disediakan dalam ligkungan pemerintah atau dalam bidang usaha, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Iapun juga melihat bahwa lulusan madrasah biasa ataupun pesantren hanya menjadi guru agama atau kembali pada lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri (bertani atau berdagang). Padahal ia tidak punya latihan khusus untuk itu, juga tidak di dalam madrasah ataupun dalam lingkungan keluarganya. Oleh sebab itu KHA Halim berpendapat bahwa seorang lulusan yang baik adalah yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan.
Pendiri Persyerikatan Ulama ini juga mengusulkan agar latihan tersebut perlu juga menitikberatkan pada pembentukan watak. Untuk keperluan ini sebuah tempat yang tenang di luar kota merupakan tempat yang ideal. Kota, katanya, telah diracuni atau sering diracuni engan kebiasaan-kebiasaan yang kurang mengindahkan moral. Sedangkan tempat-tempat di luar kota yang s unyi dan tenang dapat merupakan tempat yang memberikan inspirasi-inspirasi yang baik.
Kongres tadi menerima usul KHA Halim. Suatu keluarga yang kaya dari Ciomas menyediakan setumpuk tanahnya, di Pasir Ayu, kira-kira sepuluh kilometer dari Majalengka, untuk keperluan pelaksanaan cita-cita tersebut. Lembaga ini, dinamakan Santi Asrama yang dibagi 3 bagian : Tingkat permulaan, dasar dan lanjutan. Di samping kurikulum biasa sebagaimana terdapat pada sekolah-sekolah lain dari Persyerikatan Ulama, yaitu dalam agama dan pelajaran umum, pelajar-pelajar dalam Santi Asrama dilatih pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai-bagai bahan, sperti membuat sabu. Mereka harus tinggal di suatu asrama di bawah disiplin yang ketat, terutama tentang pembagian waktu dan tentang sikap pergaulan hidup mereka. Pada bagian kedua dari tahun 1930-an kira-kira 60 sampai 70 anak-anak muda dilatih di Santi Asrama tersebut pelajar-pelajar yang diasramakan, sedangkan kira-kira 200 anak-anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya turut pula belajar.
Sebagaimana organisasi-organisasi lain, Persyerikatan Ulama sejak mula berdiri, menyelenggarakan juga tabligh dan mulai sekitar tahun 1930 menerbitkan majalah dan brosur sebagai media penyebaran cita-citanya. Di samping masalah-masalah organisasi, pertemuan-pertemuan dan tabligh serta publikasi tersebut mengutamakan sekali aspek-aspek Islam.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............