CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, 12 January 2012

IMAM HANAFI



A.    Biografi Imam Hanafi dan Latar Belakang Pendidikannya
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Abu Hanafi al-Nu’man bin Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah. Ia berasal dari keturunan Persi, lahir di Kuffah tahun 80H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150H/767 M.Ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan awal dinasti Abbasiyah.
Abu Hanifah adalah pendiri madhab hanafi yang terkenal dengan “al-Imam al-A’zham” yang berarti Imam terbesar. Beliau dikenal sangat rajin belajar, taat beribadah dan sungguh-sungguh dalam mengerjakan kewajiban agama.
Abu Hanifah pada mulanya gemar belajar ilmu qira’at, hadits, nahwu, sastra, syi’ir teologi dan ilmu-ilmu lainnya. Di antara ilmu-ilmu yang diminatinya adalah ilmu teologi, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh terpandang dalam ilmu tersebut.
            Selanjutnya, Abu Hanifah menekuni ilmu fiqh di Kufah. Abu Hanifah belajar dengan seorang ulama terkenal di Kufah yang bernama Hamad Ibn Abi Sulaiman. Setelah itu , Abu Hanifah beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami ilmu fiqh dan hadits sebagai nilai tambah dari apa yang telah diperolehnya di Kufah. Sepeninggal Hammad, majlis Madrasah Kufah sepakatmengangkat Abu Hanifah menjadi kepala Madrasah. Dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang merupakan dasar utama pemikiran madhab hanafi yang dikenal sampai sekarang ini.
Abu Hanifah banyak mendidik murid yang memiliki pandangan luas dalam masalah kiqh. Puluhan dari muridnya itu menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti abbasiyah, Saljuk, Utsmani dan Mughal
B.     Pola Pemikiran
Dari perjalanan hidupnya itu, Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan al-Imam al-A’zham. Di sisi lain ia merasakan kota kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politika kota Basrah dan Kufah melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang seperti: ilmu sastra, teologi, tafsir, fiqh, hadits, dan tasawuf, kedua kota bersejatrah ini mewarnai intelektual abu Hanifah ditengan berlangsungnya proses transformasi sosio kultur, politik dan petentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan, dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan pendidikannya, juga tidak lepas dari sumber hukum yang ada.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama ahl al-Ra’yi. Dalam menetapkan hukum islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an atau pun al hadis, beliau banyak mengeluarkan nalar. Apabila terdapat hadis yang bertentangan maka beliau menetapkan hukum dengan jalan qiyas dan istihsan. Adapun metode istindal Imam Hanafi dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri,”Sesungguhnya saya mengambil Kitab Suci Al-Qur’an dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an , maka saya mengambil Sunnah Rasul SAW yang shahih dan tersiar di kalangan orang-orang terpercaya. Apabila saya tidak menemukan dari keduanya maka saya akan mengambil pendapat orang-orang terpercaya yang saya kehendaki, kemudian saya tidak keluar dari pendapat mereka. Apabila urusan itu sammpai kepada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirrin dan Sa’ad ibn Musayyab, maka saya brerijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap pendapatnya. Beliau  selalu mengatakan,” Inilah pendapat saya dan kalau ada pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang benar”.
Dari keterangan diatas nampak bahwa Abu Hanifah dalam beristindal atau mentapkan hukum syara’ yang tidak ditetapkan dalalahnya secara qath’iy dari al-Qur’an atau dari hadis yang diragukan keshahihannya, beliau selalu menggunakan ra’yu. Beliau sangat selektif menerima hadits. Imam Abu Hanifah memperhatiakan mu’amalah manusia, adat istiadat serta ‘urf mereka. Beliau berpegang pada qiyas dan apabila tidak bisa ditetapkan berdasarkan qiyas, beliau berpegang pada istihsan selama hal itu dapat dilakukan jika tidak, maka beliau berpegang pada kepada adat dan ‘urf.
Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah ,yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasul saw yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadis. Di samping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persi, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyaraakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi atau zaman Sahabat dan Tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yi. Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan pemikiran di Kufah (Irak) dengan di Madinah (Hijaz). Ulama Madinah banyak memakai Sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam masyarakat. Sedangkan di Kufah, Sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan ra’yi.
Para ahli hukum Kufah  merumuskan ketentuan hukum mereka dari pendapat dan pertimbangan sahabat seperti: ‘Ali , Abdullah ibn Mas’ud dan para Tabi’in seperti: ‘Alqamah, al –Aswad, Ibrahim al-Nakha’iy dan lain-lain, pemikiran paara pakar hukum di Irak ini diwarisi oleh Abu Hanifah dengan mempelajari hukum terdahulu dari mereka dan melakukan perbincangan dengan pakar-pakar hukum sezamannya dalam mengambil keputusan-keputusan. Kemudian beliau melakukan ijtihad dengan tetaap memelihara semangat dan praktek yang berlaku di kufah ketika itu. Abu Hanifah ini pengaruhnya tersebar luas dan menjadi simbol kristalisasi  dalam tradisi Irak.
Melihat perkembangan sejarah yang terus bergulir dan berputar, zaman terus berubah dan masyarakat pun mengalami perubahan, maka sejak awal tokoh-tokoh madhab sudah melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ketika itu. Abu Hanifah menolak sebagian hadits yang diragukan keshahihannya dan hanya bertumpu pada al-Qur’an. Melalui qiyas beliau berusaha agar ayat-ayat dalam al-Qur’an dapat disesuaikan pada tiap ragam kondisi. Madhab Hanafi menggambarkan upaya penyesuaian hukum islam (fikih) dengan kebutuhan masyarakat di segala bidang. Karena madhab Hanafi ini berdasarkan pada al-Qur’an , Hadits, ijma’, Qiyas, dan Istihsan, maka bidang-bidang ijtihad menjadi luas, sehingga suatu ketentuan hukum-hukum dapat ditetapkan sesuai dengan keadaan masyarakat tanpa keluar dari prinsip-prinsip dab aturan pokok Islam.
Menurut Shubhy Mahmasany, pengetahuan Abu Hanifah yang mendalam di bidang ilmu hukum(fiqh) dan profesinya sebagai saudagar , memberi peluang baginya untuk memperlihatkan hubungan-hubungan hukum secara praktis. Kedua faktor ini yang menyebabkan keahliannya sangat luas dalam menguasai pendapatdan logika dalam penerapan hukum syari’at dengan qiyas dan istihsan. Karena itulah Madhab Hanafi terkenal dengan Madhab Ra’yi.
C.    Faktor Sosial Budaya dan Politik
1.      Soaial Budaya
Secara sosial buadaya, dari perjalanan hidupnya Abu Hanifah sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Di satu segi, kota Kufah memberi makna dalam kehidupannya sehingga menjadi salah seorang ulama besar dan al-Imam al-A’zham. Di sisi lain ia merasakan kota kufah sebagai kota teror yang diwarnai dengan pertentangan politika kota Basrah dan Kufah melahirkan banyak ilmuwan dalam berbagai bidang seperti: ilmu sastra, teologi, tafsir, fiqh, hadits, dan tasawuf, kedua kota bersejatrah ini mewarnai intelektual abu Hanifah ditengan berlangsungnya proses transformasi sosio kultur, politik dan petentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan, dan Persi. Oleh sebab itu pola pemikiran Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum, sudah tentu sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan pendidikannya, juga tidak lepas dari sumber hukum yang ada.
Dalam menetapkan hukum Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah ,yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasul saw yang banyak mengetahui hadits. Di Kufah kurang perbendaharaan hadis. Di samping itu, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persi, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema kemasyaraakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Karena problema itu belum pernah terjadi di zaman Nabi atau zaman Sahabat dan Tabi’in, maka untuk menghadapinya memerlukan ijtihad atau ra’yi. Hal inilah penyebab perbedaan perkembangan pemikiran di Kufah (Irak) dengan di Madinah (Hijaz). Ulama Madinah banyak memakai Sunnah dalam menyelesaikan problema-problema yang muncul dalam masyarakat. Sedangkan di Kufah, Sunnah hanya sedikit yang diketahui di samping banyak terjadi pemalsuan hadits, sehingga Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadits dan karena itu maka untuk menyelesaikan masalah yang aktual, beliau banyak menggunakan ra’yi.
2.      Politik
Secara politik, Abu Hanifah di dua generasi. Beliau hidup selama 52 tahun  pada zaman Dinasti Umayyah (kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan) dan 18 tahun hidup pada zaman Dinasti Abbasiyah. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya oleh Dinasyi Umayyah. Krtika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya, Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umyyah) menjadi Gubenur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan atau bendaharawan negara, tetapi beliau menolaknya. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun atas pertolongan juru cambuk, beliau berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Makkah. Beliau tinggal disana selama enam tahun. Setelah pemerintahan Umayyah berahir,beliau kembali ke Kufah.
Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh al-Manshur terhadap al-Nafs al-Zakiyah pada tahun 145 H. Abu Hanifah tampil mengkritik Abbasiyah. Beliau juga mengkritik para hakim dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al-Manshur untuk menjadi hakim dipengadialn beliau menolaknya. Akhirnya beliau dipenjara dan dicambuk. Beliau meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaaan dalam tahanan.
D.    Karya-Karya Abu Hanifah
Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslems mengemukakan, bahwa Abu Hanifah meninggalkan tiga karya besar yaitu : Fiqh akbar, al-‘Alim wa al-Muta’alim dan Musnad Fiqh Akbar, sebuah majalah ringkasan yang terkenal. Disamping itu Abu Hanifah membentuk badan yang terdiri dari para tokoh-tokoh cendekiawan dan beliau sendiri yang menjadi ketuanya. Badan ini berfungsi memusyawarahkan dan menetapkan ajaran Islam dalam bentuk tulisan dan mengalihkan syari’at Islam kedalam undang-undang.
Menurut Syed Ameer Ali dalam bukunya The spirit of Islam, karya-karya Abu Hanifah, baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya ketika itu (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi madhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang. Madrasah ini kemudian dikenal dengan beberapa nama yaitu madrasah Hanafi, madrasah ahli ra’yi, disamping namanya menurut versi sejarah hukum Islam sebagai  “ Madrsah kufah”.
Adapu muri-murid Abu Hanifah yang berjasa di Madrasah Kufah dan membukukan fatwa-fatwanya, adalah
a.       Abu Yusuf Ya’cub ibn Ibrahim al-Anshary (113-182 H)
b.      Muhammad ibn hasan al-Syaibany (132-189 H)
c.       Zufar ibn Huzailan al-Kufy (110-158 H)
d.      Al-hasan ibn Ziyad al-Lu’lu’iy (133-204 H)
                        Dari keempat murid tersebut yang banyak menyusun bahan pikiran Abu Hanifah adalah Muhammad al-Syaibany yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu :
1.      Kitab al-Mabsuth
2.      Kitab al-Ziyadat
3.      Kitab al-Jami’ al-Shaghir
4.      Kitab al-Jami’ al-Kabir
5.      Kitab al-Sair aal-shaghir
6.      Kitab al- Sair al-Kabir
                        Muridnya yang bernama Abu Yusuf yang menjadi Qadhy al-Qudhat di zaman Khalifah Harun al-Rasyid, menulis kitab al-Kharaj yang membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.
                        Dengan karya-karyanya tersebut Abu Hanifah dan madhabnya berpengaruh besar dalam dunia Islam yang beraliran Sunny. Para pengikutnya tersebar diberbagai negara seperti, Irak, Turki, Asia Tengah, Pakistan, India, Tunis, Turkistan, Syiria, Mesir, Libanon. Mazhab Kanafi pada masa Khalifah Bani Abbas merupakan mazhab yang banyak dianut oleh umat Islam dan pada pemerintahan kerajaan Usmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi negara. Sekarang penganut mazhab ini tetap termasuk golongan mayoritas di sampinh mazhab syafi’i.
.






TUGAS
RESUME

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah “Perbandingan Madhab”
Dosen Pengampu:
Dr. Asmawi, M.Ag

 








Disusun Oleh:
Kelompok IV
                                          Fina Nur Indah K     (3211093009)
                                                           Kelas            : A
                                                           Semester       : IV (EMPAT)
                                                           Jurusan         : Tarbiyah
                                                           Prodi             : PAI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) TULUNGAGUNG
OKTOBER  2011

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............