CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday 12 January 2012

MADZAB SYAFI’IYAH


Kelahiran Imam Al-Syafi’i
Nama lengkap Imam Al-Syafi’i adalah Muhammad ibn idris ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat palestina) pada tahun 150 H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Dengan usaha keras ibunya, al-Syagfi’i dapat menghafalkan al-Quran dalam umur yang relatif muda. Kemudian ia mengarahkannya untuk menghafalkan hadits. Al-Syafi’i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para guru, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk menghindari dari pengaruh bahasa Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada saat itu, untuk itu ia pergi ke Kabilah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.
Al-Syafi’i belajar hadis dan fiqih di Mekah. Setelah itu, ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179H., al-Syafi’i mencoba memperbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan, ketika gubernur yaman datang ke Mekah, atas bantuan beberapa orang Quraisy, al-Syafi’i diangkat oleh Gubernur menjadi pegawai di Yaman.
Guru dan Murid Imam al-Syafi’i
Di madinah, al-Syafi’i berguru kepada imam Malik dan di kufah berguru kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Imam Malik merupakan puncak tradisi Madrasah Madinah (hadis), dan Abu Hanifah adalah puncak tradisi Madrasah Kufah (ra’yu). Dengan demikian, al-Syafi’i dapat dikatakan sebagai sintesis antara aliran Kufah dan aliran Madinah.
Di samping itu, al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah, dan Kufah. Di antara ulama Yaman yang menjadi guru Imam al-Syafi’i adalah (1) Mutharraf ibn Mazim; (2) Hisyam ibn Yusuf; (3) Umar ibn Abi Salamah; dan (4) Yahya ibn Hasan.
Dalam peta aliran pemikiran fikih sunni, Imam al-Syafi’i merupakan ulama “sintesis” dari dua aliran yang berbeda, yaitu aliran Irak dan aliran Madinah. Dalam menguasai fiqih Madinah, ia berguru langsung kepada Imam Malik; sedangkan dalam menguasai fikih irak, ia berguru kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani yang merupakan pelanjut fikih Hanafi. Di samping itu, ia mempelajari fikih al-Auza’i dari umar ibn Abi Salamah, dan mempelajari fikih al-Laits dari Yahya ibn Hasan. 
Cara Ijtihad Imam al-Syafi’i
Seperti imam mazhab lainnya, Imam al-Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya Adapu langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut. “ Asal adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduannya. Apabila hadis telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha). Makna hadis yang di utamakan adalah makna zhahir; ia menolak hadis munqathi’ kecuali yang diriwayatkan oleh ibn al-Musayyab; pokok(al-ashl) tidak boleh dianalogikan kepada pokok.
Menurut Imam al-Syafi’i, rujukan pokok adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila suatu persoalan tidak di atur dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hukumnya ditentukan dengan cara qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak lebih diutamakan atas khabar mufrad. Makna yang di ambil dari hadis adalah makna zhahir; apabila suatu lafad ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zhahir lebih diutamakan. Hadits munqathi’ di tolak kecuali jalur ibn al-Musayyab. Al-ashl tidal boleh diqiyaskan kepada al-ashl. kata mengapa dan bagaimana tidak boleh dipertanyakan kepada al-Quran dan sunnah; keduannya dipertanyakan hanya kepada al furu’. Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar. Dengan demikian dalil hukum bagi al-Syafi’i adalah Al-Quran. Sunnah, dan ijmak; sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah al-qiyas dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahuluannya.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Ahmad Amin menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat al-syafi’i menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat al-Syafi’i yang dikemukakan di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat Imam al-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam al-Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadis dan fikih yang diriwayatkan ulama Mesir tergolong ahl- al-hadits. Setelah itu al-Syafi’i berangkat ke Hijaz dan kembali lagi ke Irak pada tahun 198H. dan tinggal di sana selama satu bulan; kemudian melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau tiba di Mesir pada tahun 199H.
Pendapat al-Syafi’i
Selain qaul qadim dan qaul jadid, Imam al-Syafi’i juga memiliki pendapat yang sebagian besar tercermin dalam kitab al-Umm, di antaranya sebagai berikut.
1.    Imamah
Menurut al-Syafi’i, masalah imamah termasuk masalah agama (amr diniy); karena itu, menurutnya, mendirikan imamah merupakan kewajiban agama (bukan sekedar kewajiban aqli). Pemimpin orang islam mesti beragama islam dan orang-orang nonmuslim terlindungi.
Selanjutnya, ia berpendapat bahwa pemimpin mesti dari kalangan Quraisy. Alasannya, karena ada sebuah riwayat yang sangat terkenal di kalangan sunni yang di jadikan kuncu penyelesaian perdebatan politik di Saqifah Bani Sa’dah untuk menentukan pengganti Nabi Saw sebagai pemimpin negara dan agama.
Dalam pandangan Imam al-Syafi’i, pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang memiliki kriteria berikut: (1) Berakal (2) Dewasa (3) Merdeka (4) Beragama islam (5) Laki-laki (6) Dapat melakukan ijtihad (7) Memiliki kemampuan mengatur (manajerial, al-tadbir) (8) Gagah berani (9) Melakukan perbaikan agama (10) dari kalangan Quraisy.


2.      Hakim Perempuan
Salah satu perdebatan ulama yang cukup menarik untuk diteliti adalah tentang hakim perempuan. Menurut al-Syafi’i, perempuan tidak boleh menjadi hakim secara mutlak; artinya, perempuan tidak boleh menjadi hakim, baik hakim yang menangani hukum perdata maupun pidana. Cara ijtihad yang dugunakannya adalah analogi atau qiyas. Dalam pandangannya, Nabi Muhammad melaramg perempuan menjadi pemimpin.Karena itu, perempuan tidak di bolehkan menjadi hakim. Pemim;pin perempuan dijadikan al-ashl (pokok) dan hakim perempuan dijadikan sebagai al-far (cabang)
3.    Rujukan Syafi’iyah
Rujukan pertama yang pada awalnya diimlakan kemudian ditulisnya adalah kitab al-Umm. Menurut Imam Abu Zahrah, kitab ini merupakan al-hujjah al-ula dalam aliran syafi’i. Sedangkan kitab yang kedua adalah al-Risalah. Karena kitab inilah, al-Syafi’i dianggap sebagai Bapak Ushul al-Fiqh.
Berikut ini di antara kitab-kitab  kaidah fiqih aliran Syafi’iyah.
a.    Qawa’id al-Alikam fi Mashalih al-Anam karya ibnu Abd al-salam (w. 660 H).
b.    Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya ibnu Wakil (w. 716).
c.    Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Taj al-Din al-Subki (w. 771H).
d.   Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H).
e.    Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911H).

Dasar Madzab Syafi’i
Berdasar urutan tingkat pentingnya, dasar madzab Syafi’i adalah:
1)   Al-Qur’an. as-Syafi,i memposisikan al-Qur’an sebagai landasan utama sumber hukum islam.
2)   Sunnah. Posisi kedua sumber hukum Islam di mata as-Syafi’i adalah Sunnah. Namun beliau memiliki kualifikasi yang berbeda, dimana hanya bersandar kepada satu syarat dalam  meneriama sebuah hadits, yaitu Hadits tersebut haruslah shahih.
3)   IJma’. Meskipun Imam syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasus dimana ijma tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum islam urutan ketiga.
4)   Qiyas.Dalam pandangan Imam Syafi’i, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih lanjut sumber-sumber sebelumnya.
5)   Istishab. Dalam pandangannya, istihsan merupakan bentuk bid’ah karena lebih menempatkan penalaran manusia terhadap wilayah yang sesumgguhnya telah tersedia nashnya.Meskipun demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan serupa, para pengikut syafi’i diwajibkan menggunakan sebuah prinsip yang mirip dengan istihsan dan istisllah yang dinamakannya istishab.Isthisab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum, isthisab merujuk kepada proses perumusan hukum-hukum fiqih dengan mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan-keadaan sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum fiqh bisa diaplikasikan pada kondidi tertentu yang tetap sah sepanjang persyaratannya tidak berubah.

Pemikiran Al-Syafi’i Tentang Hadits
Kata hadis atau al-hadis menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Kata al-hadis juga berarti al-khabar (beriita), yaitu sesuatuyang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya adalah al-hadis.
Menurut Al-Syafi’i al-Sunnah adalah mutlaq al-sunnah yatanawaluhu sunnata rasulillahi faqat. Bahwa sunnah lebih luas dari pada hadis. Pernyataan al-syafi’i tersebut mengandung konsekuensi logis untuk mengadakan penelitian secara sistematis dengan tolak ukur tertentu., sehingga segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW, tidak bisa lepas begitu saja dari kritik pembuktian keotentiknya.
Al-Syafi’i meletakkan sunnah dalam satu peringkat dengan al-Kitab. Ini menunjukkan derajat al-sunnah secara keseluruhan, bukan satuan, di mana penggunaannya sebagai dalil dan akibat penolakan terhadapnya, sama dengan al-kitab.
Al-Kitab adalah al-Quran sedangkan al-Hikmah adalah al-Sunnah. Namun akhirnya ditegaskan, bahwa baik al-Qur’an maupun al-Sunnah semuanya dari Allah.Yang dimaksud denngan ketentuan Allah mencakup tiga bentuk:
a)    Suatu ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam Al-Qur’an.
b)   Sesuatu ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam Al-Quran, sedangkan pelaksanaannya disebutkan oleh al-Sunnah.
c)    Suatu ketentuan yang disebutkan oleh al-Sunnah sendiri (Istiqlal).

Acuan pokok pemikiran al-Syafi’i adalah al-kitab yang didudukkan sebagai bayan kulli yang mempunyai dua corak: a) ada yang berupa nash, tidak membutuhkan penjelasan dari sumber lain, dan b) ada yang bukan nash sehingga membutuhkan sumber lain. Kedua corak ini juga merupakan sebab mengapa hadis diletakkan dalam satu peringat dengan al-kitab. Kalau al-kitab dinyatakan sebagai suatu kulli, maka istinbat dengan al-Kitab tidak boleh lepas dengan syarahnya, yaitu hadis. Ada dua fungsi pokok al-Sunnah yaitu al-bayan dan al-istiqlal, memberi penjelasan dan menambah hukum dalam al-Qur’an.  

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............