Kelahiran Imam Al-Syafi’i
Nama
lengkap Imam Al-Syafi’i adalah Muhammad ibn idris ibn Al-Abbas ibn Utsman ibn
Syafi’ ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn
Abd Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat palestina) pada tahun 150
H., kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204
H.
Dengan
usaha keras ibunya, al-Syagfi’i dapat menghafalkan al-Quran dalam umur yang
relatif muda. Kemudian ia mengarahkannya untuk menghafalkan hadits. Al-Syafi’i
belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para guru, kemudian mencatatnya.
Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk menghindari dari pengaruh
bahasa Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada saat itu, untuk itu
ia pergi ke Kabilah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.
Al-Syafi’i
belajar hadis dan fiqih di Mekah. Setelah itu, ia pindah ke Madinah untuk
belajar kepada Imam Malik. Ketika Imam Malik meninggal dunia pada tahun 179H., al-Syafi’i
mencoba memperbaiki taraf hidupnya. Secara kebetulan, ketika gubernur yaman
datang ke Mekah, atas bantuan beberapa orang Quraisy, al-Syafi’i diangkat oleh
Gubernur menjadi pegawai di Yaman.
Guru
dan Murid Imam al-Syafi’i
Di
madinah, al-Syafi’i berguru kepada imam Malik dan di kufah berguru kepada
Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani yang beraliran Hanafi. Imam Malik merupakan
puncak tradisi Madrasah Madinah (hadis), dan Abu Hanifah adalah puncak tradisi
Madrasah Kufah (ra’yu). Dengan demikian, al-Syafi’i dapat dikatakan sebagai
sintesis antara aliran Kufah dan aliran Madinah.
Di
samping itu, al-Syafi’i berguru kepada beberapa ulama selama tinggal di Yaman, Mekah,
dan Kufah. Di antara ulama Yaman yang menjadi guru Imam al-Syafi’i adalah (1)
Mutharraf ibn Mazim; (2) Hisyam ibn Yusuf; (3) Umar ibn Abi Salamah; dan (4)
Yahya ibn Hasan.
Dalam
peta aliran pemikiran fikih sunni, Imam al-Syafi’i merupakan ulama “sintesis”
dari dua aliran yang berbeda, yaitu aliran Irak dan aliran Madinah. Dalam
menguasai fiqih Madinah, ia berguru langsung kepada Imam Malik; sedangkan dalam
menguasai fikih irak, ia berguru kepada Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani yang
merupakan pelanjut fikih Hanafi. Di samping itu, ia mempelajari fikih al-Auza’i
dari umar ibn Abi Salamah, dan mempelajari fikih al-Laits dari Yahya ibn Hasan.
Cara
Ijtihad Imam al-Syafi’i
Seperti
imam mazhab lainnya, Imam al-Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam
tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya Adapu langkah-langkah
ijtihadnya adalah sebagai berikut. “ Asal adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila
tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah, ia melakukan qiyas terhadap keduannya. Apabila
hadis telah muttashil dan sanadnya sahih, berarti ia termasuk
berkualitas (muntaha). Makna hadis yang di utamakan adalah makna zhahir;
ia menolak hadis munqathi’ kecuali yang diriwayatkan oleh ibn
al-Musayyab; pokok(al-ashl) tidak boleh dianalogikan kepada pokok.
Menurut
Imam al-Syafi’i, rujukan pokok adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila suatu
persoalan tidak di atur dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hukumnya ditentukan dengan
cara qiyas. Sunnah digunakan apabila sanadnya sahih. Ijmak lebih diutamakan atas
khabar mufrad. Makna yang di ambil dari hadis adalah makna zhahir;
apabila suatu lafad ihtimal (mengandung makna lain), maka makna zhahir
lebih diutamakan. Hadits munqathi’ di tolak kecuali jalur ibn
al-Musayyab. Al-ashl tidal boleh diqiyaskan kepada al-ashl. kata mengapa dan
bagaimana tidak boleh dipertanyakan kepada al-Quran dan sunnah; keduannya
dipertanyakan hanya kepada al furu’. Qiyas dapat menjadi hujjah jika
pengqiyasannya benar. Dengan demikian dalil hukum bagi al-Syafi’i adalah
Al-Quran. Sunnah, dan ijmak; sedangkan teknik ijtihad yang digunakan adalah
al-qiyas dan al-takhyir apabila menghadapi ikhtilaf pendahuluannya.
Qaul
Qadim dan Qaul Jadid
Ahmad
Amin menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat al-syafi’i menjadi dua: qaul
qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat al-Syafi’i yang
dikemukakan di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat Imam al-Syafi’i yang
dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Sebab
terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena Imam
al-Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadis dan fikih yang diriwayatkan ulama
Mesir tergolong ahl- al-hadits. Setelah itu al-Syafi’i berangkat ke Hijaz dan
kembali lagi ke Irak pada tahun 198H. dan tinggal di sana selama satu bulan;
kemudian melakukan perjalanan ke Mesir. Beliau tiba di Mesir pada tahun 199H.
Pendapat
al-Syafi’i
Selain
qaul qadim dan qaul jadid, Imam al-Syafi’i juga memiliki pendapat yang sebagian
besar tercermin dalam kitab al-Umm, di antaranya sebagai berikut.
1. Imamah
Menurut
al-Syafi’i, masalah imamah termasuk masalah agama (amr diniy); karena
itu, menurutnya, mendirikan imamah merupakan kewajiban agama (bukan sekedar
kewajiban aqli). Pemimpin orang islam mesti beragama islam dan orang-orang
nonmuslim terlindungi.
Selanjutnya,
ia berpendapat bahwa pemimpin mesti dari kalangan Quraisy. Alasannya, karena
ada sebuah riwayat yang sangat terkenal di kalangan sunni yang di jadikan kuncu
penyelesaian perdebatan politik di Saqifah Bani Sa’dah untuk menentukan
pengganti Nabi Saw sebagai pemimpin negara dan agama.
Dalam
pandangan Imam al-Syafi’i, pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang
memiliki kriteria berikut: (1) Berakal (2) Dewasa (3) Merdeka (4) Beragama
islam (5) Laki-laki (6) Dapat melakukan ijtihad (7) Memiliki kemampuan mengatur
(manajerial, al-tadbir) (8) Gagah berani (9) Melakukan perbaikan agama (10)
dari kalangan Quraisy.
2. Hakim
Perempuan
Salah
satu perdebatan ulama yang cukup menarik untuk diteliti adalah tentang hakim
perempuan. Menurut al-Syafi’i, perempuan tidak boleh menjadi hakim secara
mutlak; artinya, perempuan tidak boleh menjadi hakim, baik hakim yang menangani
hukum perdata maupun pidana. Cara ijtihad yang dugunakannya adalah analogi atau
qiyas. Dalam pandangannya, Nabi Muhammad melaramg perempuan menjadi
pemimpin.Karena itu, perempuan tidak di bolehkan menjadi hakim. Pemim;pin
perempuan dijadikan al-ashl (pokok) dan hakim perempuan dijadikan
sebagai al-far (cabang)
3. Rujukan
Syafi’iyah
Rujukan
pertama yang pada awalnya diimlakan kemudian ditulisnya adalah kitab al-Umm.
Menurut Imam Abu Zahrah, kitab ini merupakan al-hujjah al-ula dalam
aliran syafi’i. Sedangkan kitab yang kedua adalah al-Risalah. Karena
kitab inilah, al-Syafi’i dianggap sebagai Bapak Ushul al-Fiqh.
Berikut
ini di antara kitab-kitab kaidah fiqih
aliran Syafi’iyah.
a. Qawa’id
al-Alikam fi Mashalih al-Anam karya ibnu Abd
al-salam (w. 660 H).
b. Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya ibnu Wakil (w. 716).
c. Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Taj al-Din al-Subki (w. 771H).
d. Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Ibn al-Mulaqqin (w. 804 H).
e. Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911H).
Dasar
Madzab Syafi’i
Berdasar
urutan tingkat pentingnya, dasar madzab Syafi’i adalah:
1) Al-Qur’an.
as-Syafi,i memposisikan al-Qur’an sebagai landasan utama sumber hukum islam.
2) Sunnah.
Posisi kedua sumber hukum Islam di mata as-Syafi’i adalah Sunnah. Namun beliau
memiliki kualifikasi yang berbeda, dimana hanya bersandar kepada satu syarat
dalam meneriama sebuah hadits, yaitu
Hadits tersebut haruslah shahih.
3) IJma’.
Meskipun Imam syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan
ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasus dimana ijma
tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum islam urutan
ketiga.
4) Qiyas.Dalam
pandangan Imam Syafi’i, qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum
lebih lanjut sumber-sumber sebelumnya.
5) Istishab.
Dalam pandangannya, istihsan merupakan bentuk bid’ah karena lebih menempatkan
penalaran manusia terhadap wilayah yang sesumgguhnya telah tersedia nashnya.Meskipun
demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan serupa, para pengikut syafi’i
diwajibkan menggunakan sebuah prinsip yang mirip dengan istihsan dan istisllah
yang dinamakannya istishab.Isthisab secara literal berarti mencari suatu
keterkaitan, tetapi secara hukum, isthisab merujuk kepada proses perumusan
hukum-hukum fiqih dengan mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya
dengan keadaan-keadaan sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum fiqh
bisa diaplikasikan pada kondidi tertentu yang tetap sah sepanjang
persyaratannya tidak berubah.
Pemikiran
Al-Syafi’i Tentang Hadits
Kata
hadis atau al-hadis menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang
baru), lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Kata al-hadis
juga berarti al-khabar (beriita), yaitu sesuatuyang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya adalah al-hadis.
Menurut
Al-Syafi’i al-Sunnah adalah mutlaq al-sunnah yatanawaluhu sunnata
rasulillahi faqat. Bahwa sunnah lebih luas dari pada hadis. Pernyataan
al-syafi’i tersebut mengandung konsekuensi logis untuk mengadakan penelitian
secara sistematis dengan tolak ukur tertentu., sehingga segala hal yang
disandarkan kepada Nabi SAW, tidak bisa lepas begitu saja dari kritik
pembuktian keotentiknya.
Al-Syafi’i
meletakkan sunnah dalam satu peringkat dengan al-Kitab. Ini menunjukkan derajat
al-sunnah secara keseluruhan, bukan satuan, di mana penggunaannya sebagai dalil
dan akibat penolakan terhadapnya, sama dengan al-kitab.
Al-Kitab
adalah
al-Quran sedangkan al-Hikmah adalah al-Sunnah. Namun akhirnya
ditegaskan, bahwa baik al-Qur’an maupun al-Sunnah semuanya dari Allah.Yang
dimaksud denngan ketentuan Allah mencakup tiga bentuk:
a) Suatu
ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam Al-Qur’an.
b) Sesuatu
ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam Al-Quran, sedangkan pelaksanaannya
disebutkan oleh al-Sunnah.
c) Suatu
ketentuan yang disebutkan oleh al-Sunnah sendiri (Istiqlal).
Acuan
pokok pemikiran al-Syafi’i adalah al-kitab yang didudukkan sebagai bayan kulli
yang mempunyai dua corak: a) ada yang berupa nash, tidak membutuhkan penjelasan
dari sumber lain, dan b) ada yang bukan nash sehingga membutuhkan sumber lain.
Kedua corak ini juga merupakan sebab mengapa hadis diletakkan dalam satu
peringat dengan al-kitab. Kalau al-kitab dinyatakan sebagai suatu kulli, maka
istinbat dengan al-Kitab tidak boleh lepas dengan syarahnya, yaitu hadis. Ada
dua fungsi pokok al-Sunnah yaitu al-bayan dan al-istiqlal, memberi
penjelasan dan menambah hukum dalam al-Qur’an.
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............