A.Pengertian
Pembelajaran Kontekstual
Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex).
Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung
atau menmbah kejelasan makna; situasi yang ada hubungannya dengan suatu
kejadian “. Kontekstual (contextual) diartikan “sesuatu yang berhubungan dengan
konteks (contex)”. Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual
tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah
pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman siswa dalam
menyerap sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa
yang mereka pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari
hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang
berasumsi sebagi berikut.
Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu
itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan
pengalaman yang telah mereka miliki (siswa) memiliki (ingatan), pengalaman,
respon ), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan untuk
menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut“.
Menurut kerangka berpikir atau asumsi di atas pembelajaran
kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran
(pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan.
Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman
yang mereka miliki dari hasil belajar akan lebih bermakna dan dapat dirasakan
manfaatnya. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kontekstual pada
prinsipnya sebuah pembelajaran yang berorientasi pada penekanan makna
pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang
nyata.[1]
B. Latar Belakang Filosofi dan
Psikologis Pembelajaran Kontektual
a)
Latar
Belakang Fiosofi
CTL
banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark
Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Piaget berpendapat,
bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian
dinamakan “skema”. Skema terbentuk karena pengalaman, dan proses penyempurnaan
skema itu dinamakan asimilasi dan semakin besar pertumbuhan anak maka skema
akan semakin sempurna yang kemudian disebut dengan proses akomodasi.
Pendapat
Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur
kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran,
diantaranya model pembelajaran kontekstual.. menurut pembelajaran kontekstual,
pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh
siswa.[2]
b)
Latar Belakang Fisiologis
Dipandang dari sudut psikologis, CTL
berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar
terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa
mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses
mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau
pengalaman.
Ada yang perlu dipahami tentang
belajar dalam konteks pembelajaran kontekstual.
1. Belajar bukanlah menghafal, akan
tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka
miliki.
2. Belajar bukan sekedar mengumnpulkan
fakta yang lepas-lepas.
3. Belajar adalah proses pemecahan
masalah.
4. Belajar adalah proses pengalaman
sendiri yang berkembang dari yang sederhana menuju yang kompleks.
5. Belajar pada hakikatnya adalah
menangkap pengetahuan dari kenyataan.
Pembelajaran
kontekstual bukan merupakan suatu konsep baru. Penerapan pembelajaran kontekstual
di kelas-kelas Amerika pertama kali diusulkan oleh John Dewey. Pada tahun 1916,
Dewey mengusulkan suatu kurikulum dan metodologi pengajaran yang dikaitkan
dengan minat dan pengalaman siswa.[3]
C.Konsep Dasar Strategi Pembelajaran
Kontekstual
Contextual
teaching and Learning (CTL)
adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan
siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk
dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Ada tiga hal yang harus dipahami:
Pertama, CTL
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi.
Kedua,
CTL mendorong agar siswa dapat
menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata.
Ketiga, mendorong
siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan.[4]
Lima
bentuk pembelajaran yang penting dalam pendekatan kontekstual yaitu, mengaitkan
(relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerja sama
(cooprating), dan mentransfer (transferring).
1.
Mengaitkan (relating)
Dalam
hal ini guru menggunakan strategi relating ini apabila ia mengkaitkan konsep
baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jelasnya, mengkaitkan apa yang
sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Pembelajaran kontekstual hendaknya
senantiasa memperhatikan adanya keterkaitan atau kesesuaian antara pengetahuan,
keterampilan bakat, dan minat yang telah dimiliki siswa dengan unsure-unsur
pembelajaran yang dipersiapkan oleh guru (media, materi, alat bantu dll). Di
samping itu, keterkaitan kedua hal tersebut di atas harus pula memiliki
keterkaitan dengan konteks sosial dalam kehidupan nyata .
2.
Mengalami (experiencing)
Merupakan
inti pembelajaran kontekstual dimana mengkaitkan berarti menghubungkan informasi
baru dengan pengalaman maupun pengetahuan informasi baru dengan pengalaman
sebelumnya. Pembelajaran bisa terjadi dengan lebih cepat ketika siswa
memanfaatkan (memanipulasi) peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk
penelitian yang aktif.
3.
Menerapkan (applying)
Ketika
siswa menerapkan konsep dalam aktivitas belajar memecahkan masalahnya, guru
dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistic dan relevan.
4.
Kerja sama (cooperating)
Siswa
yang bekerja sama secara kelompok biasanya mudah mengatasi masalah yang komplek
dengan sedikit bantuan ketimbang siswa yang bekerja sama secara individual.
Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan
pembelajaran tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5.
Mentransfer (transferring)
Fungsi
dan peran guru dalam konteks ini adalah menciptakan bermacam-macam pengalaman
belajar denga fokus pada pemahaman bukan hafalan.[5]
Pendidikan dengan basis
kontekstual learning mempunyai beberapa hal dasar yang menjadi
ruh pelaksanaan. Beberapa hal dasar tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman
bagaimana kita melaksanakan pendidikan dan pembelajaran dengan metode
kontekstual learning. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan
kontekstual learning.
1) Prinsip Kesaling-Bergantungan (Intedependensi)
Prinsip ini membuat
hubungan yang bermakna (making meaningfull connections) antara proses
pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan
bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang. Prinsip
ini mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik
lainnya, peserta didik, stakeholder, dan lingkungannya.
Bekerjasama (collaborating)
untuk membantu peserta didik belajar secara efektif dalam kelompok, membantu
peserta didik untuk berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan
gagasan, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data,
mengolah data, dan menentukan alternatif pemecahan masalah.
Prinsipnya
menyatukan berbagai pengalaman dari masing-masing peserta didik untuk mencapai
standar akademik yang tinggi (reaching high standards) melalui
pengidentifikasian tujuan dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya.
2) Prinsip Perbedaan (Diferensiasi)
Prinsip diferensiasi
adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman, pebedaan, dan
keunikan. Terciptanya kemandirian dalam belajar (self-regulated learning)
yang dapat mengkontruksi minat peserta didik untuk belajar mandiri dalam
konteks tim dengan mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan nyata, dalam rangka
mencapai tujuan secara penuh makna (meaningfullness).
Terciptanya berpikir
kritis dan kreatif (critical and creative thinking) di kalangan peserta
didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan sintesa data, guna pemecahan
masalah.
Terciptanya
kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi potensi pribadi, dalam rangka
menciptakan dan mengembangkan gaya belajar (style of learning) yang
paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin secara
aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat.
3)
Prinsip
Pengaturan Diri
Prinsip pengaturan
diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan disadari
oleh peserta didik sendiri, dalam rangka merealisasikan seluruh potensinya. Peserta
didik secara sadar harus menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku
sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana,
menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti.
Melalui interaksi
antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan
minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan
menemukan sisi keterbatasan diri.
4)
Prinsip
Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penggunaan
penilaian autentik, yaitu menantang peserta didik agar dapat mengaplikasikan
berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya ke dalam situasi
kontekstual secara signifikan.[6]
Menurut
Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah
komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry),
bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community),
pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang
sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:
a)
Konstruktivisme
(constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan
berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal,
mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana
siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh
struktur pengetahuanyang dimilikinya.
b)
Menemukan
(Inquiry)
Menemukan
merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan
menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation),
bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis),
pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
Siklus
inkuiri terdiri dari:
1. Observasi (observation)
2. Bertanya (questioning)
3. Mengajukan dugaan (Hypotesis)
4. Pengumpulan data (data gathering)
5. Penyimpulan (conclusion)
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
1)
Merumuskan
masalah.
2)
Mengamati
atau melakukan observasi.
3)
Menganalisis
dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, table atau karya
lainnya.
4)
Menyajikan
hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.[7]
c)
Bertanya
(Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang
selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan
berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
1) Menggali informasi
2) Menggali pemahaman siswa
3) Membangkitkan respon kepada siswa
4) Mengetahui sejauh mana keingintahuan
siswa
5) Mengetahui hal-hal yang sudah
diketahui siswa
6) Memfokuskan perhatian pada sesuatu
yang dikehendaki guru
7) Membangkitkan lebih banyak lagi
pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d)
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar
menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain.
Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar
yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi
dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran
saling belajar.
e)
Pemodelan
(Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan
yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk
belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam
pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
f)
Refleksi
(Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir
atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang
apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru
menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan
langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
g)
Penilaian
yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan
berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa.
Dalam pembelajaran berbasis kontekstual, gambaran perkembangan belajar siswa
perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran
yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan
kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.[8]
Karakteristik penilaian autentik:
1. Dilaksanakan selama dan sesudah
proses pembelajaran berlangsung.
2. Bias digunakan untuk formatif maupun
sumatif.
3. Yang diukur keterampilan dan
performansi, bukan mengingat fakta.
4. Berkesinambungan.
5. Terintegrasi.
6. Dapat digunakan sebagai feed back.[9]
D.Aspek-aspek Lingkungan Pembelajaran
Kontekstual
Sejalan
dengan pengertian pembelajaran kontekstual sebagaimana telah diuraikan di atas,
keberhasilan pembelajaran kontekstual perlu didukung oleh aspek-aspek
lingkungan pembelajaran yang memadai. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah
tersebut antara lain “ruang kelas, laboratorium, laboratorium komputer,
lapangan kerja, lingkungan sosial, lingkungan budaya, lingkungan fisik, dan
linmgkungan psikologis” (Gafur, 2003:2). Dengan memerhatikan hal-hal tersebut,
pembelajaran kontekstual mendorong para pendidik (guru) untuk memilih atau
merancang lingkungan belajar yang melibatkan sebanyak mungkin pengalaman
belajar secara terpadu.
Ruang
kelas atau juga disebut ruang teori, pada umumnya digunakan sebagai tempat
penyampaian dan pembahasan informasi, konsep serta fakta-fakta yang berkaitan
dengan pengalaman berpikir (pengetahuan). Masih ada kebiasaan pembelajaran yang
masih keliru yakni siswa memperoleh pengalaman belajar dari kelas saja.
Pembelajaran semacam inilah yang membentuk siswa menjadi teoritis, yaitu mereka
hanya memahami ilmu pengetahuan dari sisi teori dan konsep. Dalam pembelajaran
kontekstual, ruang kelas merupakan bagian media pembelajaran. Untuk membekali
sisiwa agar mampu memperoleh makna dan menghubungkan pengetahuan yang mereka
terima di ruang kelas dengan konteks lebih luas dan nyata, perlu didukung oleh
media pembelajaran yang lain.
Media yang lain yang turut mendukung pelaksanaan pembelajaran kontekstual ialah laboratorium. Ruang dan penyediaan alat-alat laborat masih banyak yang beranggapan sebagai kendala karena memerlukan biaya yang cukup mahal. Hal ini yang masih menjadi alasan yang kuat bagi sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang belum memiliki laboratorium. Sebenarnya, laboratorium dapat dibuat dengan model dan alat yang sederhana, tidak harus dengan model dan alat serba mewah dan mahal. Pengadaan laboratorium yang penting dapat memfasilitasi siswa dalam memperoleh pengalaman belajar secara nyata melalui kegiatan praktik. Dalam pembelajaran kontekstual laboratorium merupakan media penghubung antara pengetahuan yang bersifat abstrak dengan pengetahuan yang bersifat riil atau nyata. Laboratorium sangat membantu siswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian baik yang bersifat pengembangan (developmental), penemuan (explorative), maupun pengecekan kebenaran (verivikative). Kedalaman dan keluasan serta kekuatan pengalaman siswa terhadap sejumlah fakta, informasi dan pengetahuan serta konsep yang mereka terima di ruang kelas, dapat diperoleh melalui kegiatan pembelajaran di laboratorium.
Media yang lain yang turut mendukung pelaksanaan pembelajaran kontekstual ialah laboratorium. Ruang dan penyediaan alat-alat laborat masih banyak yang beranggapan sebagai kendala karena memerlukan biaya yang cukup mahal. Hal ini yang masih menjadi alasan yang kuat bagi sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang belum memiliki laboratorium. Sebenarnya, laboratorium dapat dibuat dengan model dan alat yang sederhana, tidak harus dengan model dan alat serba mewah dan mahal. Pengadaan laboratorium yang penting dapat memfasilitasi siswa dalam memperoleh pengalaman belajar secara nyata melalui kegiatan praktik. Dalam pembelajaran kontekstual laboratorium merupakan media penghubung antara pengetahuan yang bersifat abstrak dengan pengetahuan yang bersifat riil atau nyata. Laboratorium sangat membantu siswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian baik yang bersifat pengembangan (developmental), penemuan (explorative), maupun pengecekan kebenaran (verivikative). Kedalaman dan keluasan serta kekuatan pengalaman siswa terhadap sejumlah fakta, informasi dan pengetahuan serta konsep yang mereka terima di ruang kelas, dapat diperoleh melalui kegiatan pembelajaran di laboratorium.
Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran kontekstual dapat
menggunakan laboratorium komputer. Melalui media ini, sedini mungkin siswa akan
mengenal dan selanjutnya dapat memahami serta menggunakan media komputer dalam
kehidupan sehari-hari. Guru dan para penyelenggara pendidikan sudah seharusnya
mencermati, memahami dan mementingkan hal ini agar para siswa memiliki
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kemajuan jaman. Pengetahuan dan
informasi siswa tentang komputer tidak hanya teoritis atau konseptual, namun
lebih jauh dari itu mereka dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Dengan
demikian, pembelajaran kontekstual harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sisi lain
media pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan oleh guru yakni lapangan
kerja. Kaitannya dengan hal ini, ada semacam fenomena bahwa dewasa ini lembaga
persekolahan identik dengan lembaga penghasil pengangguran. Kenyataan ini bahwa
di lapangan (konteks sosial yang nyata), para lulusan sekolah lebih banyak yang
menganggur dibandingkan dengan lulusan yang memperoleh lapangan pekerjaan.
Permasalahan ini, apakah siswa kurang dibekali kecakapan hidup (life skills),
atau tidak ada keseimbangan antara lapangan kerja dengan angkatan kerja.
Pendidikan yang ideal mestinya dapat menghasilkan autput yang siap pakai di
dunia kerja atau autput yang siap menciptakan lapangan kerja. Perbaikan
kualitas autput pendidikan tidak lepas dari perbaikan kualitas pembelajaran.
Pembelajaran yang mengarah kepada pembekalan siswa dalam hal kecakapan hidup,
antara lain pembelajaran kontekstual dengan melibatkan lapangan kerja sebagai
media pembelajaran. Pengalaman belajar melalui media lapangan kerja, akan
membangkitkan semangat belajar dan menumbuhkembangkan minat serta bakat siswa.
Dengan bekal ini siswa siap memperoleh lapangan kerja atau menciptakan lapangan
kerja dalam kehidupan di masyarakat.
Di samping
media pembelajaran di atas media lain yang turut mendukung pembelajaran
kontekstual yaitu lingkungan sosial, budaya, dan psikologis. Lingkungan sosial
dijadikan media pembelajaran agar siswa memiliki bekal hidup dalam sosial atau
dalam masyarakat. Dengan bekal pengetahuan ini, siswa setelah lulus atau tamat
sekolah siap hidup bermayarakat. Siswa akan dengan cepat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya di mana ia tinggal. Selain itu siswa juga harus dibekali
dengan pengalaman budaya. Dengan bekal ini, siswa diharapkan memahami,
mencintai, menghargai, dan menikmati serta memilih budaya yang menguntungkan
dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, siswa tidak akan terjerumus
dalam budaya yang menyesatkan.
Pengalaman
lain yang harus dimiliki siswa ialah pengalaman lingkungan fisik yang
menyangkut fisik secara mikro yaitu dirinya sendiri maupun secara makro (alam
semesta). Pemahaman siswa yang benar terhadap dirinya dan alam semesta, akan
menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk senantiasa, meningkatkan serta
memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam bagi kepentingan manusia
pada umumnya.
Media
pembelajaran kontekstual yang tiadak kalah pentingnya adalah lingkungan
psikologis. Lingkungan psikologis yakni lingkungan yang berkaitan dengan
kejiwaan. Pengetahuan dan pengalaman terhadap lingkungan ini, akan membantu
mempercepat perubahan kematangan jiwa para siswa. Dengan bekal ini, pertumbuhan
siswa baik fisik maupun psikisnya akan berkembang seimbangdan seirama. Pada
akhirnya, melalui pembelajaran kontekstual yang melibatkan lingkungan psikologis,
siswa akan mencapai kedewasaan lahir dan batin.
Di antara
aspek-aspek lingkungan pembelajaran kontekstaul tersebut, hendaknya dirancang
secara terpadu. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinanan guru dapat mencari
lingkungan belajar yang lain, yang kemudian dikemas dalam sebuah model
pembelajaran yang mengacu kepada konteks kehidupan yang lebih luas. Hal ini
sesuai dengan tujuan pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
“Dalam
pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna
antara pemikiran yang abstrak dengan penerapan praktis dalam konteks dunia
nyata. Dalam pengalaman belajar yang demikian, fakta, konsep, prinsip, dan
prosedur sebagai materi pelajaran yang diinternalisasikan melalui proses
penemuan, penguatan, keterkaitan dan keterpaduan.”
A.Perbedaan Pembelajaran Kontekstual
dengan Pembelajaran Konvensioanal
NO
|
Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensioanal
|
|
CTL
|
Pembelajaran
Konvensional
|
|
1
|
Siswa
sebagai subjek belajar
|
Siswa
sebagai objek belajar
|
2.
|
Siswa
belajar melalui kegiatan kelompok
|
Siswa
lebih banyak belajar secara individu
|
3.
|
Pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata
|
Pembelajaran
bersifat teoritis dan abstrak
|
4
|
Kemampuan
didasarkan atas pengalaman
|
Kemampuan
diperoleh dari latihan-latihan
|
5
|
Tujuan
akhir kepuasan diri
|
Tujuan
akhir nilai atau angka
|
6
|
Prilaku
dibangun atas kesadaran
|
Prilaku
dibangun oleh factor dari luar
|
7
|
Pengetahuan
yang dimiliki individu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya
|
Pengetahuan
yang dimiliki bersifat absolute dan final, tidak mungkin berkembang.
|
8
|
Siswa
bertanggungjawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran
|
Guru
penentu jalannya proses pembelajaran
|
9
|
Pembelajaran
bisa terjadi dimana saja
|
Pembelajaran
terjadi hanya di dalam kelas
|
10
|
Keberhasilan
pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara
|
Keberhasilan
pembelajaran hanya bisa diukur dengan tes
|
B. Peran
Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Kontekstual
Setiap
siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan yang dimiliki siswa
tersebut dinamakan sebagai unsure modalitas belajar. Menurut Bobbi Deporter ada
tiga tipe gaya belajar siswa, yaitu tive visual, auditorial dan kinestis.
Tipe
visual adalah gaya belajar dengan cara melihat, sedang tipe auditorial adalah
tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya, dan tipe kinestetis
adalah tipe belajar dengan cara bergerak.
Sehubungan
dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru
manakala menggunakan pendekatan CTL.
- Siswa harus dipandang sebagai individu yang sedang berkembang
- setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan
- belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui
- belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada.[10]
[3] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hlm: 101
[6] Nanang Hanafiah, & Cucu
Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran,
(Bandung:Refika Aditama, 2009), hal. 69-70
[7]
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007,
hlm: 110
[9]
Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007,
hlm: 115
0 komentar:
Post a Comment
COMMENT PLEASE.............