CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Thursday, 12 January 2012

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


A.Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Kontekstual (contextual) berasal dari kata konteks (contex). Konteks (contex) berarti “bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menmbah kejelasan makna; situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian “. Kontekstual (contextual) diartikan “sesuatu yang berhubungan dengan konteks (contex)”. Sesuai dengan pengertian konteks maupun kontekstual tersebut, pembelajaran kontekstual (contextual learning) merupakan sebuah pembelajaran yang dapat memberikan dukungan dan penguatan pemahaman siswa dalam menyerap sejumlah materi pembelajaran serta mampu memperoleh makna dari apa yang mereka pelajari dan mampu menghubungkannya dengan kenyataan hidup sehari hari. Hal ini juga sejalan dengan pendekatan pembelajaran kontekstual yang berasumsi sebagi berikut.
Secara alamiah proses berpikir dalam menemukan makna sesuatu itu bersifat kontekstual dalam arti ada kaitannya dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka miliki (siswa) memiliki (ingatan), pengalaman, respon ), oleh karenanya berpikir itu merupakan proses mencari hubungan untuk menemukan makna dan manfaat pengetahuan tersebut“.
Menurut kerangka berpikir atau asumsi di atas pembelajaran kontekstual merupakan proses belajar yang menghubungkan alam pikiran (pengetahuan dan pengalaman) dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan. Jika siswa mampu menghubungkan kedua hal tersebut, pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dari hasil belajar akan lebih bermakna dan dapat dirasakan manfaatnya. Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kontekstual pada prinsipnya sebuah pembelajaran yang berorientasi pada penekanan makna pengetahuan dan pengalaman melalui hubungan pemanfaatan dalam kehidupan yang nyata.[1]

B. Latar Belakang Filosofi dan Psikologis Pembelajaran Kontektual
a)   Latar Belakang Fiosofi
CTL banyak dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Piaget berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan “skema”. Skema terbentuk karena pengalaman, dan proses penyempurnaan skema itu dinamakan asimilasi dan semakin besar pertumbuhan anak maka skema akan semakin sempurna yang kemudian disebut dengan proses akomodasi.
Pendapat Piaget tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognitif anak, sangat berpengaruh terhadap beberapa model pembelajaran, diantaranya model pembelajaran kontekstual.. menurut pembelajaran kontekstual, pengetahuan itu akan bermakna manakala ditemukan dan dibangun sendiri oleh siswa.[2]
b)   Latar Belakang Fisiologis
Dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses mental yang tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi, dan kemampuan atau pengalaman.
Ada yang perlu dipahami tentang belajar dalam konteks pembelajaran kontekstual.
1.    Belajar bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan pengalaman yang mereka miliki.
2.    Belajar bukan sekedar mengumnpulkan fakta yang lepas-lepas.
3.    Belajar adalah proses pemecahan masalah.
4.    Belajar adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang dari yang sederhana menuju yang kompleks.
5.    Belajar pada hakikatnya adalah menangkap pengetahuan dari kenyataan.
Pembelajaran kontekstual bukan merupakan suatu konsep baru. Penerapan pembelajaran kontekstual di kelas-kelas Amerika pertama kali diusulkan oleh John Dewey. Pada tahun 1916, Dewey mengusulkan suatu kurikulum dan metodologi pengajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman siswa.[3]

C.Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual
Contextual teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Ada tiga hal yang harus dipahami:
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata.
Ketiga, mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan.[4]
Lima bentuk pembelajaran yang penting dalam pendekatan kontekstual yaitu, mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerja sama (cooprating), dan mentransfer (transferring).
1.    Mengaitkan (relating)
Dalam hal ini guru menggunakan strategi relating ini apabila ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jelasnya, mengkaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru. Pembelajaran kontekstual hendaknya senantiasa memperhatikan adanya keterkaitan atau kesesuaian antara pengetahuan, keterampilan bakat, dan minat yang telah dimiliki siswa dengan unsure-unsur pembelajaran yang dipersiapkan oleh guru (media, materi, alat bantu dll). Di samping itu, keterkaitan kedua hal tersebut di atas harus pula memiliki keterkaitan dengan konteks sosial dalam kehidupan nyata .

2.    Mengalami (experiencing)
Merupakan inti pembelajaran kontekstual dimana mengkaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun pengetahuan informasi baru dengan pengalaman sebelumnya. Pembelajaran bisa terjadi dengan lebih cepat ketika siswa memanfaatkan (memanipulasi) peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
3.    Menerapkan (applying)
Ketika siswa menerapkan konsep dalam aktivitas belajar memecahkan masalahnya, guru dapat memotivasi siswa dengan memberikan latihan yang realistic dan relevan.
4.    Kerja sama (cooperating)
Siswa yang bekerja sama secara kelompok biasanya mudah mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan ketimbang siswa yang bekerja sama secara individual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari bahan pembelajaran tetapi konsisten dengan dunia nyata.
5.    Mentransfer (transferring)
Fungsi dan peran guru dalam konteks ini adalah menciptakan bermacam-macam pengalaman belajar denga fokus pada pemahaman bukan hafalan.[5]

Pendidikan dengan basis kontekstual learning mempunyai beberapa hal dasar yang menjadi ruh pelaksanaan. Beberapa hal dasar tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman bagaimana kita melaksanakan pendidikan dan pembelajaran dengan metode kontekstual learning. Berikut adalah prinsip-prinsip dasar pengembangan pendidikan kontekstual learning.

1)   Prinsip Kesaling-Bergantungan (Intedependensi)

Prinsip ini membuat hubungan yang bermakna (making meaningfull connections) antara proses pembelajaran dan konteks kehidupan nyata sehingga peserta didik berkeyakinan bahwa belajar merupakan aspek yang esensial bagi kehidupan di masa datang. Prinsip ini mengajak para pendidik mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, peserta didik, stakeholder, dan lingkungannya.
Bekerjasama (collaborating) untuk membantu peserta didik belajar secara efektif dalam kelompok, membantu peserta didik untuk berinteraksi dengan orang lain, saling mengemukakan gagasan, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, mengumpulkan data, mengolah data, dan menentukan alternatif pemecahan masalah.
Prinsipnya menyatukan berbagai pengalaman dari masing-masing peserta didik untuk mencapai standar akademik yang tinggi (reaching high standards) melalui pengidentifikasian tujuan dan memotivasi peserta didik untuk mencapainya.

2)   Prinsip Perbedaan (Diferensiasi)

Prinsip diferensiasi adalah mendorong peserta didik menghasilkan keberagaman, pebedaan, dan keunikan. Terciptanya kemandirian dalam belajar (self-regulated learning) yang dapat mengkontruksi minat peserta didik untuk belajar mandiri dalam konteks tim dengan mengkorelasikan bahan ajar dengan kehidupan nyata, dalam rangka mencapai tujuan secara penuh makna (meaningfullness).
Terciptanya berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking) di kalangan peserta didik dalam rangka pengumpulan, analisis, dan sintesa data, guna pemecahan masalah.
Terciptanya kemampuan peserta didik untuk mengidentifikasi potensi pribadi, dalam rangka menciptakan dan mengembangkan gaya belajar (style of learning) yang paling sesuai sehingga dapat mengembangkan potensinya seoptimal mungkin secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan sehingga menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
3)   Prinsip Pengaturan Diri
Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa proses pembelajaran diatur, dipertahankan, dan disadari oleh peserta didik sendiri, dalam rangka merealisasikan seluruh potensinya. Peserta didik secara sadar harus menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti.
Melalui interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan menemukan sisi keterbatasan diri.
4)   Prinsip Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Penggunaan penilaian autentik, yaitu menantang peserta didik agar dapat mengaplikasikan berbagai informasi akademis baru dan keterampilannya ke dalam situasi kontekstual secara signifikan.[6]

Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:
a)   Konstruktivisme (constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
b)   Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
Siklus inkuiri terdiri dari:
1.    Observasi (observation)
2.    Bertanya (questioning)
3.    Mengajukan dugaan (Hypotesis)
4.    Pengumpulan data (data gathering)
5.    Penyimpulan (conclusion)
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut:
1)      Merumuskan masalah.
2)      Mengamati atau melakukan observasi.
3)      Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, table atau karya lainnya.
4)      Menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.[7]
c)    Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
1)   Menggali informasi
2)   Menggali pemahaman siswa
3)   Membangkitkan respon kepada siswa
4)   Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5)   Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6)   Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru
7)   Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d)   Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.


e)    Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
f)    Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
g)   Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis kontekstual, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.[8]
Karakteristik penilaian autentik:
1.    Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
2.    Bias digunakan untuk formatif maupun sumatif.
3.    Yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta.
4.    Berkesinambungan.
5.    Terintegrasi.
6.    Dapat digunakan sebagai feed back.[9]

 D.Aspek-aspek Lingkungan Pembelajaran Kontekstual
Sejalan dengan pengertian pembelajaran kontekstual sebagaimana telah diuraikan di atas, keberhasilan pembelajaran kontekstual perlu didukung oleh aspek-aspek lingkungan pembelajaran yang memadai. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut antara lain “ruang kelas, laboratorium, laboratorium komputer, lapangan kerja, lingkungan sosial, lingkungan budaya, lingkungan fisik, dan linmgkungan psikologis” (Gafur, 2003:2). Dengan memerhatikan hal-hal tersebut, pembelajaran kontekstual mendorong para pendidik (guru) untuk memilih atau merancang lingkungan belajar yang melibatkan sebanyak mungkin pengalaman belajar secara terpadu.
Ruang kelas atau juga disebut ruang teori, pada umumnya digunakan sebagai tempat penyampaian dan pembahasan informasi, konsep serta fakta-fakta yang berkaitan dengan pengalaman berpikir (pengetahuan). Masih ada kebiasaan pembelajaran yang masih keliru yakni siswa memperoleh pengalaman belajar dari kelas saja. Pembelajaran semacam inilah yang membentuk siswa menjadi teoritis, yaitu mereka hanya memahami ilmu pengetahuan dari sisi teori dan konsep. Dalam pembelajaran kontekstual, ruang kelas merupakan bagian media pembelajaran. Untuk membekali sisiwa agar mampu memperoleh makna dan menghubungkan pengetahuan yang mereka terima di ruang kelas dengan konteks lebih luas dan nyata, perlu didukung oleh media pembelajaran yang lain.
Media yang lain yang turut mendukung pelaksanaan pembelajaran kontekstual ialah laboratorium. Ruang dan penyediaan alat-alat laborat masih banyak yang beranggapan sebagai kendala karena memerlukan biaya yang cukup mahal. Hal ini yang masih menjadi alasan yang kuat bagi sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang belum memiliki laboratorium. Sebenarnya, laboratorium dapat dibuat dengan model dan alat yang sederhana, tidak harus dengan model dan alat serba mewah dan mahal. Pengadaan laboratorium yang penting dapat memfasilitasi siswa dalam memperoleh pengalaman belajar secara nyata melalui kegiatan praktik. Dalam pembelajaran kontekstual laboratorium merupakan media penghubung antara pengetahuan yang bersifat abstrak dengan pengetahuan yang bersifat riil atau nyata. Laboratorium sangat membantu siswa dalam melaksanakan kegiatan penelitian baik yang bersifat pengembangan (developmental), penemuan (explorative), maupun pengecekan kebenaran (verivikative). Kedalaman dan keluasan serta kekuatan pengalaman siswa terhadap sejumlah fakta, informasi dan pengetahuan serta konsep yang mereka terima di ruang kelas, dapat diperoleh melalui kegiatan pembelajaran di laboratorium.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembelajaran kontekstual dapat menggunakan laboratorium komputer. Melalui media ini, sedini mungkin siswa akan mengenal dan selanjutnya dapat memahami serta menggunakan media komputer dalam kehidupan sehari-hari. Guru dan para penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati, memahami dan mementingkan hal ini agar para siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kemajuan jaman. Pengetahuan dan informasi siswa tentang komputer tidak hanya teoritis atau konseptual, namun lebih jauh dari itu mereka dapat menggunakan dan memanfaatkannya. Dengan demikian, pembelajaran kontekstual harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sisi lain media pembelajaran kontekstual yang harus diperhatikan oleh guru yakni lapangan kerja. Kaitannya dengan hal ini, ada semacam fenomena bahwa dewasa ini lembaga persekolahan identik dengan lembaga penghasil pengangguran. Kenyataan ini bahwa di lapangan (konteks sosial yang nyata), para lulusan sekolah lebih banyak yang menganggur dibandingkan dengan lulusan yang memperoleh lapangan pekerjaan. Permasalahan ini, apakah siswa kurang dibekali kecakapan hidup (life skills), atau tidak ada keseimbangan antara lapangan kerja dengan angkatan kerja. Pendidikan yang ideal mestinya dapat menghasilkan autput yang siap pakai di dunia kerja atau autput yang siap menciptakan lapangan kerja. Perbaikan kualitas autput pendidikan tidak lepas dari perbaikan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang mengarah kepada pembekalan siswa dalam hal kecakapan hidup, antara lain pembelajaran kontekstual dengan melibatkan lapangan kerja sebagai media pembelajaran. Pengalaman belajar melalui media lapangan kerja, akan membangkitkan semangat belajar dan menumbuhkembangkan minat serta bakat siswa. Dengan bekal ini siswa siap memperoleh lapangan kerja atau menciptakan lapangan kerja dalam kehidupan di masyarakat.
Di samping media pembelajaran di atas media lain yang turut mendukung pembelajaran kontekstual yaitu lingkungan sosial, budaya, dan psikologis. Lingkungan sosial dijadikan media pembelajaran agar siswa memiliki bekal hidup dalam sosial atau dalam masyarakat. Dengan bekal pengetahuan ini, siswa setelah lulus atau tamat sekolah siap hidup bermayarakat. Siswa akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya di mana ia tinggal. Selain itu siswa juga harus dibekali dengan pengalaman budaya. Dengan bekal ini, siswa diharapkan memahami, mencintai, menghargai, dan menikmati serta memilih budaya yang menguntungkan dirinya sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, siswa tidak akan terjerumus dalam budaya yang menyesatkan.
Pengalaman lain yang harus dimiliki siswa ialah pengalaman lingkungan fisik yang menyangkut fisik secara mikro yaitu dirinya sendiri maupun secara makro (alam semesta). Pemahaman siswa yang benar terhadap dirinya dan alam semesta, akan menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk senantiasa, meningkatkan serta memanfaatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam bagi kepentingan manusia pada umumnya.
Media pembelajaran kontekstual yang tiadak kalah pentingnya adalah lingkungan psikologis. Lingkungan psikologis yakni lingkungan yang berkaitan dengan kejiwaan. Pengetahuan dan pengalaman terhadap lingkungan ini, akan membantu mempercepat perubahan kematangan jiwa para siswa. Dengan bekal ini, pertumbuhan siswa baik fisik maupun psikisnya akan berkembang seimbangdan seirama. Pada akhirnya, melalui pembelajaran kontekstual yang melibatkan lingkungan psikologis, siswa akan mencapai kedewasaan lahir dan batin.
Di antara aspek-aspek lingkungan pembelajaran kontekstaul tersebut, hendaknya dirancang secara terpadu. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinanan guru dapat mencari lingkungan belajar yang lain, yang kemudian dikemas dalam sebuah model pembelajaran yang mengacu kepada konteks kehidupan yang lebih luas. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran kontekstual sebagai berikut:
“Dalam pembelajaran kontekstual diharapkan siswa dapat menemukan hubungan yang bermakna antara pemikiran yang abstrak dengan penerapan praktis dalam konteks dunia nyata. Dalam pengalaman belajar yang demikian, fakta, konsep, prinsip, dan prosedur sebagai materi pelajaran yang diinternalisasikan melalui proses penemuan, penguatan, keterkaitan dan keterpaduan.”

A.Perbedaan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensioanal
NO
Perbedaan CTL dengan Pembelajaran Konvensioanal
CTL
Pembelajaran Konvensional
1
Siswa sebagai subjek belajar
Siswa sebagai objek belajar
2.
Siswa belajar melalui kegiatan kelompok
Siswa lebih banyak belajar secara individu
3.
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata
Pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak
4
Kemampuan didasarkan atas pengalaman
Kemampuan diperoleh dari latihan-latihan
5
Tujuan akhir kepuasan diri
Tujuan akhir nilai atau angka
6
Prilaku dibangun atas kesadaran
Prilaku dibangun oleh factor dari luar
7
Pengetahuan yang dimiliki individu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya
Pengetahuan yang dimiliki bersifat absolute dan final, tidak mungkin berkembang.
8
Siswa bertanggungjawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran
Guru penentu jalannya proses pembelajaran
9
Pembelajaran bisa terjadi dimana saja
Pembelajaran terjadi hanya di dalam kelas
10
Keberhasilan pembelajaran dapat diukur dengan berbagai cara
Keberhasilan pembelajaran hanya bisa diukur dengan tes
B. Peran Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Kontekstual
Setiap siswa mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Perbedaan yang dimiliki siswa tersebut dinamakan sebagai unsure modalitas belajar. Menurut Bobbi Deporter ada tiga tipe gaya belajar siswa, yaitu tive visual, auditorial dan kinestis.
Tipe visual adalah gaya belajar dengan cara melihat, sedang tipe auditorial adalah tipe belajar dengan cara menggunakan alat pendengarannya, dan tipe kinestetis adalah tipe belajar dengan cara bergerak.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL.
  1. Siswa harus dipandang sebagai individu yang sedang berkembang
  2. setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan
  3. belajar bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui
  4. belajar bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada.[10]


[3] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hlm: 101
[6] Nanang Hanafiah, & Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung:Refika Aditama, 2009), hal. 69-70
[7] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hlm: 110
[9] Trianto, Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2007, hlm: 115

0 komentar:

Post a Comment

COMMENT PLEASE.............